4 - Baik, Pak!

38.4K 5.4K 315
                                    

Yes, Sir! No, Sir!

***

Sepanjang perjalanan ke kantor, alih-alih gugup, aku malah kepikiran curhatan impulsif ke stasiun radio semalam. Kuketuk-ketukkan jari di setir mobil, sembari menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. Masih mengernyitkan kening. Bola mataku pun bergerak-gerak ke sana kemari.

Apa sebaiknya kuurungkan saja ya niatan membalas kelakuan Egha sama Arlin? Duh, masalahnya kemarin sudah terlanjur cerita ke radio. Mana tadi cek Twitter ProFM juga sudah banyak yang menunggu kelanjutan ceritanya. Gimana ya?

Pikiranku kembali menerawang mengingat apa saja yang kemarin kukatakan pada DJ Al.

"Tunggu-tunggu, tadi lo bilang mo balas dendam, gimana? Kalau untuk sekedar cerita, buat ngeluarin uneg-uneg, mungkin gue bisa bantu. Tapi kalau mo bales─"

"Bukan-bukan, aku cuma mau sharing pengalaman. Semoga aja, yang dengerin cerita ini nggak segoblok─"

"Eits ... nggak boleh ngomong kasar," sela DJ Al disertai tawa kecilnya. Menandakan dia nggak benar-benar serius dengan tegurannya. Emang bener sih, dasar aku saja yang goblok, " ok, jadi sahabat lo ini─"

"Mantan sahabat!" Giliranku yang menyelanya saat itu. Nggak sudi lagi aku disebut-sebut punya sahabat macam Arlin.

"Okay, fine, mantan sahabat ...," berdeham sejenak DJ Al lalu melanjutkan, "jadi mantan sahabat lo ini posting di sosmed-nya terus menjelek-jelekkan lo, gitu? Dan yang mo lo lakukan sekarang adalah ...."

"Gue ... eh, nggak pa-pa kan kalo ngomongnya pake lo-gue?"

"Sure ... sure go ahead. Gue sama pendengar-pendengar gue juga selalu pake lo-gue kok. Relax, santai aja. Anggep rumah sendiri."

"Hah?" Awalnya aku sempat bingung dengan perkataan DJ Al, tapi setelah mencerna lebih baik aku tertawa kecil dan kudengar di seberang dia pun melakukan hal yang sama. Mungkin dia hanya ingin menenangkanku. Jujur, memang ada dilema dalam hati.

"Sebenernya ...."

Suara klakson tiba-tiba mengejutkanku. Astaga, sudah hijau. Aku pun segera tancap gas sambil berusaha tetap tenang, di tengah-tengah bunyi klakson yang nggak berhenti-berhenti dari mobil belakang. Sebenarnya sudah berapa lama aku bengong, tadi?

Ok, lupakan sejenak soal percintaanku yang gagal. Sekarang, aku mesti ke mana ini? Maksudnya, aku sudah beberapa kali ke sini, tapi biasanya memang langsung menuju ke ruangan Papa. Bukan untuk melapor di hari pertama kerja.

"Pagi, Mbak," sapaku sambil tersenyum semanis mungkin pada resepsionis yang pasti sudah tahu siapa aku sebenarnya. Tetap saja aku nggak mau meninggalkan kesan buruk sekalipun aku anak dari bosnya.

"Selamat pagi ...." Wajah resepsionis itu sedikit terkejut setelah tahu aku yang menyapanya. Mungkin dia heran karena biasanya aku langsung naik tanpa basa-basi dengan petugas di bagian front office.

Memangnya, Papa nggak kasih tahu stafnya kalau aku mau bergabung di perusahaan, ya?

"Mbak Illy? Ada yang bisa dibantu?" lanjutnya lagi, sekaligus mengonfirmasi kalau dia memang beneran nggak tahu kenapa aku di sini pagi ini.

"Iya, umh ... Mbak Diana, kantor HRD di sebelah mana, ya? Umh ... hari ini, hari pertama saya kerja ...." Aku sempat membaca tanda pengenal di dada kanannya.

"Ke-kerja?" Reaksinya sedikit di luar ekspektasi sih. Memangnya, apa yang aneh kalau anak pemilik perusahaan tiba-tiba ikut ngantor di tempat yang sama dengan ayahnya?

Cwtch (Completed) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang