16 - Menjaga Hati

27.3K 4.3K 102
                                    

Kalau bukan aku sendiri yang menjaga hatiku, siapa lagi? - Illy

***

Semenjak mengambil tongkat estafet dari Ika, asisten Bu Vero yang entah nggak tau di mana keberadaannya sekarang─ya, walaupun dia tetap kooperatif setiap kali kami menanyakan sesuatu─bisa dibilang, aku literally ngantor di kantor Bapenda.

Hampir setiap hari, pagi-pagi buta aku harus meeting singkat dengan konsultan pajak dulu, sebelum kami bersama-sama menuju Bapenda. Saking seringnya, beberapa staf di sana bahkan sampai hafal padaku.

"Jadi gimana, Illy? Apa nggak ada cara lain selain harus membayar ...," tanya Pak Rama atau yang biasa kupanggil Om Rama, wakil Papa. Dan selama Papa absen, beliaulah yang memegang peranan untuk memimpin perusahaan.

"Aku masih terus nego, Om. STP baru akan dikeluarkan kalau kita menandatangani nominal kurang bayar itu. And its ... big number, as you already know." Aku tahu ini bukan saatnya saling menyalahkan, tapi aku juga tau, ide double bookkeeping ini adalah dari Om Rama.

Bu Vero yang menjelaskan, bahwa semua pendapatan yang menjadi obyek pajak pemerintah daerah dan dilaporkan setiap bulannya harus atas persetujuan Om Rama. Bahkan, nggak jarang ketika Bu Vero sudah mengajukan suatu angka tertentu, Om Ramalah yang memerintahkan untuk memangkas lagi nilai laporan tersebut.

Apakah Papa tahu? Ya, beliau tahu, tapi nggak secara keseluruhan. Papa lebih mengurusi ekspansi dan lainnya. Aku sempat terkejut saat Cik Fani menjelaskan secara detail di malam Papa anfal.

Malam itu, setelah dia menelepon, akhirnya kuputuskan untuk mengatur pertemuan. Barulah aku paham semua duduk permasalahan dari awal.

Harus kuakui, double bookeeping atau pembukuan ganda ini sebenarnya bukan hal baru. Kurasa, hampir setiap perusahaan di bumi nusantara ini melakukannya, apa pun jenis usahanya. Mungkin itu alasan Papa iya-iya aja, dan menyerahkan pengawasan pada Om Rama dan Bu Vero. Duh, tapi nggak gini juga kali.

Pantas saja kami diperiksa, gimana nggak, kalau ternyata pendapatan kotor yang kami laporkan bahkan nggak mencapai 20% nilai sebenarnya. Sumpah serapah pun refleks keluar dari mulutku, kala pertama tahu mengenai hal ini.

Tapi seperti kubilang tadi, saat ini bukan lagi waktunya saling menyalahkan. Melainkan saatnya mencari solusi. Karena angka temuan kurang bayar dari perusahaan kami, nominalnya terlalu fantastis. Inilah penyebab Papa kena serangan jantung waktu itu, syukurlah nggak harus sampai operasi.

Mama Rheina dan Dimas pun terpaksa aku beri penjelasan tentang permasalahan yang sedang menimpa perusahaan. Karena aku butuh bantuan mereka untuk menjaga Papa dari stres dan berita-berita yang mengagetkan, sebelum semuanya jelas.

"Ya, tapi angkanya masa segitu?" lanjut Om Rama. Jangan salah Om Rama ini cukup capable mengurus perusahaan. Dia salah satu pemeran utama, selain Papa yang membesarkan perusahaan ini sampai memiliki tujuh cabang seperti sekarang. Well, kecuali saat membuat keputusan soal taxation ini.

"Asal Om tau, itu udah dipangkas dari nilai aslinya. Dan seperti kubilang tadi, masih kuusahakan." Om Rama manggut-manggut mendengar sanggahanku. "Oh, dan Om jangan kasih tau apa-apa dulu ke Papa, sampai semua fix, nanti biar aku yang coba bicara pada Papa," lanjutku kemudian.

"Iya, Om tau. Kamu nggak usah kuatir," jawabnya.

Ponsel di mejaku berdering, Om Rama pun berpamitan padaku, memberi privasi.

"Ya, Mbak Inggit ...."

Untungnya di sela-sela mengurus masalah pajak ini, aku nggak melupakan kewajiban yang kujanjikan pada editorku ini. Ya, walaupun akhir-akhir ini kami hampir nggak pernah ketemu, dan hanya bertukar file atau diskusi via telepon seperti sekarang ini.

Cwtch (Completed) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang