Jangan lupa vote and comment yaa...
╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝
•
•
•
≪━─━─━─━─====== • ✠ • ======─━─━─━─━≫“Oh ya? Benarkah ini tidak penting? Lantas, kalau tidak penting, kenapa tidak kamu buang ke tempat sampah? Kenapa malah kamu pegang, dan kamu senyum-senyum sendiri? Jangan jangan ... ada sesuatu di kertas ini, ya?” ucap Bu Ida.
“Eh, ng-nggak ada, Bu. Itu cuma basa-basi saja, Bu. Saya mencoba menulis karena saya sedang bosan.”
Bu Ida tak menghiraukan alasan Iqbal. Ia tetap melihat isi kertas tersebut, dan ikut tersenyum sendiri.
“Oh ... jadi begitu ya? Baik, Iqbal, karena saya menghargai karya kamu, maka dari itu, saya ingin kamu membacakan tulisan kamu di depan kelas dengan suara lantang. Saya ingin melihat seberapa indah karya kamu—yaa meskipun hanya dadakan saja,” ucap Bu Ida sambil tersenyum menahan tawa.
“Eh, nggak usah, Bu. Karya saya jelek, nggak usah.” Iqbal tetap berusaha menolak.
Ronal yang mengetahui hal itu pun tertawa terbahak-bahak. Merasa ada yang menertawakannya, Iqbal pun mencari asal suara tersebut. Ia mendapati Ronal tengah menertawakan dirinya.
Kurang ajar! Pasti ini ulah Ronal. Dasar dia, awas aja ... aku akan beri pelajaran padanya, batin Iqbal.
“Iqbal, sejelek apa pun karya seorang ... kita tetap harus menghargai, supaya penulisnya bisa senang. Ayo, sekarang kamu bacakan. Kalau kamu nggak membacakan, apa biar Ibu saja yang membacakan? Bagaimana?”
“Jangan, Bu, jangan. Baik, biar saya sendiri yang membacanya di depan kelas.”
“Nah, gitu dong. Sekarang, kamu maju ke depan kelas, ya.”
Iqbal pun maju ke depan kelas. Ia membawa kertas tersebut di tangannya. Ia menghadap teman-temannya dengan wajah sangat malu sekali, karena apa yang ia tulis akan ia ungkapkan kepada teman-temannya sendiri.
Bu Ida kembali ke tempat duduk.
“Iqbal, karya apa yang kamu tulis itu? Apakah cerpen, ataukah puisi, ataukah surat?”
“Anu-Bu, anu ... ini salah saya iseng buat surat, sekadar bosan.”
“Surat? Hmm menarik. Silakan dibacakan, dan tolong kalian semua diam,” peringat Bu Ida kepada anak satu kelas.
Seketika suasana hening. Keringat dingin mulai bercucuran dari badan Iqbal. Ia sudah bersiap-siap untuk menahan malu.
Kemudian Iqbal perlahan menarik napas yang dalam, sambil memejamkan mata. Perlahan ia hempaskan, dan membuka matanya dengan perlahan juga.
“Assalamualaikum, ukhti ....”
“Maaf, jika mungkin aku lancang, karena telah menuliskan surat ini untukmu. Lewat surat ini, aku hanya ingin mengungkapkan ... bahwa aku sangat mengagumimu. Senyumanmu membuatku selalu teringat akan dirimu. Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh. Tolong, jangan abaikan surat ini. Aku hanya ingin berkenalan denganmu saja.”
“Tertanda, mistery boy.”
Selesai Iqbal membacakan surat yang ia buat sendiri, teman-temannya seketika heboh sambil bersorak-sorai dan bertepuk tangan ria.
“Wahh ... surat kamu bagus banget, kamu belajar dari mana?”
“Wahh ... Iqbal, kamu berbakat juga ya, dalam bidang bahasa Indonesia—seperti membuat surat. Pasti jago juga buat puisi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Mencintaimu Karena Allah [End]
Fiksi RemajaJika aku tak bisa membuatmu bersatu denganku, maka biarlah Allah yang akan menyatukan kita. Aku mencintaimu bukan karena parasmu, aku mencintaimu bukan karena suara merdumu, aku mencintaimu bukan karena hartamu. Tapi, aku mencintaimu karena Allah. ...