Written by: katabiyu
Sore itu, saat lembayung senja sedang menyelimuti bumi, seorang pemuda dengan kulit sawo matang tengah berdiri menatap kosong ke arah lautan. Hembusan angin laut menerpa lembut wajah pemuda itu. Entah mengapa, wajah yang biasanya tampak gagah berwibawa, kini terlihat sayu, tak terurus. Pemuda itu sedang sibuk dengan lamunannya dan tersadar ketika seseorang menepuk bahunya perlahan.
"Wat is er mis met jou, Allan?" Seorang pria paruh baya berkulit putih mengulum senyum ke arahnya, wajahnya teduh, seteduh langit sore kala itu.
Pemuda yang baru saja dipanggil menoleh, menatap seseorang yang sekarang berada tepat di hadapannya. "Met mij gaat het goed, Kapitein Barend."
Kapten Barend terkekeh melihat tingkah Allan. "Kau tidak bisa membohongi pria tua ini, Allan. Umurku memang sudah tidak lagi muda, tetapi jiwaku ini masih seperti jiwa anak muda. Aku sangat tahu tentang perasaanmu, kau jangan pernah meremehkanku, Allan."
"Tapi, aku sungguh sedang baik-baik saja, Kapten."
"Sudahlah, anak muda. Cepat katakan, apa yang sebenarnya mengganggu pikiranmu? Aku lihat akhir-akhir ini tingkahmu semakin aneh saja."
Allan terdiam, ia kembali memutar tubuhnya menghadap lautan sembari berpegangan pada pagar pembatas. Wajahnya yang sayu semakin terlihat kuyu, tidak ada tanda-tanda kebahagiaan di sana. Bola matanya yang hitam cemerlang mendadak redup seakan kehilangan sinar dari pemiliknya. Allan berkaca-kaca menatap semburat senja yang semakin menghilang di atas sana. Ah, iya, Tuhan pasti punya alasan mengapa menghadirkan senja sebagai batas pemisah antara siang dan malam, bukan? Persis seperti yang sedang Allan rasakan saat ini. Ia merasa ada pembatas di sana, dinding pemisah kokoh yang memberikan jarak antara ia dengan gadis pujaan hatinya.
"Apakah ini tentang gadis itu?" tanya Kapten Barend yang seakan mengerti isi pikiran Allan. Ia mendekat ke arah Allan, ikut berdiri di sebelahnya.
Allan menghela napas panjang. "Aku merasa ada yang aneh dengannya. Dia bukan seperti Elena yang aku kenal." Suara Allan terdengar bergetar saat sampai di ujung kalimat.
"Apa maksudmu? Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Dia masih sama, dia tetap Elena yang dulu."
Allan menggeleng tegas, menatap lamat-lamat wajah orang di sampingnya, orang yang selama ini ia anggap sebagai sosok ayah kedua baginya. Allan tersenyum getir kemudian berujar lirih. "Bukan, ini bukan tentang perasaanku, dia memang terlihat berbeda."
Kapten Barend mengernyitkan dahi, bingung dengan perkataan Allan, lantaran menurut Kapten Barend, Elena tetaplah Elena, tunangan pemuda tampan yang kaya raya dari negeri kincir angin. "Memangnya apa yang berbeda?"
"Elena selalu tahu kebiasaanku, Kapten. Saat menyapanya, aku selalu memperkenalkan diri, mengatakan bahwa akulah asisten nahkoda kapal pesiar yang gagah ini. Dia selalu menanggapinya dengan senyum, senyuman yang mengembang sempurna dengan semburat merah di pipinya. Tapi, sore itu berbeda, Elena seperti tidak mengenaliku, dia bahkan memperkenalkan dirinya sebagai Ziana. Entahlah, siapa Ziana itu, aku tidak peduli. Anehnya lagi, dia benar-benar tidak tahu ke mana kapal ini berlayar. Elena seperti orang asing, dia benar-benar berbeda semenjak saat itu."
Kapten Barend terdiam sejenak, berusaha mencari kalimat yang tepat untuk dilontarkan. "Mungkin ini waktumu untuk bisa melepasnya, Allan. Sepuluh hari lagi mereka akan menikah, kau tidak bisa terjebak di ruang yang membuatmu terus berhalusinasi. Mungkin itu pertanda dari Elena agar kamu bisa melupakannya. Dia ingin kau terus melanjutkan hidup walaupun tanpa dia. Aku tahu itu berat, tapi kau harus mencobanya, Allan."
KAMU SEDANG MEMBACA
BK7 - Kumparan Waktu
RomanceSesuatu yang berhubungan dengan senja selalu saja memuakkan. Ia sangat menyesal mengetahui kenyataan bahwa ia sempat tergoda. "Kamu tidak seharusnya hidup." Suara berat menghancurkan lamunannya. "Kamu lebih baik mati." laki-laki tadi kembali beruc...