Sooner or later, everyone sits down to a banquet of consequence - Robert Louis Stevenson
***
"Iya, Mbak Inggit. Aku ngerti kok. Pasti aku selesaiin tepat waktu." Sudah lima belas menit─kurang lebih─Mbak Inggit menjejaliku berbagai wejangan lewat sambungan telepon.
Awalnya dia nggak setuju kalau aku mulai ngantor lusa. Alasannya, kalau tanpa ngantor dan hanya sesekali diselingi jadwal ke kampus saja, novelku nggak kelar-kelar, apalagi kalau ditambah kerja kantoran. Tapi setelah kuyakinkan, kalau ini semua tuntutan Papa, mau nggak mau Mbak Inggit terpaksa mengalah. Sebagai gantinya, aku harus mendengar ceramahnya ini.
"Jangan iya-iya aja dong, Illy! Kita udah nggak punya banyak waktu, nih!" omelnya lagi.
"Iya, Mbak." Aku juga maunya nulis lancar jaya, bagaimana lagi kalau kenyataan nggak seindah ekspektasi. "Aku lagi berusaha banget kok ini," lanjutku masih dalam usaha menenangkan Mbak Inggit.
"Oh iya, riset di kantor cowokmu kemarin gimana? Ngebantu, nggak?" Kupejamkan mata dan menghela napas kasar, mendengar pertanyaan Mbak Inggit barusan.
"Umh ... nggak, Mbak. Cancel." Pendek saja aku menjawab.
"Kok bisa? Katamu─"
"Nanti deh, Mbak. Kalau ketemu kujelasin semuanya. Tapi nggak sekarang ya, Mbak, please," pintaku memohon pengertiannya. Masalahnya, hari ini aku baru mulai sedikit membaik. Kalau aku bahas sekarang soal ... you know who, bisa-bisa aku mendadak melow lagi.
"Hum? Ada masalah, ya? Berantem sama─"
"Nanti, Mbak ... Senin deh, pulang kantor kita ketemuan," tambahku lagi. Mbak Inggit ini memang bawel, tapi aku beruntung dipertemukan editor perhatian seperti dia.
Nggak banyak juga penulis yang dekat secara personal dengan editor. Entahlah, dengan Mbak Inggit ini, aku kadang seperti mempunyai seorang kakak. Dia sendiri pernah mengatakan hal yang sama tentangku. Menurutnya aku ini seperti adik perempuan yang nggak dia miliki─karena tiga adiknya kesemuanya lelaki─dan menurutnya lagi, aku punya potensi besar menjadi penulis ternama.
Dulu, aku senang dengan kalimat motivasi itu. Kini, aku mulai menyangsikannya.
"Iya deeeh, yang udah punya kantor sekarang," ledeknya diiringi suara tawanya, sementara aku hanya memutar bola mata tanpa merasa perlu menanggapinya. Bisa-bisa semakin panjang kalau aku jawab.
Usai obrolan tadi, aku baru mulai berpikir, nanti di kantor aku dikasih jabatan apa ya sama Papa? Kalau langsung memegang jabatan penting, agak khawatir juga. Aduh, lebih dari itu, harusnya aku lebih memikirkan mesti pake baju apa Senin nanti.
Ketukan di pintu kamar mengejutkanku. Aku pun beranjak untuk mencari tahu. Rupanya Bik Isah─asisten rumah tangga kami─yang melakukannya. "Kenapa, Bik?"
"Itu, Non Illy ... ada Mas Egha di dep─"
"Hah?" Duh, aku lupa lagi memberi tahu orang-orang yang kerja di rumah ini, kalau orang yang bernama Egha dan Arlin dilarang keras masuk. "Usir aja deh, Bik! Bilang aku nggak ada!" perintahku pada Bik Isah.
"Tapi udah terlanjur saya suruh tunggu, Non. Udah saya kasih minum juga malah. Gimana dong, Non?"
Aku menggaruk kepala yang sebenarnya nggak gatal, cuma gemas saja sama ART-ku ini. "Duh,nggak tau ah. Bik Isah bilang apa kek, pokoknya aku nggak mau nemuin dia, Bik!" Aku langsung masuk dan menutup pintu kamar lagi.
Tapi dipikir-pikir, ini kan bukan salah Bik Isah. Kasihan juga kalau dia yang harus menghadapi cowok berengsek itu. Akhirnya cepat kubuka lagi pintu.
"Bik, tunggu ...," panggilku pada Bik Isah yang sudah mulai menginjak tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua rumahku ini. Aku menghela napas sebelum melanjutkan ucapanku. "Biar kutemuin deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cwtch (Completed) ✔
Romance- Pemenang Wattys 2021 kategori Chicklit - - Reading List @WattpadChicklitID kategori Agenda Meja Kantor Juni 2021 - Bahwa rupanya, orang terdekatmu bisa menikammu dari belakang itu benar adanya. Bahkan hanya mimpi kecil pun dirampas. Aku hanya ing...