1 | Pada

27.8K 2.3K 263
                                    

Ody

Sabtu, 9 September 2017

Aku menggamit lengan pria di sebelahku; melalui berjuta-juta instrumen saxophone Kenny G, antrean buffet, tersenyum lebar di photobooth, putar-putar di sekitar venue untuk parkir mobil, rebutan buket bunga yang dilempar bride, dan bersua dengan kawan lama yang biasanya sepaket dengan pertanyaan: "Eh, lo masih sama Agi? Apa? Masih belum kawin juga lo pada?" Aku akan melengos dalam batin, kawin sih sering, nikah yang entah kapan.

Ini kondangan kesekian juta dalam nyaris sepuluh tahun terakhir. Dari zaman aku masih menjadi budak korporat dengan kantung mata cekung, dan Agi adalah seorang ko-ass yang selalu memakai batik yang itu-itu saja; sebuah kemeja batik cokelat yang selalu tersimpan di mobilnya, sengaja dipersiapkan untuk kondangan. 

You know, saat memasuki usia pertengahan 20 dan seterusnya, kamu bakal kewalahan menghadiri berbagai wedding-related event. Engagement lah, acara adat lah, bachelor party lah, holy matrimony, resepsi, sampai after party. Andai setiap menghadiri acara wedding-related ini aku digaji, mungkin aku sudah menjadi milyarder di usia muda. Dan selama itu pula, aku hampir selalu bersama Agi.

Hari ini adalah tipikal hari Sabtu di ballroom dalam acara wedding yang kuhadiri lagi-lagi dengan Agi. Seperti biasa, menghadiri acara wedding berarti reuni kecil-kecilan. Mulutku kering setelah berbincang dengan beberapa teman lamaku. 

Perutku pun bersiul nyaring. Setelah menimbang-nimbang di antara beberapa pilihan food stall yang tersedia; salmon en croute, bebek peking, kambing guling, sate ayam, seafood tom yam, zuppa soup, dan lain-lainnya. Aku memutuskan untuk mengantre di food stall yang paling mengular antreannya; bebek peking. Nice. Padahal aku lapar. Seharusnya aku memilih stall kambing guling yang relatif lebih sepi supaya cepat. Aku memang payah dalam menentukan prioritas.

"Gi, aku laper," rengekku

"Oh, oke." Agi menyunggingkan senyuman yang kurang lebih berarti oke-silakan-mengantre-biar-aku-menunggu-di-sini. Agi sedang asyik melepas rindu dengan kawan lamanya, Dewa dan Marcell.

Aku lantas turut meramaikan antrean stall bebek peking. Kakiku maju selangkah demi selangkah mendekat menuju stall, antrean terus memendek. Namun, saat aku nyaris mendapat giliranku, lemaslah aku tatkala melihat tinggal beberapa iris daging bebek yang tersisa. Daging bebek yang putih dan juicy, dibalut kulit garing, berwarna cokelat mengilap. 

Glek. Astaga, aku menelan ludah dan malu sendiri karena sepertinya semua orang di ruangan ini dapat mendengar suara kerongkonganku. Pria yang mengantre tepat di depanku itulah yang berhak mendapat jatah terakhir itu. Aku menatap tangan beruntung itu dengan iri.

Namun apa yang terjadi selanjutnya adalah kejutan. Pria yang mengantre tepat di depanku mengambil capit makanan, mengangkat porsi terakhir bebek peking itu, dan memindahkannya ke.... piringku. Iya, piringku. Ia berbalik, memandangku sambil tersenyum sopan.

Blazer hitam, sarung songket merah selutut, dan mengapit aksesoris songket yang senada dengan sarungnya. Ada sesuatu pada sepasang mata itu. Gelora yang tidak putus-putus. Tatap menyembilu hasrat. Kulit yang lecat, rambut yang lebat, mata yang pekat. Seperti berlian mentah yang belum diasah; kasar, redup, tidak cemerlang. Hanya mereka yang memahami yang akan berdarah-darah memperebutkannya. Pesonanya serempak memancing binar di mataku.

Badannya dicondongkan ke depan, gesturnya mempersilakan. Aku tergugu seperti orang tolol.

"Hah? Ini buat saya? Kok?" Aku ingin menolak, tapi dia sudah terlanjur memberikan jatah makanannya padaku.

"It's okay. Saya tunggu dulu saja." Laki-laki itu menunjuk koki di balik food stall yang sedang memanggang bebek peking selanjutnya.

"Ah, tapi..." Maksudku, tapi, masih lama kan pasti?

"No problem. Mbak duluan saja. Saya sengaja menunggu yang masih hangat. Hehehe." Ujung bibir pria itu melengkung lembut. Senyum itu memoles setiap sisi wajahnya dengan apik. Parasnya benderang.

"Terima kasih banyak ya." Aku mengulas senyum selebar mungkin, kemudian membungkuk mohon diri. Tak ayal karisma pria itu menderaku bulat-bulat.

***

Itu cerita tiga bulan yang lalu, saat Agi masih menjadi pasangan kondanganku yang setia. Sekarang bukan lagi. Semenjak peristiwa food stall bebek peking, cerita berganti. Pria yang mengorbankan jatah bebek peking miliknya, kini menjadi orang yang lengannya kugamit kemanapun. Tidak secara harfiah sih. Karena yah...

Jangan sampai Agi tahu.


---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini supaya bisa ditemukan jauh lebih banyak pembaca! :)

In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang