Part 14 - Bad News

189 41 6
                                    

Sultan membanting badan di kursi kantor. Tubuhnya terasa lesu dan tak ada sedikit pun gairah untuk memulai hari. Bukan hanya karena rasa lelah masih melanda setelah perjalanan jauh, tetapi juga karena ia harus berpisah dengan Fasya. Selain itu, ia masih ingin menikmati petualangan di Kabupaten Tuku, tempat yang terasa jauh lebih hangat dibanding rumahnya sendiri. Kesempatan menjelajah daerah istimewa bersama sang bupati telah membuka pikirannya yang selama ini terkungkung dalam hedonisme.

Getar ponsel yang tergenggam di tangan membuatnya tersentak. Jantungnya berdegup begitu melihat nama yang tertera di notifikasi. Fasya. Baru saja dipikirkan, gadis itu sudah menghubunginya. Apa ia juga merasakan kerinduan yang dialaminya sejak berpisah sehari yang lalu?

Terlihat beberapa foto yang dikirimkan Fasya sedang terunduh. Sultan tersenyum sendiri, membayangkan gambar perjalanannya kemarin yang pasti diabadikan Fasya diam-diam. Ia berharap semoga gadis itu tak mengambil foto saat dia muntah-muntah setelah naik paralayang. Uh, memalukan!

Hati Sultan mencelos saat mendapati foto yang dikirimkan tak sesuai dugaan. Alih-alih gambar wajahnya, ia malah melihat ekskavator dan buldoser berwarna kuning sedang memorak-porandakan hutan. Tampak batang-batang pohon berserakan, berikut para pekerja berompi dan helm jingga. Di hadapan mereka, tampak Pak Tuwo dan masyarakat adat mengacungkan parang sebagai senjata. Polisi dan tentara berada di tengah mereka.

[Tolong hentikan mereka sekarang juga!]

[Mereka bisa menghancurkan Hutan Keramat!]

Pesan yang dikirimkan Fasya membuat bulu kuduk Sultan meremang. Teringat olehnya pembicaraan Pak Tuwo tempo hari. Hutan itu adalah keseimbangan. Walau sebelumnya ia tak percaya pada mitos, tetapi ia tak bisa mengabaikan kata-kata ketua adat itu.

Menghela napas panjang, Sultan merogoh saku jas. Batu hati putih yang diberikan Pak Tuwo kini tergenggam, terasa hangat setelah bersemayam di depan dadanya. Ia memejamkan mata dan seketika bayangan alat berat perusahaan meratakan kediaman Pak Tuwo beserta masyarakat adat lainnya. Teriakan membahana, berasal dari manusia yang pernah menjamunya dengan sangat akrab. Setelah itu bayangan berganti dengan keluarga para pekerja yang memekikkan duka lara.

Sultan memijat pelipisnya dengan tangan dan memejamkan mata dengan kuat, mengusir bayangan mengerikan itu dari benaknya. Tidak, ia tak bisa membiarkan semua ini terjadi. Ia harus bersikap tegas, menghentikan pembukaan lahan di tanah adat itu segera. Perusahaannya masih bisa mencari tempat lain untuk ditambang, tetapi tidak mengusik kehidupan manusia yang berupaya melindungi alam.

Tangan Sultan segera mengangkat telepon dan menekan nomor sekretaris. Bunyi sambungan telepon terdengar beberapa saat, sebelum akhirnya disambut suara manja Alexa.

"Ya, Pak Sultan?"

"Tolong siapkan rapat bersama seluruh jajaran direksi."

"Hah? Untuk kapan, Pak?"

"Sekarang. Dan bilang bahwa rapat ini sangat penting!"

***

Getar ponsel Sultan yang tersimpan di saku jas sejak pertengahan rapat mengalihkan pikirannya. Terlebih saat ia mendapati nama yang tertera di layar adalah Fasya. Ia ingin segera mengangkat, tetapi pembahasan tentang lahan adat sedang panas-panasnya. Dari sekian banyak direksi, tak satu pun yang setuju dengan rencana penghentian pembukaan lahan itu.

"Kita bisa rugi besar."

"Tak ada waktu lagi, sebaiknya cepat diselesaikan."

"Pak Sultan tidak usah terjun langsung ke lapangan, biar kami yang bereskan."

The Beauty Regent: Love, Secret, & DangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang