4

9 3 0
                                    

Setelah sholat isya dan menyimak Santri yang ngaji binadzri, kami (Aku, Hafi, Hasna) juga Gus Al berkumpul di kamar. Kami membahas banyak hal.

Mulai dari metode menghafal dengan cepat tanpa mudah terlupa hingga menjamah ke urusan pribadi. Walaupun aku hanya menjadi pendengar dan sesekali menimpali pertanyaan mereka.

"Na, denger-denger Gus Zainal mau mengkhitbah seseorang ya?" Tiba-tiba Hafi bertanya seperti itu.

"Yup"
"Sama siapa" tanya Gus Al
"Salah satu santri di sini"

Semua melirikku saat Hasna mengatakan itu. Apakah ada yang salah denganku? Kurasa tidak, tapi kenapa mereka melirikku. Seolah-olah aku punya peran dalam hal itu.

"Za, kamu ndak merasa cemas, galau atau apa gitu? Tanya Hasna

"Maksudnya"
"Ck...kamu ndak sedih dan kecewa karena kakakku mau melamar seseorang? Aku lihat saat kamu pertama bertemu kakakku apalagi saat kakak menyentuhmu walaupun masih terhalang kain, aku merasa pandanganmu berbeda"

"Beda gimana, menurutku sama aja"
Yah, ku akui memang aku merasa aneh saat bertemu dengannya apalagi saat dia tiba-tiba menyeret ku ke mobil. Tapi aku mengabaikan hal itu. Aku mengganggap itu hanya hal biasa. Respon terhadap orang yang tiba-tiba bersikap seperti itu.

"Kata budhe, Azza juga Meu di khutbah, jadi Azza ndak ada urusan sama hal itu" kata Gus Al, berusaha menengahi.

Hening menyelimuti setelah perkataan Gus Al. Kami fokus dengan kegiatan. Aku melirik Hafi dan Gus Al, sejak kapan Hafi duduk di pangkuan Gus Al dengan tangan Gus Al yang melingkar di pinggangnya. Wah....wah....mereka mulai membangun dunianya sendiri.

Terkadang aku muak dengan keromantisan mereka, meskipun juga kadang membuat baper. Dan karena saat ini aku merasa muak dengan mereka, aku pamit pergi.

"Aku pergi, jangan nodai gadis yang masih polos dengan kelakuan kalian" kataku dengan sedikit sindiran pada pasangan itu.

Aku berjalan ke arah pintu. Membukanya dan aku keluar. Tak lupa juga menutup pintunya kembali dengan sedikit sentakan

Pergi ke taman, aku menghirup udara sehabis hujan. Bau tanah yang tersiram air hujan membuatku merasa tenang. Langit pun penuh taburan bintang.

Aku melangkah menuju gazebo di tengah taman. Duduk dengan memandang langit.

Huftt! Aku menghela nafas sedikit kasar. Kembali memikirkan sikap kakakku dengan segala tingkahnya yang membuatku sangat muak sekaligus membencinya.

Benci kerena dia membuat selalu menangis dalam setiap sujudnya. Mama selalu berdoa untuk kakak agar segera mendapatkan jodohnya. Yang hingga sekarang belum mendapatkannya.

Memikirkan itu membuatku pusing. Belum lagi tentang khitbah itu. Aku belum mengatakan tentang khitbah itu pada papa dan mama.

Jika saja bunyai mengatakan orang yang akan mengkhitbah ku hanya orang biasa, aku tidak akan mempermasalahkannya. Tapi dia seorang putra kyai, Gus.

Aku tidak menolak atau apapun. Tapi perbedaannya sangat jauh, aku yang hanya orang biasa. Sementara dia seorang Gus. Dalam pandangan Allah SWT. memang sama. Tapi tidak dengan pandangan manusia.

Aku tidak siap jika aku menerima khitbahnya dan menikah dengannya, akan semakin banyak orang yang memandangku sebelah mata. Atau mungkin menuduhku berbuat zina. Astaghfirullah..ok pikiran itu terlalu jauh. Tapi kemungkinan hal itu akan terjadi.

Aku sudah muak dengan oramg-orang yang memandang sebelah mata. Atau dengan sikap yang membuatku sakit hati. Sudah cukup aku merasakan itu sejak kecil.

"EKHEM"

Aku terlonjak kaget mendengar deheman itu. Bukankah aku sendirian di sini. Lalu dia siapa?

Seseorang menepuk pundakku pelan, "malam-malam Ndak boleh melamun" kata orang itu.
Aku menoleh ke samping kanan, seorang laki-laki duduk tepat di sampingku. Orang yang kemarin menarikku di depan orang tua Hasna. Gus Zainal. Kakak Hasna. Apa yang dia lakukan di sini?

HafiazzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang