05 | PATAH BERTAHAP

242 53 163
                                    





╭┉┉┅┄┄┈•◦•◦•◦

Batin. Inti masalahnya,
tersembunyi di sana.

•◦•◦•◦┈┄┄┅┉┉╯








ོ ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀ ོ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀⠀ ོ ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀ ⠀⠀⠀⠀ ོ ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀ ⠀                  ⠀           ⠀ ོ ⠀ ⠀              ⠀ ོ




Bertahun-tahun yang lalu . . .

Dendang lagu lawas itu sayup-sayup mengalun ke seluruh ruangan di dalam rumah. Lagu kesukaan nenek itu memang sering diputar setiap sabtu, hari dimana para cucunya berkumpul. Beberapa anak perempuan dan laki-laki berloncatan dari satu sofa ke sofa lainnya. Imajinasi mereka layaknya melompati aliran lava panas, jangan sampai jatuh ke lantai, nanti jadi tengkorak. Begitu aturannya. Mereka menjerit seru tatkala berhasil melompat dan tidak jatuh.

"Kalau injek batu, gak mati," ucap Megan, anak bertubuh tinggi dan kurus seraya melempar bantal kursi ke lantai.

"Asal jangan jatuh ke lantai. Itu lahar panas!" Belin berseru sambil melompati sofa dengan jarak paling jauh.

"Setuju!!!" Rizky menyahut. Ia berdiri hati-hati di atas meja.

"Jangan di meja, Ki!" cegah Belin, ia memandang was-was ke arah jendela ruang tamu. Para ibu sedang sibuk di halaman samping rumah bersama nenek.

"Gak apa, Belin. Mamaku lagi sibuk gendong Wiwid. Gak akan liat kita." Rizky tertawa-tawa. "Milo mana?"

"Pipis. Tadi ke kamar mandi dia."

Bening, melompat-lompat girang di ujung sofa. "Amdan sini! Amdan sini!" teriaknya.

Ramadhan, dua tahun lebih tua dari Bening, segera melompat lebih tinggi ke tempat Bening. Keduanya tersuruk ke ujung sandaran sofa. Kepala mereka saling terantuk. Bukannya menangis, keduanya justru terbahak.

Megan mengambil posisi, ia melompati bantal-bantal di lantai. Lebih memilih melompati batu daripada pulau sebab Bening dan Ramadhan terlalu brutal gerakannya.

"Bel, sana!" tunjuk Megan, "ntar kita tabrakan!"

Belin kembali ke atas sofa. Gadis itu segera mencari tempat mendarat selanjutnya. Megan melarangnya mendarat di tempat yang sama. Kaki Belin bersiap, ia meloncat tinggi dan menabrak tubuh lain telak-telak.

"Bening, Amdan! Awas!"

Terlambat. Tumpuan kaki Ramadhan merosot ke sisi sofa, malang bagi Bening, gadis kecil itu terdorong ke belakang sofa. Tubuhnya terjebak di antara sandaran sofa dan dinding. Terdengar suara berderik tulang patah diiringi jeritan.

.....

"Gak patah kan Mah? Bukan patah kan?" ratap Belin dengan air mata bercucuran di kedua pipinya.

"Bukan," jawab Huanita tersenyum. "Cuma bergeser tulangnya. Ayo kita masuk ke kamar."

Belin membiarkan mamanya mendorong dirinya masuk ke tdalam kamar itu.

RabelinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang