3.

13 4 0
                                    

Sayup-sayup aku mendengar suara perdebatan dua orang di sekitarku.

"Kita harus bawa ke rumah sakit sekarang, dia belum bangun juga"

"Percaya sama aku, sebentar lagi bangun"

"Teman macam apa si, temannya sakit ko di biarin aja"

Seperti itulah sebagian perdebatan mereka yang ku dengar. Aku mengerjakan mata dan terlihatlah langit-langit kamar lalu menoleh pada kedua temanku yang masih berdebat.

"Bisa diem ngga!!" Kataku
Mereka langsung diam dan menoleh ke arahku. Hasna menghambur memelukku.

"Azza, akhirnya kamu bangun juga. Aku minta maaf, aku nggak tau kalo kemarin kamu lagi sakit. Harusnya aku nggak ngajak kamu pergi"

"Hmm...aku udah maafin kok"

"Lebih baik?" Tanya Hafi yang sebenarnya lebih mengarah pada pernyataan.

"Emang sakit banget yah? Tidur sampai dua puluh empat jam lebih" kata Hadi lagi

"Hah?....sekarang jam berapa?"

"Jam tiga sore"

"Nggak tau, kemarin emang sakit banget"

"Kamu kenapa si, setiap kelelahan pasti sakit kepala, biasanya rata-rata kebanyakan orang kan demam"

"Aku juga nggak tau fi"

Aku juga bingung dengan diriku ataupun tubuhku. Sakit kepala itu sejak aku kelas empat MI, saat pertama kali menstruasi. Hingga sekarang. Memang aku jarang, hampir tidak pernah demam.

Hanya keluargaku dan Hafi yang tau hal ini. Mungkin jiga Gus Al tau, dari Hafi.

"Kalian ngomongin apa si?, Aku nggak paham sama sekali. Bukannya baru kali ini yah Azza sakit" kata Hasna yang penasaran.

"Nggak, ini bukan yang pertama untuk Azza, aku akan jelasin tapi di luar, za kamu istirahat ya"-Hafi.

Hafi itu tampang datar dan cuek tapi sebenarnya dia perhatian. Meskipun cara menunjukkannya berbeda.

Aku bukan orang yang dengan mudah menceritakan keadaanaku pada orang lain, bahkan pada keluargaku sendiri. Aku juga tidak memberitahu perihal sakit kepalaku pada Hafi. Dia tau sendiri kerena sering memperhatikan semua aktivitasku.

*****

Aku merasa bosan setelah mereka berdua keluar. Aku memutuskan untuk keluar kamar. Sakit di kepalaku juga sudah menghilang di terpa angin.

Duduk di taman, sambil menikmati sore. Ada beberapa santri yang masuk dari pintu gerbang dengan membawa tas ransel. Ada juga yang membawa sekotak kardus.

"Assalamualaikum warahmatullah" seseorang mengucap salam

"Wa'alaikumussalam warahmatullah" jawabku lalu mendongak. Aku kaget melihat ada bunyai. Ya, tadi yang menguluk salam adalah beliau.
Aku segera berdiri dan mencium tangan beliau tiga kali.

"Ada yang ingin umi bicarakan denganmu" kata beliau, setelah duduk di sampingku.

"Nggih bunyai"

"Panggil umi saja, kamu sama seperti putri umi sendiri" bunyai meraih tanganku dan menggenggam nya. Jiga mengisap kepalaku yang tertutup kerudung.

"Ada yang ingin melamarmu, nak"

Hah! Aku kaget saat bunyai mengatakan itu.

"Tapi kulo tesih SMA mi"

"Yo Ndak papa, Ndak ada larangan"

"Tapi sinten mi?"

"Umi Ndak mau sebut namanya. Dia putra kyai dari kebumen, adiknya juga mondok di sini"

"Tapi kulo dereng pantes sadis garwone putra kyai"

"Husstt....sapa sing ngomong ora pantes. Kamu sudah jadi Hafidzah, kitabnya juga lancar. Apalagi awakmu ws dadi ustadzah"

"Tapi---

Aku belum menyelesaikan kata-kata ku tapi bunyai di panggil Abah, jadi beliau pamit.

Aku sangat belum siap jika seorang putra kyai datang melamarku. Meskipun aku sudah pantas menjadi calon istrinya, kata bunyai. Tapi tetap saja aku masih merasa jauh dari itu.

Apalagi aku masih penasaran dengan seseorang berinisial M-Z. Hingga sekarang aku belum bisa menemukan orang itu. Hasna mungkin saja tau tapi saat aku bertanya padanya, dia enggan menjawab.

HafiazzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang