Kini saatnya aku kembali ke Pesantren Tahfidzul Qur'an Ar-rahman, tempatku menimba ilmu. Saatnya juga kembali sekolah, bertemu dengan guru-guru tercinta. Hasna juga kembali bersamaku sekarang. Mas Zain masih harus mengajar di sini jadi kami hanya diantar seorang abdi ndalemnya ayah yang di beri amanah menjadi sopir keluarga ini.
Ayah dan ibu mewajibkanku untuk pulang ke sini setiap Sabtu siang dan kembali ke pesantren saat Senin pagi. Aku hanya mengiyakan tanpa bisa menolak atau memberi alasan lain. Pulang ke rumah mama papa pun mungkin sebisanya Mas Zain untuk mengantarku ke sana atau atas izinnya.
"Hati-hati di jalan. Minggu depan mas yang jemput" kata Mas Zain saat aku dan Hasna berpamitan padanya. Aku mencium punggung tangannya dan mengucap salam.
"Hasna, jagain kakak iparnnya, kalau terjadi sesuatu kakak gak akan kasih uang sama kamu," Mas Zain sedikit berteriak hanya agar Hasna mendengar dengan jelas. Aku terkekeh melihat Hasna yang cemberut dengan peringatan Mas Zain.
Mobil akhirnya berjalan. Hanya ada keheningan sepanjang jalan hingga kami sampai di halaman ndalem abah. Hafi dan Gus Al sudah menunggu di depan teras. Kami langsung masuk ke dalam dan segera ke kamar. Tanpa membersihkan diri minimal mencuci tangan dan kaki, Hasna langsung berbaring di kasur. Tak berselang lama, dengkuran halus terdengar. Hasna tidur.
Aku yang mulai merasa bosan berniat pergi ke tempat favoritku, taman. Tapi saat aku membuka pintu yang mengarah ke koridor asrama, Hafi malah mendorongku kembali masuk kamar dan keluar melalui pintu yang terhubung ke ndalem.
Di sinilah aku sekarang berkat Hafi yang menarikku. Ruang Keluarga ndalem abah, dengan Gus Al. Seperti biasa, gus Al selalu menunjukkan wajah datar pada siapapun kecuali pada Hafi tentunnya."Surat buat sampeyan" Gus Al mengulurkan sebuah amplop dengan hiasan bergambar hati di salah satu ujung amplopnya.
Aku menerima amplop dan membuka lipatan kertas di dalamnya. Hanya kertas biasa dengan tulisan tangan yang rapi bergaya italic. Surat dari orang yang tak pernah terbayangkan olehku akan melakukan ini. Kerena memang interaksi ku dengan orang ini sangat jarang, bisa dihitung dengan jari.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bagaimana kabarnya, Hafi? Saya ingin menyampaikan suatu hal melalui surat ini. Sejak pertama melihatmu saat datang ke pesantren, saya tahu kamu perempuan yang istimewa. Akan sangat beruntung jika bisa memilikimu.
Selama ini saya selalu menyelipkan namamu dalan setiap doa saya. Selalu memohon pada-Nya berharap kamu yang dipilih-Nya untuk menemani saya. Sekarang, bolehkan saya memintamu pada orangtuamu?
Saya rasa cukup itu saja.
Wassalamu'alaikum...Haikal Anggara
Isi surat yang singkat, tapi isinya membuatku kaget.
"Isinya apa si Za? kok mukanya gitu banget"
Suara Hafi menyadarkanku dari rasa terkejut. Aku mengulurkan suratnya pada Hafi, memintanya untuk membacanya sendiri. Gus Al pun sepertinya penasaran juga dengan isi suratnya hingga badannya sedikit condong pada Hafi. Mereka pun juga sama-sama terkejut sepertiku.
"Mau di jawab Ndak mba suratnya?" Gua mempertanyakan akan menjawab atau tidak surat itu."Jawab saja Gus, tapi kulo nyuwun tulung kalih njenengan, titip balasan suratnya"
"Hmm, nanti saya sampaikan ke orangnya"
Mendengar jawaban gus Al, aku segera ke kamar, mengambil kertas dan pulpen untuk menulis balasannya. Lalu kembali lagi ke ndalem, tepatnya kembali ke ruang keluarga yang masih ada Hafi juga Gus Al. Segera ku tulis balasannya.
Selesai menulis balasannya yang tak lebih dari permintaan untuk berhenti menyelipkan namaku di setiap doanya, segera kulipat kertasnya dan memasukannya ke amplop yang sudah ku siapkan. Lalu memberikannya pada Gus Al. Hafi sepertinya merasa penasaran dengan isi suratnya.
"Baca aja fi, Ndak papa kok. Mungkin kamu bisa jadi saksi saat sesuatu terjadi karena surat itu."
Mendengar aku yang mempersilakan Hafi untuk membaca suratnya, Hafi segera merebutnya dari Gus Al.
"Good fi balasannya, tapi kok agak nylekit kata-katanya" Hafi memberi komentar setelah membaca suratnya.
"Biarin aja, mending langsung bilang yang sebenarnya daripada membuat dia menaruh harapan yang lebih"
"Kadang kata-kata sampeyan lebih pedes dari Hafi" Gus Al ikut memberi pendapat.
"Kalian seperti kembar" lanjut Gus Al kemudian.
Aku tersenyum mendengar perkataan Gus Al yang ku tangkap dengan nada sedikit sindiran dan pujian. Terserah apapun yang orang lain katakan tentangku. Seperti biasa, aku tak akan pernah peduli.
Assalamu'alaikum, hai!!
Kayaknya ini update-an terakhir sebelum aku berangkat ke pesantren lagi.Up-nya lagi mungkin pas libur idul Fitri atau pas libur sekolah. Makasih juga yang udah mau vote cerita ini. See you....
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafiazzahra
CasualePertemuannya dengan seorang Gus, putra seorang kyai juga kakak dari sahabatnya. pertemuan yang berubah menjadi takdir. Dia jodohnya. Walaupun banyak rintangan, termasuk dari keluarganya sendiri yang menginginkan dia menikah dengan kakaknya. Sekeras...