Ody
Sabtu, 9 September 2017
"Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu gak mau married buru-buru?" kilah Agi sambil mengemudi.
Kucuri pandang rupa elok itu. Sisa-sisa mentari memahat tulang pipinya dengan rapi. Pantulan sinarnya berkilat cantik di sepanjang bingkai kacamatanya. Kerah tinggi dari kemeja biru muda menunjang leher jenjangnya. Blazer biru dongkernya ia gulung sampai siku.
"Iya Gi. Tapi itu kan dulu, sembilan tahun yang lalu. Sekarang aku sudah 29, Gi," pungkasku resah.
Agi mendesah. "Iya aku tahu. Tapi untuk sekarang, mau gimana lagi. Jalanin saja dulu."
Sialan. Agi selalu mengumandangkan mau gimana lagi seolah dia tidak punya kuasa atas keputusannya sendiri. Ditambah kalimat pamungkas jalani saja dulu seolah kami tidak punya pilihan lain. Amarahku memanjat ubun-ubun.
"Kita selalu bilang, jalanin aja dulu. Tapi kalau dipikir-pikir, kita ini menjalani apa sih? Mau jalan ke mana? Apanya yang dijalani kalau tujuan saja tidak punya?" Aku memekik jengkel.
***Argumen pun meruncing dan meruncing. Beberapa tahun yang lalu, Agi berdalih bahwa kami tidak bisa cepat menikah karena Agi masih menunggu kakaknya; Ardi, untuk menikah terlebih dahulu. Tapi toh, Ardi sudah menikah dua tahun yang lalu. Beres Ardi menikah, kukira Agi akan kehabisan alasan. Ternyata muncul alasan baru: Agi sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri menjadi calon residen mata. Bahwa porsiku adalah untuk mengertinya, berhubung upayanya menempuh pendidikan juga demi masa depan kami berdua.
Halah. Masa depan, masa depan terus cakapnya. Masa depan yang mana? Toh di masa kini, kami tidak mengusahakan apa-apa selain jalan di tempat. Bicara masa depan seperti sangat fana jaraknya, berhubung kami hanya di sini-sini saja.
Agi mengorganisir napasnya yang memburu.
"Aku pikir kita satu visi, Dy."
"Visi yang mana?" Keningku mengernyit.
"Ya. Terkait kapan mau settle down."
"Visi orang itu berkembang." Aku berdecak tidak sabar. "Mana ada manusia yang visinya begitu-begitu saja seumur hidup. Dulu visiku seperti itu karena aku pikir aku mau kerja dulu, mapan dulu. Sekarang aku sudah keduanya. Aku juga sudah bersama kamu sejak lama. Kupikir, apa lagi yang aku tunggu?"
"Ya kamu tunggu aku lah."
"Gi. Kamu ini gak ada pikiran mau menyesuaikan visi lamamu dengan hidupmu yang sekarang kah?"
"Maksudmu, Rhapsody? Maksudmu visiku gak berkembang gitu?" Agi menyempatkan menoleh sedetik untuk menatapku dengan tatapan menghunus. "Berkembangnya visi hidupku, bukan urusan kamu."
"Kenapa bukan urusan aku?" marahku.
"Ya jelas bukan urusan kamu! Kamu bilang visi hidupku tidak berkembang, tahu dari mana kamu? Kamu ini cuma lihat dari satu sisi saja. Kamu pikir hidupku cuma tentang menikah?"
"AGI!" Suaraku menukik. Dengan kasar kuusap bulir air mata yang besar-besar turun di lereng pipi. "Aku cuma mengharapkan kamu tunjukkan keseriusan kamu, kalau kamu memang serius. Apa lagi sih yang kamu tunggu?"
"Aku sibuk, Dy--"
"Bicara sibuk, aku juga sibuk," potongku tak terima. Dia pikir di muka bumi ini, cuma dia yang punya agenda?
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1
RomanceAman tapi tidak nyaman, atau nyaman tapi tidak aman? "Buat apa memilih salah satu jika bisa mendapat keduanya dalam satu waktu?" -- Orang pertama yang tidak tahu apa-apa, orang kedua yang mendua, dan orang ketiga yang masih rahasia. Perselingkuhan d...