Hugo
Sabtu, 9 September 2017
Aku tidak sengaja berjumpa Si Cantik Rhapsody saat tengah mengantre di buffet kondangan sepupuku. Ia mengantre di belakangku. Kesan pertama, aroma tubuhnya menguar kuat dan lekat. Wangi oud yang cukup tajam membuatku berpikir bahwa dia pasti bapak-bapak pensiunan yang overdosis parfum. Don't get me wrong, aku suka aroma oud. Aku sendiri sehari-hari menggunakan Bvlgari Le Gemme Kobraa yang notabene base note-nya adalah oud. Tapi this person right behind me just smells too much. Di kepalaku, aku membayangkan dia pasti sosok om-om berusia pertengahan lima puluh, botak, dan berkumis. Tanpa tendensi lain selain rasa penasaran, aku meliriknya. Oh my. Ternyata dia perempuan! Bukan sekadar perempuan, karena yang satu ini memikat sekali.
Aura tebal memancar dari seluruh komponen dirinya. Susunan tulang wajahnya terlihat memukau disanding senyuman manis. Pinggang yang ramping itu elok dibalut gaun emas. Bahkan rambut berombak yang menggantung sedikit di bawah dagu itu terlihat tidak biasa, seperti ditata langsung oleh tangan Dewa-Dewi. Ditambah bahasa tubuhnya yang anggun sekaligus misterius, serta merta mengundang tekadku untuk menyelaminya dalam-dalam. Kecantikan itu bukan kecantikan wajar.
Oh God. Ini sih sepupuku pun kalah mentereng sebagai pengantin. Oh Lord. Aku jadi salah tingkah seperti bocah ingusan yang baru pertama kali naksir anak tetangga. Kecantikan yang disandang perempuan ini menimbulkan obsesi instan dalam diriku. Liar dalam kepala, ramai dalam nadi, berkerak di seantero dada. Bagaimanapun caranya, aku harus mendapatkannya.
Aku harus menunggu beberapa orang di depanku sampai tiba giliranku, dan yang aku pikirkan hanyalah, bagaimana saat aku tiba di ujung antrean, aku harus sudah tahu siapa namanya. Syukur-syukur kalau dia berkenan memberi kontaknya. Tanganku mengepal dengan tanjak songket merah emas di dalamnya. Sementara sel-sel otakku berlomba menawarkan berbagai metode menarik untuk memulai pembicaraan dengan Si Cantik.
Sampai di ujung antrean, Bebek Pekingnya hanya tersisa satu porsi. Spontan aku menaruh satu porsi terakhir tersebut di piring perempuan itu. Matanya membeliak, ia sempat menolak karena merasa tidak enak hati.
"Terima kasih banyak ya," ucap perempuan itu ujungnya. Barangkali ia pun enggan menghambat antrean dan membuat orang-orang yang mengantre di belakang kami mengamuk. Ia permisi.
Aku tidak rela kehilangan momen berharga. Selanjutnya, aku mengumpulkan seluruh keberanian yang aku punya di mulutku, "Mbak, namanya siapa?"
Deg deg deg, jantungku memukuli balik dadaku begitu keras.
"Saya Ody."
Jawabannya menerbitkan senyum di bibirku. Uniknya perempuan ini. Parfumnya parfum laki-laki, namanya pun Ody.
"Kalau Mas-nya, namanya siapa?"
Ya Tuhan, amal baik apa yang telah aku perbuat sampai perempuan cantik ini balik menanyai namaku?
"Hugo. Saya Hugo." Aku menjawab kegirangan, meski mungkin bidadari di hadapanku balik bertanya supaya percakapan kami tidak timpang saja.
Ody berpamit. "Saya duluan ya, Mas Hugo." Ody melambaikan tangannya. Silaunya sebelas dua belas dengan Puteri Indonesia yang baru saja disematkan mahkota borobudur merah.
"Iya." Aku memaksa melepaskan mataku dari sosoknya, tapi tidak bisa.
***
Ballroom Sudirman hari ini begitu megah dengan dekorasi merah dan emas yang mencolok. Pelaminan dihias dengan motif sulur-sulur khas tradisional, untaian kain songket, sofa serta seperangkat furnitur warna emas, dipercantik dengan bunga-bunga warna cerah serta tata lampu yang apik. Tadinya pelaminan itu jadi pusat mata para hadirin, tapi kali ini sang mempelai wanita yang jadi pusat perhatiannya. Anis-ku yang berharga, dengan gemulai mempersembahkan Tarian Pagar Pengantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1
RomanceAman tapi tidak nyaman, atau nyaman tapi tidak aman? "Buat apa memilih salah satu jika bisa mendapat keduanya dalam satu waktu?" -- Orang pertama yang tidak tahu apa-apa, orang kedua yang mendua, dan orang ketiga yang masih rahasia. Perselingkuhan d...