Jangan lupa vote and comment yaa...
╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝
•
•
•
≪━─━─━─━─====== • ✠ • ======─━─━─━─━≫Malam itu setelah semua selesai belajar, Iqbal dan beberapa temannya sedang bercanda di dalam kamar sembari bercerita tentang kisah-kisah hidupnya.
Di sela-sela perbincangan mereka, tiba-tiba ada salah satu santriwan yang membuka mulut.
“Eh, kalian pada tahu nggak, yang namanya Afifah-Afifah itu?”
“Oh ... santriwati baru itu ya? Sekaligus murid baru di sekolahan kita ya?”
“Iya, kalian tahu nggak?”
“Iya, tahu ... emangnya kenapa?”
“Tau tuh, kenapa sih Roni malah ngomongin Afifah. Kamu naksir ya ... sama dia?”
“Issh enggaklah, nggak mungkin. Ya aku cuma iseng-iseng tanya aja.”
Iqbal pun hanya terdiam menyimak obrolan teman-temannya tanpa ikut berbicara.
“Emangnya, kenapa dengan Afifah, Ron?”
“Yaa aku sih ... nggak tahu pasti, kabarnya benar atau nggak. Cuma yang aku dengar, kabarnya Afifah akan menjadi menantu dari Romo Kyai kita.”
“Jadi menantu? Serius, kamu Ron?!” Tiba-tiba Iqbal langsung mengegas.
“Woy woy ... selow Bal, selow. Kalem aja, nggak usah ngegas gitu, kamu nggak lagi naik motor kok,” celetuk Farid.
“Tahu nih, Iqbal ... langsung ngegas saja.”
“Ya maaf, 'kan aku kaget. Awalnya 'kan, ngomongin tentang sekolah, ternyata malah ngomongin calon menantu.”
“Yaa memangnya kenapa? Jangan-jangan ... diam-diam kamu suka ya, sama Afifah?”
“Oh ... atau jangan-jangan, surat yang kamu tulis di kelas beberapa hari yang lalu itu juga kamu tujukan buat Afifah, ya?”
Astagfirullah .... apa-apaan ini! Jangan sampai mereka tahu. Aku harus berpikir supaya nggak ketahuan, pikir Iqbal.
“Eh, ya nggaklah. Kalian tuh jangan mengada-ngada. Mana mungkin aku suka sama Afifah. Aku saja belum pernah bertemu dia, aku pun juga nggak tahu anaknya yang mana. Kemarin pas di kelas kebetulan aku cuma boring saja, makanya membuat surat ... dan masalah tadi yang tiba-tiba aku menjadi terkejut tuh, kalian ngomongin calon menantu. Memangnya kalian mau segera menikah juga?” elak Iqbal.
“Ya nggaklah, aku 'kan cuma ngomongin, apa salahnya?”
“Justru kamu malah berdosa, karena malem-malem mengghibah perempuan seperti ini, apa kabarnya sudah pasti?”
“Iya iya sih. Tapi bukan berarti ngomong gitu, Bal. Cuma memberitahu teman-teman saja gitu ... supaya kalau memang kabar ini bener, kalian bisa menjaga jarak dengan Afifah, karena Afifah akan menjadi calon istrinya Mas Ahmad.”
“Oh ... gitu. Memangnya, kamu dapat kabar itu dari siapa?”
“Yaa aku dengar dari mas mas pondok. Tadi siang mas mas pondok mengobrol bersama Mas Ahmad. Ya mungkin itu, yang mereka omongkan salah satunya. Kemudian mas mas pondok cerita ke aku, jadinya aku cerita ke kalian.”
“Oh ... begitu ya.”
“Tapi, bukankah Afifah masih kelas 2 SMA? Bagaimana mungkin mau dinikahkan?”
“Sebenarnya sih, lebih tepatnya dijodohkan.”
“Perjodohan?! Bagaimana mungkin? Eh, Ron, mereka masih sama-sama menempuh pendidikan. Mas Ahmad masih kuliah, beliau ingin menjadi dosen bahasa Arab. Kemudian Afifah itu juga masih kelas 2 SMA. Bagaimana mungkin mereka dijodohkan?”
“Ya kalau alasannya kenapa mereka dijodohkan, aku juga tidak tahu. Yang aku tahu cuma kabar bahwa Afifah akan menjadi menantunya Romo Kyai. Kalau memang kabar ini benar, aku harap kalian bisa menjaga jarak dari Afifah, supaya tak ada kesalahpahaman di antara kalian semua dengan Mas Ahmad.”
Deg!
Jantung Iqbal seakan berhenti memompa darah dalam tubuhnya. Ia sangat tidak menyangka bahwa akan mendengar pernyataan seperti itu dari teman-temannya. Iqbal perlahan-lahan telah mengagumi Afifah, dan perlahan dia menyukainya. Tentu saja baginya ini sulit tuk ia terima. Menurutnya, Afifah adalah cinta pertamanya. Tapi, apakah Afifah akan menjadi milik orang lain? Dan ... apakah Iqbal akan melepasnya begitu saja? Ia tidak tahu. Yang ia tahu, ia menyukai Afifah ... dan mungkin juga ia perlahan mencintai Afifah.
Akan tetapi, kenapa pernyataan ini membuat jantungnya seakan tertusuk duri? Ia tidak tahu, bahwa yang menusuk hatinya hanya sebuah pernyataan saja, atau bukan. Ia berharap, kabar-kabar ini hanyalah kabar burung, yang tidak pasti kepastiannya. Ia berharap, bahwa ini hanyalah omongan belaka, yang tidak fakta.
Ya Allah ... aku sakit hati. Sesedih inikah hidupku? Ketika aku mulai mengagumi seseorang dan menyukainya, kenapa ternyata ia telah menjadi milik orang lain, atau kelak mereka akan bersama? Apa aku sanggup menjadi seksi kebersamaan mereka nanti? Apakah aku bisa ikhlas menerima semuanya? Sungguh, ini sangat sakit sekali–mengetahui semua ini. Jadi ini ya, alasnya kenapa Afifah sangat cuek sekali. Bahkan saat aku hanya sekadar bertanya di ruangan OSIS pun, dia juga sama sekali tidak terlihat terlalu peduli. Dia hanya menjawab seperlunya, itu pun singkat. Mungkin karena ia ingin menjaga hati untuk Ahmad, batin Iqbal.
Perlahan berlinang air mata di mata Iqbal. Ia hanya hampir tak bisa menahan tangisnya. Namun, tak mungkin juga jika ia meluapkan sekarang, karena ia sedang berada di antara teman-temannya. Apa jadinya jika teman-temannya mengetahui bahwa Iqbal menangis? Apakah jawaban yang akan Iqbal berikan jika teman-temannya bertanya apa alasan ia menangis? Ia tak mau ada satu pun temannya mengetahui bahwa ia menyukai Afifah. Perlahan, Iqbal menunduk. Kemudian berpamitan pada teman-temannya.
“Aku mau tidur dulu ya, ngantuk. Besok ada tugas lagi. Apa lagi tiga hari lagi ada kegiatan study tour, jadi harus bangun pagi-pagi buat bantu-bantu persiapan,” pamit Iqbal.
“Kok, kamu nggak seperti biasanya? Biasanya kamu kalau tidur malam sekali. Bahkan saat kami sudah tidur pun, kamu masih belum tidur,” tanya Farid.
“Ya nggak selamanya aku akan seperti itu. Ada kalanya aku harus berubah,” ucap Iqbal sambil tersenyum. Tetapi, senyum di balik luka.
Setelah itu, Iqbal bergegas tidur terlebih dahulu.
“Eh, kenapa ya, aku merasa bahwa dia jadi berbeda. Iqbal tadi saja kayak happy-happy saja pas sebelum kita memulai membahas Afifah. Tapi sekarang, kenapa dia berubah seperti itu? Mungkin, dia benar-benar menyukai Afifah?” tanya Roni.
“Heh, jangan ngaco kamu Ron. Jangan su'udzon, husnuzzan aja kenapa sih. Ya mungkin aja Iqbal emang lagi nggak enak badan, makanya dia tidur lebih awal. Apalagi besok dia harus mempersiapkan buat study tour tiga hari lagi,” jawab Farid.
“Hmm iya juga ya. Ya udah deh, kita tidur juga. Jangan sampai nanti ada yang patroli, dan kita belum tidur.”
“Ya udah, ayo.”
Setelah itu, mereka sama-sama tidur.
╔═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╗
• • B E R S A M B U N G • •
╚═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╝Sampai di sini dulu yaa...
Gimana ceritanya? Bagus gak? Kalau bagus, jangan lupa untuk vote, comment, and share yaa.... Karena itu gratis.
Next? Vote and comment dulu yaa...
See you next part😍...Salam
Eryun Nita
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Mencintaimu Karena Allah [End]
Teen FictionJika aku tak bisa membuatmu bersatu denganku, maka biarlah Allah yang akan menyatukan kita. Aku mencintaimu bukan karena parasmu, aku mencintaimu bukan karena suara merdumu, aku mencintaimu bukan karena hartamu. Tapi, aku mencintaimu karena Allah. ...