12 | MALAM TANPA BULAN

148 28 6
                                    

Mohon maaf lahir dan batin gaes.
After puluhan purnama, kembali update!

Thankyou sudah membuka part ini
Selamat membaca my dearest readers
✧.*ೃ༄˚ · .✦ ˚ · .· •. * . • ·•. ✶˚ · .· ✎






"Burry seeds in your wounds, let flowers grow where it hurts."
~ Ezzar Radithara Hauzaan ~

━━•❃°•°❀°•°❃•━━

Senyum Radith adalah hal yang sangat jarang terlihat di bawah atap rumah ini. Rumah ini –Radith menyebutnya sebagai kamp konsentrasi– tempat dimana semua kebahagiaan bahkan yang paling remeh sekalipun, terhisap lesap tanpa jejak. Ketika kakinya menjejak di lantainya, seakan ada pengatur mood otomatis yang membuat manusia di dalamnya selalu dalam suasana suram.

"Mau jenguk sebentar," kata Radith ketika wanita itu memandangnya dengan ekspresi tanya.

Tanpa menunggu respon apapun, Radith melangkah cepat menuju lantai teratas yang terisi beberapa kamar. Kamar paling ujung, ke sanalah Radith mengarahkan kakinya. Kamar itu memiliki pintu dari kayu Ek berpelitur halus. Pegangn pintunya berwarna tembaga. Radith membukanya, ruangan seluas 4x5 meter bernuansa ivory pucat itu menyambutnya. Radith menutup pintu dan melangkah masuk.

"Ezzar...," rintih sosok yang terbaring di atas tempat tidur. "Kok gak bilang kalau pulang?"

Radith tersenyum. Senyum paling hangat yang sangat langka. "Cuma mampir sebentar," jawab Radith.

Tangan itu terulur padanya. Radith mendekat dan menciumnya. Lembut dan hangat. Tangan yang ia impikan bisa mendekapnya dengan segenap hati sejak lama. Namun tangan hangat yang tengah ia genggam inilah yang dulu memberinya tamparan keras di kedua pipinya. Menyisakan rasa pedas dan panas di kulit wajahnya.

"Kamu gak mau bermalam di sini?"

"Enggak," jawab Radith.

"Kamu gak sudi satu atap sama orangtuamu ya?" Ada senyum miris yang tertangkap mata Radith.

"Sekalipun jadi gembel, Ezzar gak mau di rumah ini lagi."

Senyum itu tampak maklum, walau sorot matanya berlawanan.

"Sampai kapan kamu masih marah, Nak?"

Radith berdiri. Mundur dua langkah dari tepi tempat tidur. Ia balas menatap dengan kesungguhan di kedua matanya, diiringi senyuman prihatin Radith pun menyuara,

"Ezzar pamit dulu."


━━•❃°•°❀°•°❃•━━



Pintu ruangan diketuk dan dibuka dalam waktu bersamaan. Daca melangkah masuk, menutup kembali pintunya dan bergabung dengan tiga pasang mata yang kini tengah menatapnya. Mengambil posisi duduk di pertengahan, Daca mengulurkan tangannya pada gadis berkulit pucat. Gadis ini, adalah benang merah sekaligus kusut yang membuatnya terikat dalam penjara dan rasa bersalah pada Belin.

"Apa kabar?" tanya Daca.

"Baik," jawab Rasta sambil menyambut uluran tangan tersebut.

Jabat tangan yang hanya berupa genggaman sekilas. Walau kaku, tapi dialog yang mereka lakukan barusan sudah sangat kemajuan, dibandingkan masa-masa suram perkuliahan mereka dulu. Miki tanpa sadar ikut waspada dan menyimak interaksi mereka dengan cermat. Usai jabat terurai, tangan Daca pun beralih ke hadapan Niken.

RabelinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang