Beberapa tahun setelah drama menyakitkan di kampusnya berakhir, Belin yang bergelar bidadari kini menjelma peri dalam lanskap alam liar. Ribuan omelan dari rumah, ratusan tanya dari para kerabat dan berjuta rindu yang mengendap berat, seolah menarik...
Radith, yang sejak awal hanya duduk di sebelahnya, memandang ragu.
"Dith... lihat deh." Satu tangan Belin menunjuk ke arah salah satu pohon yang sangat tinggi.
"Apa?"
"Lihat.... itu ada yang lari-lari warna coklat di situ," tunjuk Belin lagi.
Radith memfokuskan pandangannya ke atas dahan pohon. Ada yang bergerak di sana. Belin benar. "Itu tupai, atau musang?"
"Lucu ya," komen Belin.
Mereka mengamati beberapa ekor tupai atau musang yang berkelebat di antara pepohonan. Ranting-ranting itu bergoyang usai dilompati para tupai, beberapa daun yang kuning kecoklatan terlepas, melayang sebentar dan mendarat lembut ke bawah. Nuansa warna kecoklatan dari dedaunan bak potongan kain perca menghampar dan menyatu seperti karpet empuk nan hangat di atas permukaan tanah. Ideal untuk alas tidur-tiduran di dalam hutan.
Aneka pakis-pakisan tumbuh sembarangan di antara batang-batang pohon yang langsing, di mana cahaya matahari hanya melintas samar-samar ketika tengah hari cerah. Di arah jam tiga dari batu oval itu, terdapat sederet pohon yang menjulang tinggi. Di bagian hutan yang ini memang ditumbuhi pohon-pohon sejenis pinus yang tinggi langsing hingga ujung-ujungnya hilang di langit. Diameternya tidak terlalu lebar. Yang terbesar kira-kira selingkar rangkulan orang dewasa, pun masih bisa mempertemukan tangannya.