Bab 7 - Kilasan

145 25 24
                                    

Written by: reytareree


Mendengar ribut-ribut di kantin kapal, Kapten Barend beserta Allan pun menghampiri. Hanya tertinggal Dante tengah berdiri mematung di sana.

"Ada apa gerangan?" tanya Kapten Barend sembari berkacak pinggang, pandangannya menghambur ke seluruh ruangan.

Dante mengangkat wajahnya, "Tidak apa Kapten, hanya masalah kecil saja."

"Kau dan Elena sedang bertengkar?" tanya Allan menyelidik.

"Itu bukan urusanmu." Dante mendengus kemudian berlalu.

Allan berusaha mengejar, namun dicegah oleh Kapten Barend. "Tidak perlu ditanya macam-macam, Nak. Kau tahu urusannya bukan jika kita ikut campur urusan bangsawan seperti mereka?"

"Tapi Kapten-"

Kapten Barend menggeleng, "Kau boleh saja mencintai gadis itu. Tapi menurutku, kau akan selamat jika tidak pernah mengusik kehidupan keduanya."

"Aku hanya khawatir dengan Elena, Kapten ...."

"Harusnya kau mengkhawatirkan dirimu sendiri, Nak. Dante bukan orang sembarangan," jelas Kapten Barend sembari menepuk pundak Allan.

Laki-laki paruh baya itu pun berjalan meninggalkan Allan yang masih diam tak bergeming dari tempatnya. Pemuda gagah kelahiran Amsterdam itu hanya bisa pasrah. Ia memandang keluar jendela kapal, burung camar dan ombak yang tenang. Namun gemuruh dalam hatinya, laksana badai yang mampu meluluh lantakkan semua.

"Elena, Ik houd van jou."

Bunyi alarm ponsel menggugah mata Ziana untuk bangun. Matanya mengerjap perlahan, disusul dengan kesadaran Ziana. Ia mengambil napas dalam, menerka-nerka apa mungkin ia masih bermimpi. Kembali ia menatap layar ponselnya yang menggelap.

"Aku pikir nggak bisa balik lagi, syukurlah ...."

Seingatnya, jam digital pada ponselnya menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh menit. Ia segera bersiap, mata kuliah pagi ini tepat pukul delapan tiga puluh, dan Ziana tidak ingin terlambat. Dosen aritmatika kali ini lebih killer bila dibandingkan dengan guru matematikanya semasa sekolah. Kalau diingat-ingat lagi, gara-gara dosen tersebut Ziana harus mengulang kelas aritmatika dasar lantaran sering terlambat masuk. Padahal nilainya tidak seburuk itu.

Ziana menghampiri wastafel, ia menatap lama pantulan di sana. Seperti ada yang aneh dengan penampilannya. Kemudian ia tersadar jika rambutnya memanjang dalam waktu singkat. Ziana menelan ludah, buru-buru ia mencuci wajahnya kasar.

"Siapa kau?" tiba-tiba terdengar suara dalam kepala Ziana.

Gadis berusia dua puluh satu tahun itu terkejut bukan main. Suara itu jelas bergaung dalam kepalanya. Satu hal yang jelas, itu adalah suaranya sendiri.

"Kau...maukah kau menolongku?" suara itu terdengar lagi.

Kali ini Ziana berusaha untuk tenang dan mengambil napas perlahan. Ia sempat berpikir sedang kerasukan, tidak, tidak mungkin. Lalu semenit kemudian ia tersadar kalau itu adalah Elena.

Ziana menggenggam erat pinggiran wastafel, "Elena...kaukah itu?" tanyanya perlahan sembari menatap cermin.

"Kau yang selalu merasuki ragaku, bukan? Iya aku Elena, bisakah kau membantuku?"

Seperti berbicara dengan diri sendiri, Ziana terus menatap lekat-lekat bayangannya di cermin. Lama kelamaan, bayangan di cermin itu berubah. Menjadi sosok seorang gadis pada jaman dahulu. Keduanya terhenyak, saking terkejutnya Ziana berteriak dan menutup matanya.

BK7 - Kumparan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang