11. Belum Paham Juga

9 0 0
                                    

Taman

Saat ini aku duduk di atas tikar bersama Hafi, meskipun hari sudah malam. Kami menggelar tikar sebagai alas untuk sekedar duduk atau berbaring sambil memandang bintang. Memang kami sudah berniat melakukan ini sejak lama, dan baru terealisasikan sekarang.

Semua ini atas usulan dari Hafi. Hafi adalah teman terbaik. Dia tau semua hal favoritku. Memandangi langit dan bintang adalah salah satu kegiatan favoritku meski jarang ku lakukan.

Kedua temanku, Hafi dan Hasna sudah tau tentang Ustadz Haikal. Tentang sikap Ustadz Haikal yang sepertinya masih berharap padaku meski aku sudah mengatakan padanya jika aku sudah bersuami. Dengan kata-kata tersirat. Mereka berdua sangat mendukungku saat aku menulis statusku yang sebenarnya dalam surat balasan untuk Ustadz Haikal. Saat dia mengirim surat untuk pertama kalinya.

"Za, balik yuk. Ini udah malem banget loh" kata Hafi, mengajakku kembali ke kamar. Ini memang hampi lr jam 12 malam.

"Hm,,nanti aku nyusul" Kataku.
Mereka pun kembali ke kamar.

Dunia memang kejam.
Satu masalah selesai, muncul masalah lain.
Kenapa tidak sedari dulu dia melakukannya.
Kenapa harus sekarang? Saat aku tidak bisa melakukan apapun.
Tapi, jikapun dia melakukannya sejak dulu, aku tetap bisa menolak.
Jika aku tidak ditakdirkan untuknya,ya sama saja.

Selesai menulis, aku menutup buku diary ku. Kembali memandang langit dan bintang. Bulan baru saja muncul dari balik pegunungan. Sinarnya sedikit mengenaiku. Bulan purnama.

"Assalamu'alaikum,, mba Azza, ada telfon"

Seorang perempuan berjilbab pashmina menutup dada menghampiriku. Sepertinya santri baru di sini, wajahnya masih asing bagiku.

"Dari siapa?" Tanyaku.

"Saudara" katanya.
Aku mengambil ponsel yang di ulurkan oleh perempuan itu.

"Nggih mpun mba, Kulo permisi. Kata Ning Hafi ponselnya di kembalikan ke Gus Al" kata perempuan itu.
Aku berdehem untuk menjawab perkataannya. 

Ponselnya bergetar, ada panggilan masuk dengan id caller   Zain. Aku segera manggeser ikon warna hijau untuk menerima panggilannya.

Assalamu'alaikum, za

Suara yang sangat aku kenali langsung terdengar setelah aku menjawab panggilannya. Dari Mas  Zain. Ini kali pertama Mas Zain telfon saat aku di pesantren. Setelah kami menikah.

Wa'alaikumussalam mas.
Pasti kangen za ya?

Hmm, Mas kangen kamu. Kamu sehat kan?
Video call ya

Alhamdulillah sehat mas

Panggilan kini teralih ke mode video call. Wajah Mas Zain memenuhi layar ponsel.

Ngapain kamu di luar?
Ini udah malem banget za. Nanti kamu sakit

Lagi pengen liat bintang. Nanti juga masuk ke kamar kok

Bener lho, Mas tutup ya. Mau tidur mimpiin kamu

Hmm, selamat tidur mas Zain

Panggilan terputus. Aku kembali memandang langit. Tersenyum-senyum sendiri mengingat percakapan kami tadi. Aku suka dengan semua sikap perhatian Mas Zain. Lama-lama mataku terasa berat dan akhirnya tertidur.

Hafiazzahra

Aku terbangun saat mendengar suara yang sepertinya suara alarm. Tunggu dulu, alarm? Kok bisa?. Seketika aku membuka mata dan duduk, gelap. Di sampingku ada ponsel yang berkedip-kedip. Ternyata alarmnya berasal dari ponsel.  Pukul 02.30 yang tertera di ponsel.

Aku melihat sekeliling, banyak bayangan pohon di sekitarku. Aku ingat, semalam sepertinya aku ketiduran di taman ini. Padahal aku sudah berniat kembali ke kamar. Tentang ponsel itu, ponsel itu milik Gus al. Tadi malam Mas Zain menelfon.

Dengan segera aku melipat tikar yang menjadi alas tidur. Aku berjalan cepat menuju kamar. Di kamar, Hafi yang baru bangun melihatku kaget, dan Gus Al menatapku tajam. Huh, harusnya aku ke kamar di asrama saja jika akhirnya aku harus mendapat tatapan tajam dari Gus Al.

"Darimana sampean?" Tanya Gus Al.

"Dari taman Gus, semalem ketiduran"

Tatapan Gus Al sangat tajam. Hampir menyamai Mas Zain saat marah. Setelah mendengar penjelasan ku, Gus Al langsung keluar kamar. Aku menghela nafas lega. Tanpa melakukan hal lain aku langsung ke kamar mandi mengambil wudhu lalu sholat malam.

Matahari sudah menampakkan diri dan jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Aku sedang bersiap-siap ke sekolah. Seperti biasa, di sekolah hanya mendengar penjelasan dari guru dan sesekali mengerjakan tugas. Saat jam pulang aku langsung pulang tanpa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Karena sejak aku kelas sepuluh memang sama sekali tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

Di depan gerbang, aku berpapasan dengan Ustadz Haikal. Dia mengajakku berbicara sebentar. Aku tahu, Ustadz Haikal masih belum percaya jika aku sudah menikah. Apakah aku harus meminta Mas Zain ke sini untuk menjelaskan semuanya agar Ustadz haikal mengerti.

"Terserah ustadz, mau percaya atau Ndak, tapi memang kenyataannya seperti itu. Assalamu'alaikum" kataku, Lalu aku langsung pergi. Sampai di kamar, moodku langsung anjlok setelah tadi bertemu Ustadz Haikal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HafiazzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang