7: Menyerah

14 4 0
                                    

Haruskah menerima
semua ini.
Apakah dia yang terpilih?

Setelah kemarin di antar Gus Zainal ke pesantren, aku tidak melihatnya lagi sampai hari ini. Biasanya aku sering melihatnya bersama Gus Al. Padahal aku masih ingin membahas yang kemarin. Hingga hari ini, aku sama sekali belum bertemu dengannya.

Mungkinkah aku harus menerimanya. Tanpa memikirkan nasib kakak. Tanpa mengorbankan diriku.

"Kakak ipar" panggil seseorang, Hasna. Sejak kemarin Hasna selalu memanggilku 'kakak ipar'.
Aku selalu protes, tapi dasarnya Hasna keras kepala kaya kakaknya. Upss....
Jadi ya aku membiarkannya daripada ukung-ujungnya berdebat.

Setelah di pikir-pikir, kurasa aku sudah menyerah. Sejak aku tidak melihatnya di sini. Percuma juga jika aku tetap bersikeras meminta Gus Zainal menikahi kakakku. Katena sekarang aku harus pergi ke rumahnya di Kebumen. Pernikahannya dilakukan di sana. Padahal aku sama sekali belum memberikan jawaban dari khitbahnya.

"Kak ini dari siapa?" Hasna menunjukkan paper bag warna biru polos. Aku mengernyit bingung. Oh ya aku ingat jika itu dari Gus Zainal kemarin saat mengantarku ke sini.

"Dari kakakmu lah, na" Hasna hanya mengangguk.

Seorang abdi ndalem datang menemui ku dan mengatakan jika mobil yang menjemputku sudah sampai. Lalu kang Haqi, yang tadi mengatakan mobilnya sudah sampai, meraih koperku yang terletak di sebelah pintu berniat membawanya. Tapi aku mencegahnya. Lebih baik ku bawa sendiri saja, lagian juga tidak terlalu berat.

Hasna juga ikut pulang ke rumahnya bersamaku. Sampai di halaman ndalem setelah aku berpamitan pada pakyai dan bunyai, aku menghampiri mobil. Kang Ahmad, yang ditugaskan menjemputku memasukkan koperku ke dalam bagasi sementara aku masuk ke mobil, duduk di kursi belakang bersama Hasna.

Kang Ahmad membuka pintu, duduk di kursi kemudi. Kang Ahmad tersenyum sekilas padaku. "Sudah siap Ning?"
Aku hanya mengangguk.

Aku merasa aneh saat di sebut Ning. Seolah-olah aku sudah menjadi bagian dari keluarga Gus Zainal.

Selama perjalanan, aku hanya diam memandang jalanan dari kaca mobil. Hasna sudah tenggelam dengan ponselnya yang dibawa kang Ahmad tadi.

Sekitar 3 jam perjalanan, akhirnya kami memasuki area pesantren Ar-roudhah, pesantren milik kyai Abdullah. Ayah Gus Zainal. Sampai di sebuah halaman uang luas, di depan sebuah rumah.

Di depan rumah itu ada dua orang yang sepertinya sedang menunggu kami. Pakyai Abdullah dan Bunyai Aisyah, orang tuan Gus Zainal juga Hasna. Turun dari mobil, aku mendapat banyak tatapan tanya dari santri yang sedang lewat atau yang sedang bersantai di depan kamar asrama mereka.

"Eh, itu siapa kok sama Ning Hasna"

"Dia bawa koper, santri barukah?"

Apa itu yah calon istrinya Gus Zainal"

Itu beberapa yang kudengar kalimat yang kudengar dari santri yang penasaran kepadaku.

"Assalamu'alaikum warahmatulah" salamku pada calon mertua. Ehh...maksudnya pakyai Abdullah dan Bunyai Aisyah. Aku kemudian mencium tangan mereka masing-masing.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah" mereka menjawab salamku. "Masuk yuk, pasti kamu capek" kata Bunyai Aisyah. Aku mengikuti mereka masuk ke dalam. Pakyai Abdullah duduk di ruang tamu bersama Hasna sementara aku mengikuti Bunyai Aisyah yang akan menunjukkan kamarku selama di sini.

"Nah ini kamarnya. Istirahatlah kalau mau jalan-jalan minta temenin Hasna"

"Nggih Bunyai"

"Panggil ibu saja, sama kaya Zainal dan Hasna"

"Dan panggil saya ayah juga" kata pakyai Abdullah dari arah belakang Bunyai Aisyah. Beliau merangkul Bunyai Aisyah. Terlihat mesra.

"Yo wes, ibu tinggal dulu ya"

"Nggih bu"

Aku meletakkan koperku di samping lemari. Lalu berjalan mengelilingi kamar ini. Ada ranjang berukuran Queen size , kamar mandi di pojok sebelah lemari. Dindingnya bercat putih. Ada jendela kaca yang menghadap hamparan rumput. Aku membuka jendelanya, angin langsung menerpaku. Aku keluar melalui jendela, berjalan di atas rumput yang terasa hangat. Beberapa bunga sedang mekar. Aku bukan gadis penyuka bunga meskipun terkadang aku memotret saat kurasa bunga nya bagus.

"Akhirnya aku namu kakak di sini. Aku udah cari muter-muter"
Hasna datang menghampiriku.

"Manggilnya jangan kakak Napa"

"Ya kenapa? Kan calonnya kak zainal"

"Kita seumuran"

"Nggak tuh, selisih dua bulan sama aku. Kakak lahir duluan"

"Ya itu---terserahlah" aku menyerah berdebat dengan Hasna.

"Kak Zainal nitip ini sama aku. Katanya suruh di baca pas kakak udah di sini" Hasna mengulurkan sebuah kertas yang terlipat padaku. Aku membuka lipatannya dan membacanya

Saya sudah menyelesaikan masalah kakakmu. Tidak sepenuhnya tuntas tapi sekarang sudah lebih baik. Jadi tidak ada alasan kamu menolak pernikahannya.

Itu isinya. Kenapa dia melakukan itu. Dia sangat berniat untuk menikahiku. Alasannya sebenarnya apa? Nggak mungkin kan tiba-tiba dia mau menikahiku padahal baru bertemu beberapa kali.

"Aku nggak nyangka kamu melakukan hal itu"

"Maksudnya"

"Kamu nggak peka atau pura-pira nggak tau sih?" Nada bicara Hasna berubah ketus. "Banyak yang pengin kamu bahagia za. Aku udah tau apa yang kamu minta sama kak Zainal. Kenapa kamu selalu berkorban? Kenapa kamu selalu ngalah? Padahal dalam hatimu kamu selalu ingin egois. Ayah sama ibu udah tau kalau kamu minta kak Zainal untuk menikah dengan kakakmu"

Aku tertegun mendengar semua perkataan Hasna. Dari mana Hasna tau semua itu, padahal aku tidak mengatakan apapun pada siapapun. Hafi pun hanya tahu garis besarnya saja.

"Dari mana kamu tau semuanya?"

"Nggak penting aku tau dari mana. Satu hal yang aku inginkan, aku ingin kamu bahagia dengan kak Zainal"

Setelah mengatakan itu semua Hasna langsung pergi.

Aku sadar, sejak dulu banyak yang bilang aku harus bisa melupakan hal menyakitkan itu. Melupakan semua perbuatan kakak padaku. Tapi aku tidak bisa melakukannya, bahkan hingga sampai sekarang. Apalagi dengan perkataan kakak saat itu.

Sejak kakak mengatakan iri padaku, setiap apa yang kakak katakan selalu membuatku sakit hati meskipun hanya hal sepele. Perkataan orang lain yang lebih menyakitkan saja hanya kuanggap angin lalu tapi berbeda dengan perkataan kakak.

Beberapa bulan lalu, ada beberapa laki-laki yang melamar kakak, tapi saat mereka melihatku yang sedang mengantar minum pada mereka, mereka terang-terangan mengatakan jika mereka lebih menyukaiku dari pada kakak. Dan dengan kejadian itu kakak menjadi sangat iri padaku.

HafiazzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang