Ody
"Rhapsody yang bandel itu kan anak dokter, kok, sakit-sakitan?"
"Ibunya memang dokter. Lah, bapaknya?"
"Iya juga ya. Mungkin dia sakit-sakitan itu ngikut bapaknya."
"Mungkin, ya."
"Bapaknya yang mana sih? Perasaan gak pernah kelihatan, tuh. Udah meninggal? Atau sudah cerai sama ibunya dari lama?"
"Salah semua. Memang dia gak pernah punya bapak."
"Waduh. Kok bisa?"
"Bapaknya kabur."
"Kabur gimana?"
"Biasa, kecelakaan."
"Ibunya hamil di luar nikah, gitu?"
"Begitulah."
"Oalah, pantes. Karma, tuh, ibunya. Siapa suruh macem-macem? Laki-laki kan begitu, cuma mau enak, tapi gak mau anak."
"Betul, tuh. Mana anaknya jadi gak keurus gitu pula."
Aku tidak tahan dengan mulut-mulut besar itu. Kuhampiri mereka, kukoyak ekstensi mulut setan itu satu per satu. Aku menghajar mereka--sekumpulan bangsat tersebut, masing-masing satu kali. Aku marah pada Tuhan, bisa-bisanya pintu neraka dibiarkan melonggar sehingga penghuninya kocar-kacir berbuat kacau di muka bumi.
Begitu puas kepalan tanganku menjotosnya, jemari-jemari yang menggumpal itu berbalik beradu dengan diriku sendiri.
Sebenci-bencinya aku pada mereka, aku jauh lebih benci pada diriku sendiri.
***
Kamis, 14 Juni 2018
"Tapi, Ta. Gak pernah sekalipun dalam hidup, gue benci sama laki-laki," lirihku.
Kepalaku dialasi pangkuan Ista. Pandanganku diburamkan air mata. Sementara Ista membelai rambutku penuh cinta.
Aku akan resmi memasuki klub kepala tiga di tahun ini. Semakin hari, kehidupanku semakin sepi. Kehidupan bergulir rumit, kesibukan kejam menghimpit, sekadar bercengkrama di tengah tuntutan pekerjaan saja sudah sulit. Lingkaran pertemanan semakin menyempit, menyisakan teman yang hanya sedikit.
Ista adalah teman yang bertahan dalam lingkaranku. Sejak lingkaran milikku masih sebesar bola dunia, hingga waktu memangkasnya menjadi sebesar lubang cincin saja. Bagiku, Ista adalah sahabat setia. Hari ini, aku mengosongkan jadwal kerja, mendelegasikan pekerjaanku sementara, demi menemui Ista. Tebak aku di mana? Betul, aku sedang di Naturista, tetapi bukan di kafenya, melainkan di ruangan pribadi pemiliknya.
"Iya, Ody."
Ibuku pernah muda dan naif tingkahnya. Ibuku jatuh cinta pada seorang pria. Mereka bercinta, membawa aku ke dunia. Pria itu sudah berumah tangga, ibuku perusaknya. Ayah biologisku pergi, meninggalkan ibuku yang patah hati. Namun, ibuku sadar diri, terlepas dari imejnya sebagai perebut pria beristri, ibuku telaten membesarkanku secara mandiri, tegar sebagai orang tua tunggal yang berdikari.
Apa aku tidak pernah bertanya siapa ayah? Tentu pernah, tetapi ibu marah. Ibu bilang, biarkan bedebah itu hilang terkoyak di antah berantah. Untuk apa aku tahu, toh lebih banyak tahu berarti membuka luka lebih parah. Toh, andai aku tahu, tidak ada keadaan yang bisa berubah. Yang sudah biarlah sudah. Keluargaku tidak utuh, begitulah. Namun absennya sosok ayah, tidak usah dianggap sebagai celah. Meski tanpa figur orang tua lengkap, aku tetap berhak akan masa depan yang cerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1
RomanceAman tapi tidak nyaman, atau nyaman tapi tidak aman? "Buat apa memilih salah satu jika bisa mendapat keduanya dalam satu waktu?" -- Orang pertama yang tidak tahu apa-apa, orang kedua yang mendua, dan orang ketiga yang masih rahasia. Perselingkuhan d...