2 | Dear Diary

502 29 3
                                    

Jangan lupa vote and comment yaa...

╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝



━─━─━─━─====== • ✠ • ======─━─━─━─━≫

Malam itu, di salah satu teras kamar pondok pesantren, terlihat seorang laki-laki tengah duduk sendirian sambil menatap bulan yang terlihat sangat terang malam itu. Ribuan bintang yang bertaburan turut menghiasi langit malam itu.

“Afifah ... hmm nama yang indah dan cantik, seperti pemiliknya.” Iqbal tersenyum dengan sendirinya.

Entah kenapa, sejak pertama kali aku melihatnya, aku mulai penasaran dengannya. Dan setelah aku mengetahui namanya, aku berpapasan dengannya, aku melihat senyum yang sangat manis. Aku menjadi kagum padanya. Apakah ... aku mulai buka padanya? Atau bahkan ... aku mulai jatuh cinta padanya? Ya! Jatuh cinta pandangan pertama. Tidak Iqbal! Kamu tidak boleh jatuh cinta dulu. Ini masih terlalu cepat. Terlalu cepat jika menyebutnya cinta. Perasaan suka itu wajar, tapi nggak dengan cinta. Kamu boleh mengagumi dia, kamu boleh menyukai dia, tapi kamu tak boleh mencintai dia jika hanya karena cantik ataupun karena yang lain. Tapi kamu, hanya boleh mencintai dia karena Allah. Afifah ... kamu sangat cantik sekali, batin Iqbal dalam hati. Ia kembali tersenyum.

“Bal? Kamu ngapain?”

Tiba-tiba suara seorang laki-laki terdengar. Ia muncul secara tiba-tiba di belakang Iqbal, kemudian ia segera menyusul Iqbal duduk di teras. Sontak Iqbal menoleh ke arah lelaki tersebut.

“Eh, ternyata kamu ... dikirain siapa. Ngapain kamu malam-malam ke sini?”

“Justru aku yang harusnya nanya kamu Bal, kamu ngapain malam-malam di sini sendirian? Dingin banget, loh ini. Bentar lagi udah jam tidur ... kamu ngapain? Emang, kamu nggak belajar?”

“Aku tadi udah belajar kok. Yaa ... kebetulan aku malam ini cuma pengen mencari udara segar aja. Aku bosan di dalam kamar terus,” ucap Iqbal.

“Oh ... begitu ya. Kenapa ... kamu nggak nulis aja? Mungkin kamu bisa menghilangkan rasa bosan. Yaa ... meskipun nggak semua orang, hanya beberapa orang aja,” saran teman Iqbal.

“Oh iya ... Dil, kamu ada benarnya ya. Alangkah baiknya kalau aku bosan, aku nulis aja. Siapa tahu dengan menulis, aku bisa menghilangkan rasa bosan. Tapi, apa yang mau aku tulis ya?” tanya Iqbal.

“Ya kalau itu, terserah kamu. Mungkin kisah kamu sendiri. Seperti kehidupan kamu, prestasi kamu, pengalaman kamu, atau bahkan percintaan. Yaa ... kalau ada sih. Walaupun sejujurnya, aku nggak pernah lihat kamu jatuh cinta, ataupun mengagumi seseorang,” saran Fadil sambil sedikit meledek bercanda.

“Ya itu karena aku hanya ingin fokus belajar dan mendalami ilmu agama, Dil. Aku nggak mau karena seorang perempuan hadir di kehidupanku, hidupku menjadi hancur, dan aku bisa tidak mendapat ilmu. Karena teman aku dulu pernah bilang, katanya kalau perempuan itu malah bisa merusak segalanya,” tutur Iqbal sambil menunduk.

“Eh, ya nggak juga kok. Nggak sama perempuan itu bisa merusak dunia kita. Ada kalanya mereka malah membuat dunia kita menjadi berwarna, dan membuat kita menjadi lebih baik. Itu semua tergantung perempuannya. Kalau perempuannya baik, pasti kita juga jadi baik. Kita bisa bangkit melanjutkan hidup lagi. Dan lagi, dia bisa lho, membuat kamu lebih semangat dalam sekolah, atau memperdalam ilmu agama di sini. Ya tapi ...balik lagi ke kamu. Kalau kamu mau bersikeras nggak mikirin masalah perempuan dulu, ya aku nggak maksa,” tukas Fadil.

Iya juga ya, bener apa yang diomongin Fadil. Nggak semua perempuan itu seperti itu. Contohnya Afifah. Meskipun aku belum sempat dan belum pernah berbicara dengan dia, tapi dari sorotan matanya saat aku berpapasan dengan dia tadi, kelihatannya baik sekali. Apa lagi dia anak pondok juga, pasti solehah, tak seperti perempuan-perempuan di luar sana, gumam Iqbal dalam hati.

“Bal! Malah diem. Aku jelasin bukannya kamu nanggepin, malah diam seribu bahasa.”

