Being nervous isn't bad. It just means something important is happening - Michael Jordan
***
"Lidya sama gue ...," Axel menarik napas dan aku juga ikutan menahan napas karenanya, "pernah dekat." Axel melihat ke arahku. Barangkali menunggu responku. Tapi aku sendiri bingung harus berkomentar apa. Kubuang napas perlahan. Baru sadar sedari tadi masih menahannya.
"Pacaran ... maksudnya, Mas?" Akhirnya pertanyaan ini pun keluar, walaupun aku sedikit terbata-bata dalam menyuarakannya.
Axel menggeleng, lalu menunduk. Mengetuk-ngetukkan ujung sepatu kanannya ke lantai atap gedung yang dibiarkan rustik dengan lapisan semennya.
Sementara aku? Menunggu, nggak berani bertanya lebih lanjut. Lebih karena khawatir nggak siap dengan jawaban yang akan kudengar nanti. Tunggu, kenapa aku harus nggak siap? Telapak tanganku di atas dada, menahan debaran aneh agar jangan sampai terdengar olehnya. Ujung kakiku ikut mengetuk-ngetuk lantai yang kami pijak.
Jadi, sebenernya sejak kapan aku suka padanya? Kalau bukan ketertarikan, apa lagi alasan yang bisa menjelaskan rasa aneh ini?
"Hanya ... dekat. Bukan pacaran," lanjut Axel lagi. Aku masih bergeming. Panik dengan perasaanku sendiri. Padahal sudah berkali-kali mengingatkan diri sendiri untuk pandai-pandai menjaga hati.
"Apa, ya? PDKT ...," lagi-lagi dia menjeda monolognya, "salah gue sih, yang terbawa suasana. Harusnya gue nggak main-main, apalagi kami masih di satu lingkungan kerjaan.
"Lidya suka sama gue, awalnya udah gue tolak, tapi ...."
"Tapi lama-lama mau juga." Kugigit bibir, terlambat menyesali ucapan yang nyeplos begitu saja dari mulutku.
"Justru karena gue menolak, makanya Lidya sampai ngejar ke ruangan kapan hari. But still, it was my fault. Karena harusnya dari awal gue nggak menyetujui ... umh ... ajakan PDKT ini."
"Please remind me, why do you tell me this, again?" Jujur memang sedikit heran, kenapa ya dia menceritakan ini semua ke aku? Apa karena takut aku ember ke mana-mana setelah sedikit mendengar pembicaraan mereka? Aku menghela napas panjang, yang beberapa detik kemudian disusul olehnya yang juga melakukan hal yang sama. Membuatku sedikit melirik padanya. Tampak sedikit senyum tipisnya, meski hanya sekilas.
"Tau, nggak? Selama beberapa hari lo ngurusin case pajak, hampir setiap hari, setiap sore tepatnya, gue ke sini." Hah, dia setiap hari ke rooftop, ngapain?
"Nungguin lo," lanjutnya seperti sedang menjawab pertanyaan yang padahal nggak kuucapkan keras-keras tadi. Dan otomatis bikin aku kagetlah. Kali ini aku memberanikan diri menatapnya secara terang-terangan.
"Kaget?"
Aku mengangguk ragu-ragu menjawab pertanyaannya yang lagi-lagi seperti membaca isi hatiku.
"Kira-kira kenapa gue nungguin lo?"
Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah menggigit bibir lagi. Jujur, aku pun gugup dengan perkiraan jawaban dari pertanyaan Axel barusan.
"Yang pasti bukan karena gue nungguin hasil Bapenda, sih."
"So?" sahutku lirih.
Saat ini kami sudah saling berhadapan. Axel berdiri santai dengan bertumpu di kaki kanannya, dan memasukkan kedua tangan di saku celananya. Kedua matanya menatap lurus padaku.
Sial! Gimana ini, jantungku rasanya mau meledak. Sampai berapa lama kami akan melakukan ini. Kenapa nggak jawab-jawab juga, sih!
"Because I like you."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cwtch (Completed) ✔
Romance- Pemenang Wattys 2021 kategori Chicklit - - Reading List @WattpadChicklitID kategori Agenda Meja Kantor Juni 2021 - Bahwa rupanya, orang terdekatmu bisa menikammu dari belakang itu benar adanya. Bahkan hanya mimpi kecil pun dirampas. Aku hanya ing...