The hardest thing in the world to understand is income tax - Albert Einstein
***
"Hmm ... gimana ya gue mulainya ...," katanya membuka pembicaraan, "gue nggak tau, lo udah tau soal ini atau belum ...." Axel menjeda kalimatnya dan aku masih menunggu, walaupun rasa penasaran mulai menggelitik.
Kami saling bertatapan lama. Dan tiba-tiba rasa aneh setelah dia mengacak rambutku semalam kembali. Dia bukan mau nembak aku kan?
Dering telepon di mejanya, membuat kami sama-sama sedikit tersentak kaget. Putuslah acara lihat-lihatan tadi.
Axel berdeham singkat, sebelum menjawab panggilan telepon tersebut. Sementara aku menunggu dan menenangkan diri. Mencoba menetralisir sesuatu yang tadi sempat bergejolak di dalam dada.
"Iya, Pak, dia ada di ruangan saya ...," perkataan Axel untuk seseorang di seberang, menarik perhatianku. Di ruangan ini cuma ada dia dan aku. Jadi, yang dia bicarakan dengan seseorang di seberang itu, aku? Tunjukku pada diri sendiri dan bertanya ke Axel.
"Menurut saya lebih baik dikasih tau, Pak. Kalau tau dari orang lain malah ... iya betul, Pak," lanjutnya lagi, kali ini ditambah dengan pandangan matanya yang diarahkan padaku. Jadi betul aku obyek yang mereka bicarakan.
Orang-orang yang dipanggil Pak oleh Axel harusnya cuma beberapa. Tim manajemen yang usianya memang di atas usianya sendiri. Kalau nggak gitu udah pasti direksi. Wait, direksi? Papa?
"Iya, Pak. Nanti saya kasih tau dia." Setelah itu dia pun mengakhiri panggilan telepon itu. Giliranku menatapnya penuh pertanyaan sekarang ini.
"Hm, ok, seperti yang barusan lo denger ...," Axel lagi-lagi menjeda ucapannya, "gue barusan bicara sama Pak Ridwan." Tuh kan bener Papa. Aku tetap diam menunggu kelanjutannya.
"Sebaiknya lo ke ruangan Papa lo, dan langsung bicara sama beliau." Aku mengernyit mendengar perkataannya barusan.
"Why?"
"Mmh ... ada masalah─lagi─di kantor." Axel bicara sedikit terbata-bata dan sepertinya dia sendiri bingung, terlihat dari cara bicaranya yang nggak seperti biasa.
Biasanya, Axel selalu percaya diri. Tegas dan jelas dalam setiap kata-kata yang dia ucapkan. Bukan seperti sekarang. "Masalah ... hukum lagi?"
Axel melipat bibirnya ke dalam, seolah lagi mikirin jawaban yang akan diberikannya padaku. "Ini ada hubungannya sama pajak."
Baru dengar kata pajak saja, nggak tau kenapa, aku mendadak lemes. Kusandarkan badan ke sandaran kursi. Berharap semoga saja bukan seperti yang di pikiranku.
"Kalau mo tau lebih jelasnya, lo ke ruangan—"
"Iya, sebentar," potongku sambil mengangkat tangan, menahannya melanjutkan perkataannya. Aku hanya butuh waktu sejenak, sebelum aku pergi menemui Papa. "Seburuk apa?"
Lagi-lagi Axel nggak langsung menjawab, lalu dia menggeleng kecil. "Gue juga belum tau secara detail. Jadi, menurut gue, baiknya lo tanya langsung ke Papa lo." Aku manggut-manggut aja mendengar penuturannya.
Akhirnya aku beranjak dari dudukku dan menyiapkan diri untuk ke ruangan Papa. Pandangan Axel mengikutiku. "Do you wanna say something else?"
Dia malah mengedikkan bahu sambil menggeleng, lalu mempersilakan aku keluar dari ruangannya dengan gestur tangannya.
"Ngusir?"
Kali ini, dia menarik kembali tangan yang menyuruhku keluar dan dia gunakan untuk menutupi mulutnya yang kutahu sebenernya sedang tersenyum itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cwtch (Completed) ✔
Romance- Pemenang Wattys 2021 kategori Chicklit - - Reading List @WattpadChicklitID kategori Agenda Meja Kantor Juni 2021 - Bahwa rupanya, orang terdekatmu bisa menikammu dari belakang itu benar adanya. Bahkan hanya mimpi kecil pun dirampas. Aku hanya ing...