“Eh, iya iya–maaf ya. Aku diem cuma mencerna omongan kamu aja. Bener yang kamu omongin, nggak semua perempuan kayak gitu. Pasti ada kok, yang baik,” ucap Iqbal.

Dan aku sudah menemukan, siapa perempuan itu, lanjutnya dalam hati.

“Ya sudahlah Bal. Serahkan urusan jodoh sama Allah. dialah yang berhak mengatur siapa jodoh kita. Yang bisa kita lakukan, hanyalah pasrah dan menerima apa yang telah Allah berikan,” ucap Fadil sok bijak.

Masak sih, cuma pasrah aja? Pasrah sih pasrah, tapi ... kalau cuma pasrah doang mah, gimana mau dapat. Dasar Fadil. Meskipun pasrah kalau nggak berusaha, sama aja zonk. Bener sih, jodoh tetap bakal datang. Tapi ya tetep dong, kita tetap wajib berusaha. Seenggaknya, berusaha itu nomor dua setelah do'a. Baru setelah do'a dan berusaha, baru pasrah. Dasarnya Fadil, sok-sok an ngerti aja, umpat Iqbal dalam hati.

“Udah, sekarang jangan mikirin itu lagi. Ayo kita masuk kamar, udah mau jam tidur. Nanti kalau ada yang patroli dan ketahuan kita belum tidur, emang kamu mau dihukum?” ajak Fadil.

“Hmm dihukum mah, mudah aja. Tinggal dijalani aja,” jawab Iqbal enteng.

“Hiss bukan masalah susah mudahnya. Emang kamu mau, mulai jam 10 malam sampai menjelang subuh disuruh baca Al-Qur'an nonstop? Diawasi lagi. Emang kamu sanggup?” tanya Fadil sambil mengangkat alisnya sebelah kanan.

“Kalau mulut mah, sanggup aja. Nggak tahu kalau mata sanggup nggaknya,” cengir Iqbal.

“Ya udah, makanya ayo ... sekarang kita masuk kamar, sebelum nanti ada yang patroli,” ajak Fadil yang merupakan teman satu kamar dengan Iqbal.

“Ya udah deh, ayo, aku ikut aja.”

Setelah itu, mereka berdua beranjak dari tempat duduk, dan berjalan menuju kamar mereka.

Saat sampai di kamar, Fadil segera menuju ke tempat tidur atas, sedangkan Iqbal ke tempat tidur bawah. Karena posisi kamar mereka dihuni oleh 6 orang santriwan dengan tiga tempat tidur bertingkat, sehingga ada yang tidur di tempat tidur bawah, dan ada yang tidur di tempat tidur atas.

Duh, kenapa nggak bisa tidur? Kayaknya bener saran Fadil tadi. Sebaiknya, aku menulis tentang rasa ini, dan tentang Afifah tadi, batin Iqbal.

Tak lama kemudian, ia beranjak dari tempat tidur dan menuju meja belajarnya. Ia membuka sebuah buku diary, kemudian mulai menggoreskan kata demi kata dengan pelan dan penuh penghayatan.

Dear diary ....
Aku tak tahu dengan apa yang kurasakan. Bahkan aku sendiri pun tak paham dengan perasaanku. Sejak pertama kali aku melihatnya dan kemudian mendengar suaranya, aku semakin penasaran dengan dia. Siapa dia? Dari mana asalnya? Setelah kuketahui namanya, tak sengaja aku berpapasan dengan dia, dan semakin aku ingin mengenalnya lebih dalam. Dialah Afifah ... gadis pertama yang berhasil membuatku kagum akan dia sejak pertama kali melihatnya. Tatapan dan senyuman yang begitu sangat manis, selalu terbayang di pikiranku. Aku tak tahu, apakah dia telah memiliki pilihan hati sendiri, atau telah ada hati yang memilikinya? Aku tak tahu. Yang aku tahu, aku mengaguminya. Dan aku harap, hal ini bisa membuatku semakin suka padanya. Kemudian menyayanginya, dan berujung pada mencintainya. Karena aku sangat mengaguminya. Aku tak tahu, apakah aku bisa memilikinya? Aku tak tahu, apakah aku hanya menjadi pengagumnya saja, atau bagaimana? Yang kutahu, aku akan berusaha selagi aku bisa. Memang, sebagian besar orang berkata kita hanya bisa pasrah masalah jodoh. Tapi sebelum kita pasrah, kita wajib berdoa dan berusaha, baru setelah itu pasrah.

                              Wonosari, 10 Desember 2020

═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╗
• B E R S A M B U N G • •
╚═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╝

Sampai di sini dulu yaa...
Gimana ceritanya? Bagus gak? Kalau bagus, jangan lupa untuk vote, comment, and share yaa.... Karena itu gratis.
Next? Vote and comment dulu yaa...
See you next part😍...

Salam
Eryun Nita

Aku Mencintaimu Karena Allah [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang