15 | Telah Pergi

241 17 0
                                    

Jangan lupa vote and comment yaa...

╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝



━─━─━─━─====== • ✠ • ======─━─━─━─━≫

“Abi, Ahmad ingin melihat Afifah untuk yang terakhir kalinya—sebelum Ahmad pergi selama-lamanya, karena perlahan ... Ahmad mulai mencintainya.”

Tak lama kemudian, datanglah Afifah dan Iqbal, bersama tiga guru di belakangnya.

“Assalamualaikum.”

“Wa'alaikumsalam.”

“Mas Ahmad, ya Allah Mas!” Afifah segera menghampiri Ahmad. Ia berdiri di samping Ahmad sambil menangis meratapi keadaan Ahmad saat itu.

“Kenapa bisa seperti ini, Mas? Mas nggak papa, 'kan?”

“Sudah, Afifah, aku nggak papa. Mungkin ini sudah menjadi kehendak Allah. Sudah ya, kamu jangan menangis lagi. Kamu harus tersenyum, kamu nggak boleh menangis.”

“Mas Ahmad, aku seperti tidak percaya mendengar kabar tentang Mas Ahmad kecelakaan. Mas Ahmad baik-baik saja, 'kan?” tanya Iqbal cemas.

Ahmad hanya tersenyum, kemudian menjawab, “Serahkan semua pada Allah.”

Afifah dan Iqbal tertunduk sedih.

“Romo, bagaimana keadaan Ahmad? Apakah dia akan baik-baik saja?” tanya Bu Dina.

Alhamdulillah ... untuk saat ini, Ahmad baik-baik saja.”

“Syukurlah.”

“Afifah, Iqbal, mendekatlah. Dengarlah baik-baik ... cepat atau lambat, kalian akan mengetahui semuanya ... dan seperti pesanku pada kamu, Afifah ... dan juga pada kamu, Iqbal. Jangan lupakan pesan itu, ya. Kalian harus bahagia. Kalian saling mencintai. Kalian harus saling menjaga satu sama lain. Asalkan kalian bahagia, aku juga bahagia. Kalian tidak boleh menangisi kepergianku kelak. Aku akan selalu berada di sisi kalian. Aku yakin kalian pasti kuat menerima semua ini. Kalian harus tersenyum, supaya aku juga bisa tenang di alam sana nanti. Aku harap, kalian bisa mengerti ... dan kuat menghadapi semuanya. Aku rasa, waktuku di sini hampir habis ... dan ini, adalah pertemuan terakhir kita. Afifah, aku sangat menyayangimu. Aku sangat mencintaimu. Aku mencintaimu karena Allah ....”

Ahmad semakin tak kuat melanjutkan kata-katanya. Napasnya semakin sesak.

“Mas Ahmad! Mas Ahmad ngomong apa? Jangan ngomong gitu. Mas Ahmad harus kuat, Mas Ahmad harus yakin kalau Mas Ahmad pasti sembuh.”

“Ahmad, apa yang kamu bicarakan? Istighfar, Nak, semua yang terjadi atas kehendak Allah, begitu juga dengan kematian. Tolong, kamu harus kuat,” ucap Pak Rahman.

“Maaf semuanya, Ahmad tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Sampaikan maaf Ahmad kepada semua orang yang Ahmad kenal, dan terima kasih untuk semuanya. Se-lamat ti-nggal ....”

Kemudian Ahmad menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya. Perlahan matanya tertutup.

Tiitt!

Bunyi tersebut sontak membuat semua orang melihat ke arah monitor yang berada di sebelah tempat tidur Ahmad. Mereka kaget seketika melihat garis lurus mendatar di layar monitor tersebut.

“Ahmad! Tidaakk!” teriak para guru dan juga Romo Kyai.

“Mas Ahmad! Jangan pergi!” teriak Iqbal dan juga Iqbal bersamaan.

Iqbal, Roma Kyai, dan para guru terus membangunkan Ahmad. Namun, Ahmad tak mungkin bisa bangun kembali.

“Cepat, panggil dokter!” perintah Pak Sofyan.

Tak lama kemudian, dokter pun datang, dan segera memeriksa Ahmad. Setelah dokter memeriksa, dokter pun ikut bersedih.

“Mohon maaf, Ahmad sudah dijemput oleh Yang Maha Kuasa. Saya harap, kalian semua bisa ikhlas menerima kepergian Ahmad. Tolong ikhlaskan dia, supaya dia bisa tenang di alam sana. Saya permisi.”

Seketika tangisan pilu pecah di kamar tersebut. Mereka semua tak menyangka bahwa Ahmad akan bagi meninggalkan mereka secepat itu. Siapa sangka, bahwa kecelakaan maut telah merenggut nyawa seorang Ahmad Maulana Rizki. Sungguh menyedihkan sekali. Kini hanya kesedihan yang dapat mereka rasakan. Mereka seperti tak kuat dan tak menyangka melihat semua ini.

Setelah itu, mereka segera menyiapkan keperluan untuk merawat jenazah Ahmad. Para guru juga segera memberikan informasi kepada sekolah, untuk memulangkan semua murid lebih awal—dan menyampaikan kabar berduka ini. Tentu saja, seluruh warga sekolah MAN tersebut ikut berduka, dan juga pondok pesantren ikut berduka atas berpulangnya putra dari Romo Kyai mereka yang sangat mereka kagumi ke rahmatullah. Setelah itu, mereka semua segera bersiap-siap untuk memberikan penghormatan yang terakhir kalinya kepada Ahmad.

***

Siang itu, suasana sendu mewarnai keadaan di pemakaman. Setelah semua orang yang  bertakziah pulang, hanya tertinggal Romo Kyai, Iqbal, dan juga Afifah. Mereka bertiga masih tetap menatap makam Ahmad.

Mereka bertiga duduk sambil mengelus-elus batu nisan milik Ahmad.

“Ahmad ... Abi tak menyangka bahwa kamu akan pergi secepat ini. Rasanya, baru kemarin kamu lahir ke dunia ini. Abi dan umimu membesarkanmu dengan penuh kasih sayang. Lalu umimu telah berpulang ke rahmatullah terlebih dahulu ... dan sekarang, kamu turut pergi menghadap-Nya, menyusul umimu. Sekarang, Abi benar-benar sendirian dan juga kesepian. Abi akan memenuhi keinginan terakhirmu ,supaya kamu bisa bahagia dan tenang di alam sana, karena Abi sangat menyayangimu. Abi harus belajar ikhlas. Abi berharap, kamu bisa tenang di alam sana bersama umimu. Abi akan selalu mendoakan kalian. Kalian jaga diri baik-baik di sana, ucap Romo Kyai sambil menahan kesedihannya. Beberapa tahun yang lalu saat Ahmad masih duduk di bangku SD, ia harus kehilangan uminya karena kecelakaan juga ... dan kini, dirinya pun bernasib sama seperti uminya.”

“Mas Ahmad, aku tidak menyangka Mas Ahmad akan pergi secepat ini. Mas Ahmad begitu baik kepadaku, karena Mas Ahmad juga sudah mau menuruti amanah itu. Akan tetapi, Mas Ahmad telah pergi meninggalkan aku sebelum berhasil melaksanakan amanah itu. Aku minta maaf, Mas, karena telah banyak berbuat salah. Terlebih lagi belum bisa mencintai Mas Ahmad. Maafkan aku, Mas, aku akan berusaha juga untuk memenuhi keinginan Mas Ahmad yang terakhir. Aku harap, Mas Ahmad yang tenang di sana, ya,” ucap Afifah sambil meneteskan air mata.

“Mas Ahmad, secepat inikah Mas Ahmad pergi meninggalkan aku? Rasanya, baru kemarin aku mengenal Mas Ahmad. Tak terasa, hampir lima tahun aku menghabiskan waktu selama di pondok pesantren dengan Mas Ahmad. Tapi sekarang, Mas Ahmad telah pergi meninggalkan aku. Mas Ahmad begitu baik padaku. Mas Ahmad sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. Aku merasa sangat kehilangan. Insyaallah, aku juga akan berusaha memenuhi semua keinginan Mas Ahmad. Aku akan melaksanakan semuanya semampuku. Mas Ahmad yang tenang di sana, ya. Aku akan membuat Afifah bahagia, dan juga akan menjaganya—untuk orang tua Afifah, untuk Mas Ahmad, dan juga untukku.”

Setelah itu, mereka bertiga berdiri dan berjalan untuk pulang dengan perlahan.

Kesedihan pun terus mereka bawa hingga mereka tiba di rumah Romo Kyai. Romo Kyai memang meminta supaya Afifah dan juga Iqbal pergi ke rumahnya terlebih dahulu, karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan.

Tangisan pilu masih terus saja mengalir di dalam hati mereka, karena mereka tidak bisa melakukannya lewat mata, karena mereka juga tak mau bahwa Ahmad tidak tenang di alam sana.

Mereka berusaha kuat meskipun itu berat, mereka berusaha tegar meskipun sukar.

═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╗
• B E R S A M B U N G • •
╚═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╝

Sampai di sini dulu yaa...
Gimana ceritanya? Bagus gak? Kalau bagus, jangan lupa untuk vote, comment, and share yaa.... Karena itu gratis.
Next? Vote and comment dulu yaa...
See you next part😍...

Salam
Eryun Nita

Aku Mencintaimu Karena Allah [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang