Part 15 - Fortune Meeting (1)

232 41 6
                                    

Cerita ini aku republish ya teman-teman, dan babnya aku pisah-pisah lagi. Jadi ... maafkan kalau dari kemarin komentarnya beda sama ceritanya hehe :)

~~~

Percuma menahan desakan angkara yang sejak tadi dilakukan. Ini saatnya Sultan membalikkan keadaan yang sudah seharusnya dilakukan. Om Putro memang benar-benar harus diberi pelajaran.

"Om Putro yang br*ngs*k! Saya sudah tau semua kebusukan, Om, Sial*n! Saya sudah tau kalau Om itu pembunuh licik! Bahkan, sakitnya Papa juga gara-gara Om!" bentak Sultan tak mau kalah.

Om Putro merangsek ke depan Sultan yang sudah berdiri, kemudian mencengkeram kerah jasnya. "Kurang ajar! Beraninya anak bau kencur kayak kamu nuduh saya yang bukan-bukan! Memangnya saya bunuh siapa, hah? Kalau Papamu emang mau mati ya sudah jelas karena dia penyakitan! Jangan jadi salahin orang!"

Sultan mendorong tubuh Om Putro hingga terhuyung ke belakang. "Sialan! Udah bersalah masih pura-pura nggak tau! Om yang nyuruh pekerja tambang tewas kecelakaan untuk dibuang ke hutan, kan? Supaya seolah-olah dimakan binatang buas?" sindirnya tajam. "Harusnya Om ngaca! Yang binatang buas sebenarnya itu Om Putro! Malah Om bikin Papa serangan jantung gara-gara ngelarang Om ngelaksanain rencana busuk ini!"

Mata Om Putro terbelalak. Wajahnya seketika pucat. "Br*ngs*k! Tuduhan kamu itu nggak berdasar!"

"Hah? Siapa bilang? Saya punya buktinya!" balas Sultan. Ia segera memutar rekaman suara Om Putro yang diberikan Sahira.

Pria tua itu ternganga, wajahnya merah padam. Tangannya terkepal kuat dan Sultan sudah mengantisipasi akan adanya serangan. Benar saja, tak butuh waktu lama, pria itu sudah mendaratkan tinju ke depan wajah Sultan. Tentu saja tindakan bodohnya itu tak berarti apa-apa bagi Sultan yang dalam hitungan detik berhasil mematahkan serangan. Om Putro terpental hingga jatuh menimpa meja kayu dan menimbulkan bunyi berdebam.

"Sialan! B*ngs*t! Kurang ajar!" Sumpah serapah meluncur dari mulut Om Putro. "Kamu berani nantang saya, hah? Mau mati kamu? Saya akan pastikan kamu hancur lebur dalam semalam!" ancamnya sambil menyeka darah yang menetes di bibir.

"Saya nggak takut! Saya juga bisa bikin Om Putro masuk penjara karena sudah menutupi kasus kecelakaan kerja!" tukas Sultan sambil bersedekap.

Wajah Om Putro seketika berubah pucat. Matanya semakin merah dan terlihat sesaat ia meneguk ludah. Meski begitu, Sultan masih tetap waspada.

"Kalau kamu berani laporin saya ke penjara, saya pastikan kamu, Mama dan Papa kamu, juga bupati pacar kamu itu menderita!" Om Putro menyeringai.

Kali ini Sultan yang tersentak. "Nggak usah bawa-bawa Mama dan Papa! Ini urusan Om sama saya!" pekik Sultan tak dapat menahan kekesalan. "Apalagi Fasya! Kenapa dia?"

Senyum sinis terulas di bibir Om Putro. Sekilas Sultan matanya berkilat seperti serigala menemukan mangsa. "Kamu pikir Papa kamu nggak terlibat dalam kasus suap bupati dan gubernur di lahan tambang? Justru dia yang tanda tangan semua dokumennya. Dia pasti ikut saya jeblos ke penjara, walau sekarat sekali pun! Mama kamu pasti ikut sekarat kalau suaminya masuk penjara!" Om Putro tampak berada di atas angin. "Dan Fasya? Saya akan hancurkan tanah adat sialannya itu! Pasti dia dibenci rakyat yang memujanya! Sekarang saja, seluruh pegawainya benci sama dia! Pasti bakal terjadi kudeta!"

"Br*ngs*k!" Sultan menggeram. Tangannya terkepal, hendak kembali menyarangkan tinju ke wajah Om Putro. Pria sialan itu menyilangkan lengan untuk menutupinya sambil mundur beberapa langkah. Oh, jelas. Dia pasti sudah tahu bahwa tak ada gunanya melawan Sultan dengan otot. Pasti kalah telak.

"Kalau kamu berani bergerak selangkah lagi, saya nggak akan segan-segan menghancurkan kamu dan orang yang kamu sayang, Sultan!" desaknya. "Biar kita membusuk sama-sama di penjara!"

"Jangan sekali-kali libatkan mereka!" bentak Sultan. "Ini urusan kita, Sialan!"

"Kalau gitu, kita impas, bukan? Kita sama-sama pegang kekurangan masing-masing. Jadi, kita harus kerja sama supaya semua skandal ini tertutupi! Oke?"

Sultan membuang napas kasar. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk membungkam bandot tua ini sekarang. Dia harus memikirkan rencana yang lebih matang untuk menghancurkannya.

Pintu kembali dibuka dan kedua laki-laki itu tersentak. Begitu juga Alexa yang ternganga, sepertinya ia terkejut melihat ruangan yang porak poranda.

"Ehm, maaf mengganggu. Pak Sultan, Ibu Merissa sudah menunggu di restoran hotel Halton."

***

Lelah. Benar-benar melelahkan. Pertemuan yang menjemukan, tata krama, basa-basi, dialog yang sudah diatur. Uh, Sultan muak menjalani hari-hari yang hampir selalu sama. Walau kali ini ia tertolong karena rapat bersama wanita cantik, bukan pria tua seperti sebelumnya, tetapi tetap saja ia sama sekali tak bergairah. Yah, Merissa memang cantik. Kulitnya yang putih, wajahnya yang terawat, bibirnya tipis, dan rambut lurus dicat cokelat. Namun, kalau dibanding Fasya, dia bukan apa-apa.

Ah, kenapa Fasya lagi yang ada di otaknya? Ia memang benar-benar sudah gila.

"Kita langsung pulang, kan?" tanya Sultan pada Alexa yang duduk di kursi depan mobil.

"Belum, Pak. Seperti yang saya sudah bilang tadi pagi. Hari ini perusahaan kita mendapat undangan Inspirational Award. Acara ini sangat penting, Pak. Ini kesempatan kita untuk mencari partner bisnis karena banyak perusahaan penting yang diundang. Apalagi inisiatornya sahabat Pak Wiryo, ayah Pak Sultan. Setiap tahun, Pak Wiryo selalu menyempatkan datang," jelas Alexa panjang lebar tanpa diminta.

Sultan mendesah. "Tahun ini diwakilkan saja. Saya capek basa-basi."

"Apa Bapak ingin Pak Putro yang mewakilkan?" tanya Alexa menghadap belakang.

Napas Sultan tercekat. Mendengar nama itu disebut membuat asam lambungnya naik ke kerongkongan. Sialan. Pasti tua bangka itu bakal kegirangan kalau disuruh datang.

"Ya sudah. Saya aja yang datang!" ucapnya kesal.

Sultan menyempatkan diri memejamkan mata selama di mobil. Posisi barunya sebagai direktur lebih melelahkan dibanding bertanding tinju. Rutinitas menjemukan ini bukan hanya melemahkan fisiknya, melainkan menggerogoti jiwanya. Heran. Kenapa banyak orang menyukainya?

Mereka tiba di ballroom sebuah hotel bintang lima. Sultan merapikan rambut dengan jari, kemudian turun bersama Alexa. Sekretaris itu langsung melaksanakan tugasnya ke meja pendaftaran, sementara ia mengamati keadaan sekitar. Belasan pria berjas tampak saling berbincang dan tertawa formal, topeng kapitalis melekat di wajah mereka.

Alexa selesai mendaftar dan mereka dipersilakan masuk. Sultan duduk di meja bundar bersama tiga pria paruh baya yang langsung menyapanya akrab. Bukan Sultan kalau bisa langsung hapal nama mereka. Ia hanya mengikuti perbincangan yang mereka buat, tentang bisnis dan politik juga bagaimana mereka menguasai uang. Sultan berpura-pura menyimak sambil terkantuk-kantuk. Mereka sama sekali tak menghiraukan acara penghargaan di atas panggung. Mungkin karena mereka yakin nama perusahaannya tak akan disebut.

"Penghargaan 'daerah terinspiratif' jatuh kepada ... Kabupaten Tuku!"

Baru saja menenggak minuman yang terhidang, Sultan nyaris tersedak. Apa ia tak salah dengar? Ia kira acara ini hanya untuk perusahaan, tetapi mengapa Kabupaten Tuku disebut?

Praduga Sultan seketika terjawab saat melihat Fasya berjalan naik ke panggung mengenakan setelah kebaya berpadu dengan kain tenun khas daerahnya yang menjuntai panjang. Bibirnya yang dipulas dengan lipstik merah, merekahkan senyuman seindah bunga mawar. Rambutnya tergerai dengan sedikit ikal di bawahnya, menutupi punggung dan dadanya. Rasanya Sultan ingin berlari ke atas panggung dan memeluknya.

"Terima kasih atas penghargaan ini. Saya merasa sangat bersyukur atas kepercayaan pada Kabupaten Tuku sebagai daerah terinspiratif. Semua ini berkat seluruh warga Tuku yang bekerja dengan giat untuk mengembangkan daerah yang kami cintai. Hidup Tuku! Tuku selalu di hati!"

The Beauty Regent: Love, Secret, & DangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang