15 | Petaka

5.8K 796 149
                                    

Hugo

Minggu, 25 Maret 2018

"Kamu yakin, akan melamar kekasihmu? Rhapsody itu?"

Aku kembali menginjak kaki di istana putih bergaya mediterania, tempat aku menghabiskan tahun-tahun awal hidupku.

Begitu serupa, tapi tidak familiar lagi rasanya.

Lorong-lorong tempatku berlarian rasanya tidak sepanjang dulu. Dulu rasanya aku kepayahan berlari dari ujung ke ujung. Namun kini aku bisa menjangkau hulu ke hilir dalam beberapa langkah saja. Kakiku sudah tumbuh memanjang berkali-kali lipat, seharusnya berjalan menyusuri akan terasa tidak selelah dahulu, tetapi aku memilih angkat kaki dari sini.

Ruangan-ruangan ini sudah memudar dari ingatanku, setiap mataku merekam kembali setiap sudutnya, otakku berupaya keras untuk mencocokkan dengan fragmen memori lama. Apakah sebelumnya ruang rumahku selalu selengang ini?

Tegelnya bahkan terasa asing di telapak kakiku, sudah lama sekali aku tidak membawa diriku kembali ke sini. Apakah sebelumnya tegel rumahku selalu selicin ini?

Hati-hati kubuka ruangan di bawah tangga, tempat ibu selalu di sana. Setelah sekian lama, ibu menyambut dengan senyum senntiasa.

Duduk aku sembari menyandarkan sisi kanan kepalaku di atas lutut ibu. Ibu duduk di kursi rodanya, sementara aku bersimpuh di lantai. Satu tangan ibu yang pucat pualam menggenggam tanganku, satunya lagi membelai rambutku helai demi helai.

"Yakin, Bu," jawabku setelah jeda.

Ibu terkekeh samar. "Sudah besar anak Ibu."

"Masak mau kecil terus, Bu?" celetukku.

"Di mata Ibu, Hugo tidak pernah tumbuh apa-apa. Tubuhmu mungkin membesar, kakimu berkelana, pemikiranmu lincah kemana-mana, padahal jauh di sana, masihlah anak-anak jiwanya."

"Hehehe."

"Hugo kecil yang susah kalau disuruh ke dokter gigi. Setiap jadwal ke dokter gigi, langsung hilang entah ke mana," kenang Ibu.

Aku terpekur memandang gaun putih yang ibu kenakan. "Tim SAR sampai turun tangan ya, Bu," candaku.

Ibu tertawa. "Hugo kecil perlu dikejar-kejar setiap ke dokter gigi, ngumpet di bawah meja, harus diseret-seret, nangis gak karuan, mencari sejuta alasan, dramatis pokoknya."

"Dokter Andra pasti stress banget setiap kedatangan Hugo," gumamku.

"Nakalnya Rafael Hugo, meski takut dokter gigi, tapi kerjaannya makan permen melulu." Ibu menjewer pelan telingaku.

"Hahaha."

Hening mengisi. Ruang hatiku dibanjiri rindu yang tak pernah terjawab akan sosok ibu. Mataku berkeliaran pada jendela dan pintu yang melengkung-lengkung itu. Satu per satu berkelebatan kenang pilu.

"Apa sekarang Hugo sudah menemukan yang selama ini Hugo cari? Apakah kamu menemukan itu pada diri Rhapsody?" Kata-kata meluncur dari lisan ibu, membelah hening dengan sempurna.

"Rhapsody baik, Bu."

"Ibu senang dengarnya. Kapan-kapan Ibu mau ketemu Rhapsody."

"Pasti, Bu." Aku meraih ponselku, memamerkan foto Si Cantik pada ibuku. "Cantik ya, Bu?" selorohku bangga.

"Sangat cantik," sambut Ibu bersuka cita.

"Saingan Ibu," ujarku. "Dulu rasanya tidak ada perempuan secantik Ibu. Sekarang, Ibu sudah dapat pesaing seimbang."

Ibu tertawa menimpaliku.

"Kamu bahagia kah, Nak?" Tangan Ibu belum berhenti membelai rambutku lembut.

In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang