8. Untitle

10 3 0
                                    

Aku sedang duduk di taman komplek pesantren milik kyai Abdullah, ayah mas Zainal. Entah kenapa aku sangat suka pergi ke taman.

Seorang perempuan berjalan ke arahku, lalu duduk di depanku dengan angkuh. Wajahnya memang cantik bahkan aku pun iri dengan kecantikannya. Tapi aku merasa perilakunya tidak sesuai dengan kecantikannya.

"Apa yang membuat seorang Zainal bisa memilihmu" katanya dengan nada sinis yang sangat kentara.

"Tanya sendiri sama orangnya lah" kataku dengan tenang, tanpa menatapnya.

"Apa jangan-jangan kamu yang menggodanya atau mungkin juga kamu memberikan tubuhmu padanya" Dia tersenyum meremehkan. Aku sedikit kesal dengan perkataanya.

"Diam berarti iya"

"Terserah, aku tidak peduli"

"Cih, jalang"

Perempuan itu langsung pergi. Maunya dia apa sih? Dateng hanya untuk mengatakan hal-hal tidak penting.

Tak lama setelah perempuan itu pergi, beberapa anak remaja yang mungkin seumuranku berlari ke arahku. Ada Hasna juga. Mungkin mereka teman-teman Hasna di sini.

"Njenengan keren Ning, berani lawan perkataan Ning Olif" kata salah satu dari mereka.
Aku hanya tersenyum dengan raut bingung.

"Orang yang tadi, namanya Olifia dipanggilnya Olif. Dia putri kyai Jawa timur, aku kurang paham dengan keluarganya. Dia itu terkena sebagai santri tercantik di sini, dia juga suka sama kak Zainal" Hasna menjelaskan siapa Ning Olif itu.

"Oh ya, kak mereka ini temanku. Ini aya, sebelahnya Dian, yang pake kerudung hitam itu Afi sama Fia"

"Oh" aku ber-oh ria menanggapi Hasna yang memperkenalkan teman-temannya. 'ning Azza cuek banget kaya Gus zainal' aku mendengar salah satu teman Hasna mengatakan itu dengan lirih. Mungkin niatnya berbisik kepada teman di sebelahnya tapi aku masih bisa mendengarnya.

Seketika aku menatapnya tajam dengan ekspresi datar. Dia tersadar aku menatapnya. Wajahnya terlihat memucat dengan tubuh sedikit bergetar ringan. Aku mendengus sedikit kesal, memangnya aku semenakutkan itu. Tapi aku terkekeh melihat ekspresinya yang terlihat lucu saat ketakutan.

"Aku Ndak marah hanya karena kamu berbicara seperti itu. Nyatanya memang seperti itu" kataku mencoba menghilangkan takutnya. Tapi tidak berhasil, dia tetap takut dan semakin menundukkan kepalannya.

Aku akhirnya menyuruh Hasna agar temannya tidak merasa bersalah sudah menyinggung sikapku. Tapi Hasna malah membiarkannya. Katanya nanti juga biasa lagi.

Kami akhirnya saling bercerita lebih tepatnya hanya mereka yang berceloteh, aku hanya menjadi pendengar yang baik. Ada sesi ghibah juga, mulai dari ghibahin ustadz/ustadzah galak sampai aku juga Hafi bahan ghibah mereka. Jika perempuan berkumpul pasti ada aja sesi ghibahnya. Gak akan ketinggalan.

"Ghibah aja terus, biar aku dapat pahala lebih banyak"
Lama-lama kesel juga dengerin mereka ghibah yang ga ada habisnya. Apalagi bahan ghibahnya ada di depan mereka.

"Eh kalian dengar orang ngomong Ndak? Kok Ndak ada orangnya yah" Hasna sengaja membuatku bertambah kesal. Dasar temen lucknut. Eh, astaghfirullah ngga boleh mengumpat.

'cup'

Ada seseorang yang mencium pipiku tiba-tiba. Orang itu lalu duduk di sebelahku.

"Mukanya kok gitu banget si, kenapa? Tanyanya

"Liat aja kelakuan adek kamu mas"

"Ekhem...kenapa kalian ghibahin istri saya?"

Mereka kaget dengan teguran Mas Zain. Bukannya takut Hasna malah tersenyum tanpa dosa dan berkata hanya bercanda.

"Ya sudah, kalian pergi saja. Saya mau pacaran sama istri"

Ha ha, mampus di usir. Aku bahagia, mereka akhirnya pergi dengan wajah di tekuk masam. Mas Zain lalu merangkul pundakku, mendekatkan tubuhnya hingga kami saling menempel.

Kalian mau tahu siapa Mas Zain? Namanya Muhammad Zainal. Lebih sering di panggil Gus Zainal. Kakaknya Hasna. Aku sudah menikah dengan Gus Zainal kemarin. Di sini, di pesantren Ar-roudhah. Kami hanya melaksanakan akad saja karena untuk sementara pernikahannya harus di sembunyikan. Mengingat statusku yang juga masih seorang pelajar. Setelah akad kemarin, aku memanggilnya 'Mas Zain'.

"Mas kangen kamu za" katanya sambil ndusel ke perutku. Posisinya sudah berubah, mas Zain tiduran menjadikan pahaku sebagai bantal.

"Modus kamu mas, bilang aja pengin ndusel"

"Istriku pinter banget" suara Mas Zain teredam karena wajahnya masih menghadap ke perutku.

Lama-lama terasa geli juga karena Mas Zain terus mencium perutku berkali-kali bahkan bajuku sedikit tersingkap, ulah mas Zain. Kebiasaannya setelah aku menjadi istrinya, selalu ndusel dan mencium perutku. Aku berusaha mengangkat kepala Mas Zain dari pahaku. Setelah barhasil, kini giliran aku yang tidur di pahanya. Tangannya spontanengusap-usap lembut kepalaku.

"Kamu manja, ternyata sikap dan tampang dewasamu hanya topeng"

"Ya kan mas nikah sama perempuan 17 tahun, pedofil"

"Tapi kamu suka kan nikah sama Mas?"

"Ndak juga, sebelum itu kan aku udah nolak, tapi Mas keras kepala"

Mas tau kamu itu jodohnya mas, makannya mas kaya gitu"
Aku tidak menanggapi lagi perkataan Mas Zain.

"Sakit ih mas"
Mas Zain mencubit kedua pipiku.

"Sini mas obatin"
Mas Zain mencium kedua pipiku bergantian, dan ajaibnya sakitnya langsung hilang. Eh...nggak deng, masih sedikit sakit.

Tangan Mas Zain kembali mengelus kepalaku. Usapannya membuatku mengantuk dan akhirnya aku tidur juga.

"Good sleep, zaujatii"
Ku dengar samar Mas Zain berbisik di telingaku sebelum aku benar-benar terlelap.

*************************

"Kak Azza bangun"
Aku mengerjakan mata, ada Hasna yang duduk di sebelahku.

"Ada Hafi sama Gus Al di bawah"

"Hmm..kamu duluan nanti aku nyusul"

Hasna keluar kamar. Aku segera beranjak dan masuk ke kamar mandi, mencuci muka. Lalu aku membuka lemari, mengambil rok lalu memakainya. Aku juga memakai sweater yang tergantung di gantungan baju. Tak lupa juga memakai kerudung. Lalu turun ke bawah.

Sesuai perkataan Hasna, sudah ada Hafi dan Gus Al di ruang keluarga. Ada Mas Zain dan Hasna juga. Mereka semua duduk di atas karpet. Aku berjalan mendekat pada mereka dan duduk di samping Mas Zain.

"Putrinya udah bangun tanpa ciuman sang pangeran" kata Gus Al. Aku hanya tersenyum.

HafiazzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang