Agi
Menjadi dewasa adalah tentang memaklumi bahwa masa lalu sudah terjadi. Tidak ada satupun yang berkuasa mengubahnya. Pun kita hanya bisa menerima.
Jumat, 1 Februari 2019
Adalah di dalam ruang bersalin, tempat nyawa dipertaruhkan. Aku menghitung jumlah suara blip dari mesin, bunyi-bunyian alat suction--penyedot, denting bilah klem--gunting, serta berbagai suara pengiring. Pemandangan di hadapanku adalah para dokter dan perawat dengan surgical gown--baju operasi warna hijau, masker medis dan penutup kepala. Mereka berlalu lalang seraya berbincang serius.
Tanganku menggenggam, pergelanganku digenggam. Aku membasuh peluh pada keningnya.
Bayi mungil itu tidak menangis, tidak bergerak, tidak berdaya. Seorang dokter yang sebagian wajahnya tertutup masker tampak memberi isyarat dengan gelengan pesimis. Dengan sigap, dokter lainnya membawa bayi tersebut ke ruang NICU--Neonatal Intensive Care Unit--ruang perawatan intensif khusus bayi baru lahir. Aku paham, pada situasi segenting ini, hanya mukjizat yang bisa menyelamatkan.
"Something happened, right?" Suaranya terbata-bata putus asa.
Menyaksikan seluruhnya--dari mulai Celia merasakan henti gerak dalam perutnya, aku yang melarikannya ke rumah sakit, hingga proses c-section--operasi sesar darurat seperti sekarang--sungguh mampu melenyapkan seluruh kosa kata yang aku punya.
Seiring bertambah usia, aku sadari hidup bukan selalu tentang apa dan siapa yang kita cinta. Justru terkadang kita tidak suka, hanya kita tetap harus menghadapinya.
Masalahnya, entah sejak kapan, dalam hatiku mulai terbit afeksi. Lambat laun, aku mulai mengasihi nyawa yang bertumbuh dalam rahim Celia. Aku mulai memantaunya, mendoakan hal-hal baik untuknya, mengajaknya berbicara, bahkan menyusun rencana tentangnya.
"Hang in there, Celia." Aku berbisik.
Batinku menguntai doa. Aku tebus segala keliru yang aku perbuat di masa lalu. Semoga Tuhan membersamai niat tulusku.
"Agi," panggilnya.
"Ya?" Aku meneliti sudut dan lekuk wajah pucat itu.
"Sedih." Celia mengeratkan genggamannya.
Ia memejamkan mata, kemudian menangis dalam diam. Dadaku terasa berat. Aku pun perlahan disengat rasa terluka.
"Kamu baik," Celia membuka mata. Bibir pucat itu melengkung. "Semoga hidupmu pun baik ya."
Aku balas merengkuh tangannya, tapi pegangan tangannya padaku mengendur.
"Celia?" panggilku.
Perempuan itu diam saja.
"Cel?"
Masih, perempuan itu tidak menjawab. Apa ia terlalu sedih sehingga tidak sanggup menjawabku?
Aku mengguncang tubuhnya. "Celia!" pekikku sedikit lantang.
Celia masih bergeming. Genggaman tangannya lepas sama sekali. Suhu tubuh 37 derajat, saturasi oksigen hanya 41 persen, terjadi takikardia--pelonjakan jumlah detak jantung hingga lebih dari seratus kali per menit, tekanan darah meninggi, napasnya memendek.
Dengan cekatan, seorang perawat memasang sungkup pada hidung dan mulut Celia, lalu menghubungkannya ke mesin oksigen. Namun, tidak ada peningkatan saturasi oksigen, sehingga Dokter Anestesi memasukkan laringoscope guna membuka jalur napas, lantas memasukkan tabung endotrakeal sebagai alat bantu napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1
RomanceAman tapi tidak nyaman, atau nyaman tapi tidak aman? "Buat apa memilih salah satu jika bisa mendapat keduanya dalam satu waktu?" -- Orang pertama yang tidak tahu apa-apa, orang kedua yang mendua, dan orang ketiga yang masih rahasia. Perselingkuhan d...