8 | Curhatan Hati

180 17 0
                                    

Jangan lupa vote and comment yaa...

╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝



━─━─━─━─====== • ✠ • ======─━─━─━─━≫

Pukul 02.30 Iqbal terbangun dari tidurnya. Entah apa yang membuatnya terbangun. Setiap ia berusaha memejamkan matanya kembali berkali-kali, tetap tidak bisa.

Ya Allah ... kenapa aku tidak bisa tidur lagi? Seperti ... ada hal yang mengganjal di hati. Tapi entah apa itu. Apa mungkin, karena masalah Afifah? Ya Allah ... kenapa harus seperti ini nasibku? gumam Iqbal dalam hati.

Sementara teman-temannya masih tertidur. Hatinya begitu perih. Perlahan secara tak sadar, air matanya mulai menetes.

Aku nggak boleh nangis, aku harus kuat. Kalau aku punya masalah, aku harus mengadu kepada Allah.

Setelah itu, Iqbal menghapus air matanya, dan bangkit. Ia menuju tempat berwudhu, kemudian bersiap-siap untuk menunaikan salat malam.

Seusai salat malam, Iqbal berdoa sembari menengadahkan kedua tangan. Ia berdoa dengan penuh penghayatan.

“Ya Allah ... ketika hamba mulai mengagumi dan menyukai salah satu hamba-Mu, yaitu Afifah ... bahkan, bisa dikatakan hamba juga mulai mencintai dia—tapi ternyata ... dia hendak menjadi milik orang lain. Harus seperti inikah nasib hamba? Kenapa engkau membuat nasib hamba seperti ini? Apakah, engkau tengah menguji hamba? Tetapi, ini terlalu sakit untuk hamba. Kenapa tidak dari awal saja sebelum hamba mengagumi Afifah, hamba tahu bahwa dia hendak menjadi milik orang lain? Kenapa hamba baru mengetahuinya sekarang? Harus sesakit seperti inikah hati hamba? Ya Allah ... tolong kuatkanlah hati hamba, ya Allah. Berilah petunjuk, apa yang harus hamba lakukan lagi. Di satu sisi, hamba sangat mengagumi dia dan menyukai dia. Tapi disisi lain, dia hendak menjadi milik orang lain. Apakah hamba harus berhenti sampai di sini, atau harus bertahan sedikit lagi? Tolong berikan hamba petunjuk dan jawaban ya Allah. Hamba menyukai dia bukan karena fisik, harta, dan ataupun dari segi materi. Tapi hamba mencintai dia karena engkau, ya Allah. Jika kelak memang kami telah engkau takdirkan untuk berjodoh, maka kami yakin, engkau juga akan mempersatukan kami, entah bagaimanapun caranya. Karena engkau mempunyai sejuta cara untuk menyatukan kami. Engkau mempunyai sejuta cara untuk mengubah takdir kami. Yang bisa kami lakukan, adalah berdoa dan berusaha semampu kami. Masalah hasil, engkaulah yang menentukan. Kami yakin, rencana-Mu pasti yang terbaik. Tolong kuatkan hati hamba ya Allah, amiin ... robbana atina fiddunya hasanah, wa filaakhiroti hasanah, wakina adzaabannar walhamdulillahirobbilalamin.”

Selesai berdoa, Iqbal menyapukan kedua tangannya ke wajahnya. Kemudian ia mengambil napas dalam-dalam, dan menghembuskannya secara perlahan.

Alhamdulillah ... setelah salat, aku menjadi lebih tenang. Salat memang menghilangkan segala kegelisahan yang ada. Hmm masih jam 03.00 pagi, masih jauh dari subuh. Kalau tidur lagi, apa bakalan bisa bangun pagi ya? gumam Iqbal dalam hati.

“Hmm lebih baik aku belajar saja, daripada membuang waktu untuk tidur.” Setelah itu, Iqbal bangkit dari tempat salat, dan menuju meja belajar. Ia kembali membuka buku, dan mulai membacanya.

***

Uhuk uhuk!

“Rel, kamu kenapa?” tanya Iqbal pada adik kelasnya, yang juga satu kamar bersamanya. Ia baru saja pulang sekolah, sehingga tidak tahu apa yang terjadi pada Farel.

“Farel sakit, Mas. Sejak tadi pagi, badannya panas, terus menggigil. Tadi pun juga nggak masuk sekolah,” ucap teman Farel yang berbeda kamar.

“Ya Allah, kamu sakit demam, Rel? Ya udah, aku ambil kompres dulu ya.”

Dengan cepat, Iqbal mengambil kompres.

“Kamu tadi pagi udah sarapan?” tanya Iqbal seraya memeras kain kompres, dan menempelkan pada dahi Farel dengan pelan.

Farel hanya menggeleng.

“Kamu juga belum minum obat?”

Farel tetap menggeleng.

“Ya udah, aku ambil catering makan siang dulu ya.”

Setelah Iqbal mengambil catering, ia kembali ke kamarnya.

“Sekarang kamu makan dulu, ya, aku suapin,” ucap Iqbal.

“Tapi, Mas Iqbal nanti makannya gimana?” tanya Farel lirih.

“Udah, kamu makan dulu aja. Aku masih kenyang kok, tadi udah makan di kantin,” terang Iqbal terpaksa berbohong.

Baginya, tidak masalah jika ia lapar, asalkan orang lain tak merasakan lapar. Baginya, yang terpenting sekarang adalah Farel.

“Tapi Mas—”

“Udah ya, makan dulu,” bujuk Iqbal.

Farel pun hanya menurut.

“Ayo, baca doa dulu.”

Iqbal menyuapi Farel dengan perlahan dan telaten, seperti ia menyuapi adiknya sendiri.

Setelah selesai makan, Iqbal mengambilkan minum.

“Ayo, minum dulu pelan-pelan, setelah itu baca doa.”

Setelah selesai, Iqbal mencuci piring dan gelas, lalu menghampiri Farel lagi.

“Udah, sekarang kamu istirahat dulu ya, semoga saat bangun nanti lekas membaik.”

“Iya Mas, makasih ya.”

“Iya, sama-sama. Udah, tidur dulu ya.”

Setelah itu, Farel memejamkan matanya, sementara Iqbal kembali ke tempat tidurnya.

“Eh, Bal, aku dengar, tadi kamu habis merawat Farel sakit, ya?” tanya Farid.

“Kamu tahu dari mana?”

“Aku tahu dari Bayu, temannya Farel yang ada ada di kamar sebelah. Tadi selama kita belum pulang sekolah, dia nungguin Farel 'kan, karena hari ini dia juga agak nggak enak badan. Makanya juga nggak masuk sekolah. Terus berhubung Farel lebih parah, jadi dia nungguin Farel.”

“Oh ... gitu ya."

“Iya. Oh ya, Bal, ngomong-ngomong ... kamu baik banget ya, ngerawat Farel seperti adik kamu sendiri.”

“Far, itu tuh sudah kewajiban aku sebagai manusia harus tolong-menolong selagi mampu. Kalau ada orang sakit, kita rawat semampu kita. Coba aja nih, misalnya kamu sakit, terus nggak ada yang peduli, nggak ada yang ngerawat, kamu tambah sakit 'kan? Udah sakit fisik, sakit batin pula karena nggak ada yang peduli sama kamu.”

“Ya iyalah, pasti.”

“Nah ... makanya, aku dulu pernah ada di posisi itu, jadi ngerti gimana rasanya. Makanya aku juga nggak mau Farel juga ngerasain apa yang aku rasain dulu. Ya selagi aku bisa, aku bakal merawat dia sampai membaik. Apalagi di sini dia masih adik kita, jadi dia kita harus bisa menjaga, membimbing, dan merawat dia, karena kita jadi panutan dia, sekaligus jadi kakak dia.”

“Iya juga ya Bal, kamu bener banget. Aku benar-benar bersyukur banget bisa punya teman kayak kamu. Kamu tuh paling sering memberi nasehat ke aku, ke teman-teman, dan kamu tuh paling bijak, paling dewasa di antara kami. Aku salut sama kamu, Bal, terima kasih, ya.”

“Jangan berlebihan gitu, terima kasihnya sama Allah, karena Allah yang memberi aku otak yang bijak, baru bisa mikir hal-hal yang baik.”

═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╗
• B E R S A M B U N G • •
╚═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╝

Sampai di sini dulu yaa...
Gimana ceritanya? Bagus gak? Kalau bagus, jangan lupa untuk vote, comment, and share yaa.... Karena itu gratis.
Next? Vote and comment dulu yaa...
See you next part😍...

Salam
Eryun Nita

Aku Mencintaimu Karena Allah [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang