Dua Minggu berlalu, sehari setelah aku dikhitbah. Yup, kemarin keluarga calon suamiku datang ke rumah.
Aku sangat tidak menyangka bahkan nyaris mengira jika acara khitbah kemarin adalah mimpi belaka. Laki-laki yang mengkhitbahku adalah Kakak dari Hasna, Gus Zainal. Aku hampir pingsan saat itu (oke, itu terlalu lebay. Sebenarnya cuma kaget)
Aku sama sekali belum memberikan jawaban atas khitbah itu. Aku meminta waktu 7 hari untuk berfikir juga meminta petunjuk pada Allah swt. dan besok lusa aku sudah harus kembali ke pesantren.
Semalam setelah melaksanakan sholat istikharah, aku bermimpi berada di suatu tempat yang indah, bermain bersama seorang anak kecil yang sangat mirip dengan Gus Zainal. Anehnya anak itu memanggilku dengan sebutan ibu. Aku tidak mengerti dengan mimpi itu. Dan aku pun tak ambil pusing untuk memikirkannya.
"Lagi ngapain dek? Kakaku duduk di sebelahku. Tumben dia mau menyapaku.
"Nothing" aku menjawab singkat. Malas berurusan lebih jauh dengannya. Apalagi perasaanku mulai tidak enak.
"Cepet banget kamu di lamar, padahal masih kelas sebelas SMA"
"Apa maksudmu?"
"Santai dong, mukanya biasa aja gak usah tegang. Kamu selalu beruntung. Jadi anak terakhir, dimanja, tidak pernah di di sakiti oleh orang tua, lebih disayang, leb---"Bukankah kakak lebih beruntung, kuliah dengan beasiswa, pekerjaan sudah terjamin, fasilitas kamar kakak paling lengkap dia antara kita bertiga bahkan paling luas. Mama juga jarang menyuruh kakak membersihkan rumah. Dan kakak masih menganggap ku beruntung?"
Semua yang kukatakan itu benar. Apapun keinginan kakak pasti langsung di turuti.
"Kau tahu, mama selalu bersedia karena--
"Aku tahu, jadi apa mau kakak?"
"Kenapa Zainal nggak buat kakak aja"
"Nggak usah dengerin kakakmu za" tiba-tiba mama datang.
"Apa maksud mama?" Kakak berbicara dengan nada naik satu oktaf. "Azza masih SMA ma. Dia belum cukup dewasa untuk berumah tangga"
"Bahkan Azza lebih dewasa daripada kamu"
"Terus aja belain Azza"
"Ka---
"STOP IT, AKU AKAN MENURUTI APA KATA KAKAK" Aku berteriak di depan mereka, aku sudah muak melihat ma dan kakak selalu berdebat hanya karena aku.
Masuk ke kamar dan meraih ponsel, mengirim pesan pada Gus Zainal.
Me
Assalamualaikum,,
Ngapunten Gus
Besok bisa bertemu?
Ada yang ingin saya
BicarakanGus Zainal
Besok saya jemputGus Zainal langsing menjawab pesanku, bahkan setelah pesannya terkirim.
Tiba-tiba ibu masuk ke kamarku, "kamu nggak usah turuti apa akta kakakmu za" mama berkata lembut."Ngga papa ma, ini yang terakhir kalinya aku menuruti kemauan kakak"
"Tapi nak Zainal mengkhitbah mu, bulak kakak"
"Aku tau ma, jadi aku mohon mama dukung keputusanku ini"
Mama hanya menghela nafas, "ya sudah terserah kamu" dan mama akhirnya keluar kamar.
*************"*
Gus Al sudah datang menjemputku sesuai dengan perkataanya kemarin. Aku segera masuk ke mobil, duduk di kursi belakang. Sementara Gus Al duduk di kursi samping kemudi. Gus Al membawa supir.
Sampai di tempat tujuanz sebuah caffe dan kami segera keluar mobil.
"Saya sudah memesan private room" katanyaPrivate room? Berarti cuma ada kami berdua. Cuma berdua, wow kok niat banget ya.
"Mau pesan apa?" Tanyanya saat kami sudah berada di private room.
"Ndak usah Gus"
"Mba samain punya saya aja" dia berkata pada waiters.
Huh, selalu saja seenaknya saja."Apa yang mau kamu sampaikan?" Tanyanya. Mungkin selagi menunggu pesanannya datang.
"Emm...sebelum ke situ, saya mau tanya beberapa hal sama njenengan. Apa alasan njenengan mengkhitbah saya"?
"Kenapa bertanya seperti itu?" Raut wajahnya terlihat tidak terima saat aku bertanya seperti itu.
"Gus, saya kan masih sekolah, masih 17 tahun. Lagi pula saya hanya anak dari kalangan biasa. Kenapa njenengan Ndak milih yang setara sama njenengan?
"Sa---
Perkataanya terhenti karena seorang pelayan mengantarkan makanan. Untuk sementara, pembicaraan kamu terhenti. Kami khidmat memakan makanan masing-masing. Tapi aku tidak menghabiskan makananku, kenyang."Kenapa Ndak di lanjutin?"
"Kenyang Gus, emm...saya ke toilet sebentar" setelah mendapat anggukan darinya aku segera ke toilet yang ada di ruangan ini.
Sekembalinya dari toilet, meja yang kamu duduki sudah bersih, tanpa ada piring kotor. Sepertinya sudah di ambil.
"Alasan saya memilihmu, saya tidak punya kriteria harus mendapat istri yang sederajat. Semua manusia itu sama dan menurut saya kamu lebih baik dari seorang yang sederajat dengan saya itu. Semua anggota keluarga saya sangat setuju jika kita menikah. Saya yakin kamu yang ditakdirkan untuk saya, jadi terima khitbah saya dan saya tidak menerima penolakan dengan alasan apapun."
Wow!! Aku sedikit terkesan dengan alasannya. Tapi apakah itu ucapan dari hatinya? Atau hanya usaha agar aku menerimanya? Huh, entahlah. Akan ku pikirkan hal itu nanti.
"Oh ya, satu hal lagi" katanya. "Ternyata kamu tidak mendengarkan apa yang saya katakan saat di taman. Saya sudah mengatakan padamu, jangan mengorbankan hidupmu pada orang lain meskipun itu saudaramu sendiri. Ingat satu hal, kita tetap menikah meskipun kamu menolak. Saya permisi"
Gus Zainal langsung pergi dengan wajah menahan amarah setelah mengatakan itu semua. Bagaimana dia bisa berkata seperti itu seakan-akan dia tahu aku akan menolaknya bahkan memintanya untuk menikahi kakakku.
Sekarang aku tidak bisa melakukan apapun lagi untuk menolaknya. Tidak ada cara. Akhirnya aku pun keluar. Saat di depan pintu masuk, aku melihat mobil Gus Zainal sudah berada tepat di depan pintu.
Aku segera masuk ke mobil. Saat dalam perjalanan menuju pesantren, karena aku memintanya mengantarkanku ke pesantren Gus Zainal mengulurkan sebuah ponsel padaku.
"Maaf, saya lancang membuka ponselmu"
Lah!! Bagaimana bisa ponselku ada padanya. Aku segera membuka ponsel, ada beberapa pesan dari kakak. Aku membuka pesan itu, tapi tampaknya ada beberapa pesan yang sudah di buka. Tapi aku merasa tidak membukanya. Apa Gus Zainal yang membuka dan membaca pesannya? Berati dia tahu, dan maksud perkataanya sebelum pergi adalah ini.
Huh, bodoamat lah. Aku tidak peduli. Toh, sekarang aku tidak bisa berbuat apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafiazzahra
RandomPertemuannya dengan seorang Gus, putra seorang kyai juga kakak dari sahabatnya. pertemuan yang berubah menjadi takdir. Dia jodohnya. Walaupun banyak rintangan, termasuk dari keluarganya sendiri yang menginginkan dia menikah dengan kakaknya. Sekeras...