Part 12 - Fierce Partner (2)

214 41 6
                                    

Perjalanan pasti terasa membosankan kalau saja orang yang duduk balik kemudi bukan Fasya. Sedari tadi, gadis itu hanya diam dan menjawab pertanyaan Sultan sekadarnya saja. Padahal, Sultan sudah melancarkan serangan hingga godaan sesuai "Tata Cara Menaklukkan Wanita Ala Sultan". Dimulai dari membicarakan tentang betapa indahnya Kabupaten Tuku, memuji secara halus kepiawaiannya dalam memimpin daerah, hingga topik remeh temeh seperti cuaca. Fasya tetap menutup mulutnya rapat dengan wajah serius.

Mobil berhenti di depan rumah yang sudah dipenuhi warga. Sultan terhenyak saat menyadari bahwa tempat ini yang ia kunjungi kemarin. Benar berarti, rencana jahat Om Putro telah terbukti. Pasti jenazah itu adalah pekerjanya yang sudah ditemukan dalam kondisi mati.

"Ibu Fasya!" seru salah seorang yang berkerumun di depan rumah. "Ada Ibu Fasya!"

Keriuhan seketika terdengar. Semua melihat ke arah datangnya Fasya dan Sultan. Seorang bocah perempuan yang menangis berlari menghampiri mereka. Fasya merentangkan tangan, siap menerima pelukan dari anak berusia sekitar tujuh atau delapan tahun itu. Namun, bocah itu malah menubruk Sultan dan menangis tergugu.

"Om Sultan ...! Benar kata Om Sultan, kalau saya sabar, Papa saya akan pulang. Tapi saya tidak mau dia pulang seperti ini," isaknya.

Semua terpana, termasuk Fasya yang ternganga. Dahinya mengernyit, matanya menyiratkan tatapan, "Kok-bisa?"

"Iya, Lana. Kamu yang sabar, ya! Selalu doakan Papa kamu agar bahagia di sana," ucap Sultan lembut sambil mengusap-usap kepala anak itu. Hatinya meringis kala menyadari bahwa perusahaannya telah menyembunyikan kematian seorang ayah dari anaknya.

"Iya, Om. Saya senang Om datang ke sini. Om satu-satunya bos Papa yang datang ke sini!"

"Saya juga senang bisa datang, Lana," ucapnya parau. Astaga! Apa yang sudah ia lakukan? Ia benar-benar merasa berdosa.

Sultan memalingkan wajah dan tanpa sengaja memergoki Fasya yang sedang menatapnya bersama Lana dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu segera mengalihkan pandangan saat menyadari ia ketahuan. "Di mana jenazahnya?" pungkasnya pada pria tua di sampingnya.

"Ada di sebelah, Ibu Fasya," ujar seorang warga. Dia mengantarkan Fasya menerobos kerumunan menuju samping rumah. Sultan segera pamit pada Lana dan menyusul.

Wajah Fasya seketika berubah pucat melihat jasad yang tercabik-cabik setelah kain dibuka. Bau busuk menyeruak dari tubuh yang sudah dirubung lalat itu. Spontan Fasya berbalik dan menubruk Sultan sambil memejamkan mata dengan erat. Sultan mengira gadis itu akan mendorongnya menjauh, tetapi ternyata gadis itu malah terdiam sambil menutup muka. Bahkan, ia tetap bergeming saat Sultan menenangkan dengan mengusap-usap bahunya. Pasti menyeramkan bagi seorang wanita melihat tubuh mayat yang tewas mengenaskan. Sultan sendiri merasa mual. Meski begitu, ia tetap harus terlihat berani di depan Fasya yang saat ini membutuhkan perlindungan.

"Nggak apa-apa, Fasya. Ayo, kita pindah ke tempat yang lebih aman," ajak Sultan berbisik di telinganya.

Fasya terbelalak, seperti baru menyadari tingkahnya barusan. Sejurus kemudian, ia mendorong Sultan hingga mundur beberapa langkah. Terdengar umpatan dari bibir ranumnya sebelum dia menjauh. Sultan menyesal telah melewatkan kesempatan memeluknya lebih lama lagi. Bahkan, walaupun di tempat yang tidak semestinya, gelenyar di tubuhnya masih terasa dari sentuhan sekejap dengan wanita galak itu.

"Kami harus melakukan autopsi, Ibu Fasya, tapi Pak Tuwo melarang," ujar seorang pria berseragam polisi saat Sultan mendekati mereka. "Keluarga juga tidak mengizinkan."

"Kenapa Pak Tuwo melarang?"

"Katanya, jenazah yang meninggal di Hutan Keramat harus segera dimakamkan. Supaya arwahnya tenang dan tidak berkeliaran," jelas salah seorang warga.

The Beauty Regent: Love, Secret, & DangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang