Kapal bersandar di satu-satunya dermaga yang dimiliki Kabupaten Tuku. Deryl pamit karena dia masih harus mengantar wisatawan ke pulau lain sehingga mereka berpisah. Sultan menggandeng tangan Fasya yang tak sedikit pun mendapat perlawanan. Gadis itu sangat berbeda dengan Fasya yang penuh energi seperti sebelumnya yang ia temui. Kali ini ia terlihat sangat rentan dan harus dilindungi.
Kerumunan terlihat di pantai. Polisi memasang garis di tengah kerumunan itu sementara petugas medis membawa tandu yang berisi kantong mayat berwarna oranye. Para turis yang berada di sekitar sana menjerit-jerit histeris, ada pula yang menangis.
Fasya hendak melihat ke tengah kerumunan tetapi Sultan menghalangi. Tubuhnya yang lebih tinggi membuatnya terlebih dahulu melihat ke tengah keramaian itu dan tampak delapan mayat bersimbah darah terbaring di atas pasir. Lima laki-laki dan tiga perempuan. Sultan tak ingin Fasya melihat pemandangan mengerikan itu dan mengalami trauma lebih parah lagi setelah kejadian yang baru saja dia alami.
"Ada apa ini, Pak?" tanya Fasya pada seorang polisi yang menghampiri mereka.
"Ada penembakan orang tak dikenal, Ibu Fasya. Pelakunya sedang dikejar tim kami. Mereka lari dengan cepat dan hilang tiba-tiba."
"Penembakan? Astaga!" pekik Fasya dengan suara bergetar sambil menutup mulutnya. Ia berdeham, seperti menutupi ketakutannya dan menyadarkan posisi sebagai kepala daerah. "Ehm, kata Bapak tadi 'mereka'? Apa pelakunya banyak?"
"Menurut saksi mata ada dua orang. Korban ada sepuluh orang. Dua diantaranya sedang dibawa ke rumah sakit untuk otopsi. Sisanya masih ada di sini."
"Ya Tuhan!" Fasya terduduk lemas di atas pasir. Mungkin ia sudah benar-benar kehilangan kekuatan yang sejak tadi ia paksakan. Gadis itu memejamkan mata, tampak menahan perih yang tiada terkira. Sultan memeluk bahunya, berharap bisa menenangkannya.
"Sebaiknya Ibu Fasya pulang saja, biar kami yang urus di sini," ujar Pak Polisi tampak panik.
"Iya, benar kata Pak Polisi. Apalagi Fasya baru saja—"
"Iya! Baik saya akan pulang!" tukas Fasya memotong kata-kata Sultan. "Silakan Bapak lanjutkan pekerjaan. Biar saya di sini sebentar."
Polisi itu mengangguk, lalu meninggalkan mereka berdua. Sultan mengernyitkan dahi, "Kenapa kita nggak sekalian lapor kejadian tadi, Fasya?"
"Nggak, Sultan. Polisi pasti sibuk mengurus kejadian ini. Saya nggak mau menambah beban kerja mereka lagi."
"Tapi itu tugas mereka. Kamu lapor atau nggak, itu kewajiban mereka untuk menjaga masyarakat."
Fasya mendesah dalam. "Iya. Nanti saya akan lapor," ucapnya parau. Sejurus kemudian, ia menunduk dan air matanya turun lagi dengan deras. "Kenapa harus begini, sih? Kenapa harus kejadian kayak gini? Siapa yang tega ngelakuin ini?"
Sultan menyeka air mata di pipi Fasya. Ia merengkuh gadis itu dalam pelukan, meyakinkan bahwa dia ada di sini untuk melindunginya. Sebagaimana pun kuatnya Fasya, dia tetaplah seorang manusia yang pasti memiliki kerapuhan jika dihantam badai bertubi-tubi.
"Menangislah, Fasya. Kamu boleh menangis sepuasnya. Tumpahkan kemarahan kamu sampai kamu merasa lega. Aku bakal ada di sini buat kamu," bisik Sultan seraya membelai rambut Fasya.
Guncangan dada gadis itu terasa dalam pelukannya. Sultan semakin merengkuhkan lengan kekarnya sebagai cangkang kokoh yang siap melindunginya. Ia tak akan membiarkan apa pun terjadi pada Fasya. Isakan gadis itu seperti cambuk yang melukainya, membuat kemarahan turut membara di dada. Namun, ia harus tetap tenang demi menstabilkan emosi gadis itu.
Beberapa saat kemudian, Fasya melepaskan pelukan. Ia masih sesenggukan, tetapi tangisnya sudah tidak sekeras tadi. Sultan menyeka air mata di pipinya, kemudian menatapnya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beauty Regent: Love, Secret, & Danger
RomanceOPEN PO 15 - 21 November 2021 Link pemesanan ada di bio Sultan Bagaskara, Direktur Utama PT Tambang Bagaskara, ditugaskan untuk mendapatkan hati Fasya Liana Nafisha, Bupati Kabupaten Tuku yang terletak di ujung Indonesia. Dia harus bisa membuat Fasy...