20.MASA LALU

1.1K 76 39
                                    

Anya menutup mulut dengan mata memandang jijik ke atas meja belajar yang biasa di gunakan Johan sehari-hari. Di situ ada selembar kertas HVS dengan beberapa ekor cicak yang tubuhnya telah terpotong-potong cutter di sampingnya dan dari potongan-potongan itu di bentuk lagi simbol lingkaran, segitiga dan segiempat.

Yang membuat Anya mual, terdapat dua ekor bangkai cicak yang masih utuh tapi sudah mengering dengan perut yang terbelah dan isi yang di aduk-aduk oleh pensil mekanik di dalam nya.

"Kau melihat karya seni ku ?" Johan yang bertelanjang dada tersenyum bangga.

"Karya seni ?" kening Anya berkerut. "Itu menjijikan, Kak." wajah polos Anya dengan beberapa titik air yang mengalir dari rambut nya yang basah masih menampakkan raut wajah risih melirik ke arah bangkai hewan yang berjejer di atas meja.

"Kau bilang apa...?" kening Johan berkerut.

Sebelum Anya sempat membuka mulut, tangan kanan Johan sudah mencekik kuat leher kecil Anya, yang membuat gadis itu tersentak kaget dan langsung mencoba melepas cekikan tangan Johan pada lehernya.

"...Ka, Kak...??" Nafas Anya tercekat di leher. Ia mendelik ke arah Pacar tampannya yang tersenyum mengerikan menatap dan semakin kuat mencekik dirinya, sampai-sampai ia harus berjinjit karena tubuh pendeknya yang kalah tinggi dengan Johan.

Lebih nikmat dari kepuasan saat bercinta, memandang wajah Anya yang mulai memucat. Panik, dengan mulut membuka seperti ikan yang di keluarkan dari air, membuat Johan hampir terkekeh karena menurutnya itu lucu.

"...Le..pas..Kak..." air mata Anya mulai meleleh membasahi pipi dengan rambut basahnya yang tampak awut-awutan karena ia yang terus bergerak mencoba melepaskan diri.

Walaupun Johan hanya mencekiknya dengan satu tangan, tapi itu cukup untuk membuat tubuh pendek Anya terangkat dengan kaki-kakinya yang sudah berjinjit dan bergerak tak karuan.

Nafas Anya mulai satu dua, dengan putus asa ia menancapkan kuku-kuku panjangnya ke tangan Johan dan mengaruk nya.

Rasa sakit membuat Johan sadar dari buaian melihat wajah kesakitan Anya, ia segera melepas cekikannya secara tiba-tiba. Membuat tubuh gadis berambut pendek itu langsung jatuh ke lantai dan terbatuk-batuk saat udara mulai memenuhi tenggorokannya lagi.

"Maaf kan aku." dengan cepat Johan menolong Anya dan membantu nya duduk, sayang oleh Anya tangan Johan segera di tepisnya.

"APA KAU MAU MEMBUNUH KU ?!" mata Anya melotot marah pada Johan. Di elus nya leher nya yang memerah bekas cekikan dan rasa panas yang masih ia rasa.

"Maaf kan aku..." wajah Johan memelas. "Entahlah sejak kapan aku begini..." wajahnya terlihat gundah. "Kesukaan ku akan seni memang agak aneh, dan...aku nggak tahu sejak kapan aku langsung emosi begitu ada yang menghina karya ku..." Mata hitam Johan berkaca-kaca menatap ke arah gadis yang melihatnya dengan tatapan waspada.

"Itu bukan karya seni, itu menyiksa hewan dan itu menjijikan dengan Kakak yang membiarkan potongan bangkainya berserakan di atas meja, bahkan ada yang isi perutnya telah membusuk dan kering." Anya tak habis pikir.

"Tapi itu lah seni ku..." wajah Johan lagi-lagi memelas seperti anak kecil yang meminta pengertian.

Anya masih memandang risih ke arah meja yang letaknya tidak jauh dari nya terduduk di lantai dengan Johan di sampingnya.

"Kau pacarku." Johan mengelus pipi Anya dan turun ke pundaknya yang terbuka dan tubuhnya yang hanya di lilit handuk putih dari dada sampai atas paha. "Bukankah...harusnya kau mencoba memahamiku...?"

"Tapi Kakak baru saja mencekikku, dan aku hampir mati !" Anya mencoba tegas walaupun sebenarnya ia sudah kembali terpancing pada wajah tampan dan sikap manis Johan pada nya.

"...Mungkin kau nggak tahu." Johan berkata setelah terdiam beberapa saat. "Sejak aku kecil, Papa selalu memukul, mencekik dan bahkan mencambukku dengan ikat pinggang kulit nya." Johan duduk di samping Anya dan menyandarkan punggungnya pada sisi bawah ranjang.

Kini mereka berdua sama-sama duduk di lantai dalam ruangan yang temaram karena hanya mengandalkan lampu tidur lima watt yang berada di kanan dan kiri ranjang.

"Sejak aku kecil, aku selalu di jadikan sasaran amuk Papa." pandangan mata Johan mengawang. "Apa lagi...jika aku berbuat salah, Papa bisa mengurungku di gudang dan seharian aku nggak makan." ia terkekeh mengingat masa kecil nya.

"Kenapa Papa Kakak tega sekali ?" Anya mulai simpatik. "Kakak anak kandungnya kan ?" selidiknya.

Johan menoleh ke arah nya sambil tersenyum. "Akan lebih baik kalau aku anak punggut." ucap nya membuat mulut Anya sedikit membuka. "Sayangnya aku anak kandung nya." ia tertawa geli melihat ekspresi wajah wanita yang menjadi pacarnya itu. "Papa selalu menganggap aku lah yang menjadi penyebab kematian Mama."

Anya tak mengerti.

"Mama kandung kami meninggal saat melahirkan aku. Mama kami saat ini adalah Ibu Lira." Johan menerangkan sambil tersenyum.

"Jadi Kakak dan Lira..."

"Iya, aku dan Lira saudara tiri." Johan masih tersenyum.

"Ternyata Saudara tiri..." ucap Anya dalam hati. "Tapi kenapa dengan Saudara tiri Kak Johan terlihat sayang sekali..?"

"Jadi...maafkan lah aku, dan lupakan kejadian tadi." tangan Johan sudah terulur ke pipi, kemudian membingkai wajah cantiknya. "Aku meminta pengertianmu, sebagai Pacarku..." Johan sengaja melambatkan nada bicaranya saat menyebut Pacar.

Anya langsung memeluk Johan, dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang Lelaki yang hanya mengenakan celana pendeknya saja itu.

"Aku akan maafkan Kakak, tapi aku nggak mau Kakak mencekikku seperti tadi." Anya berucap tanpa melihat ke arah Johan. Kepalanya masih bersandar pada dada dan ia masih memeluk Laki-laki itu erat. "Wajah Kakak...terlihat seram, dan sesaat aku merasa jika Kakak benar-benar seperti akan membunuhku." lanjutnya.

"Oh ya ?" tanpa Anya lihat, saat ini Johan yang memeluk dan mengelus puncak kepalanya tengah tersenyum lebar, begitu lebar sampai terlihat ganjil.

"Yang penting Kakak cinta aku." Anya mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Johan yang seketika merubah ekspresi Lelaki itu menjadi lebih lembut. "Kakak cinta aku kan ?" tanya nya.

"Apa perlu aku tunjukkan lagi seberapa cinta nya aku ?" masih dengan ekspresi lembutnya Johan tersenyum dan memandang ke arah Pacar kecil nya yang hampir saja membangunkan jiwa membunuhnya.

Kedua pipi Anya merona, buka karena malu, tapi karena mau.

"Tandai semua dengan cinta Kak Johan." Anya membuka handuk nya lebar-lebar, memperlihatkan pemandangan indah milik wanita yang mestinya hanya boleh di jamah oleh satu Lelaki yang telah sah menjadi Suami.

Johan terkekeh sesaat sebelum ia menagkup kedua bukit kembarnya, meremas kemudian menghisap. Membuat Anya melenguh nikmat oleh hasrat yang berlomba-lomba memenuhi otak dan menyingkirkan akal sehat.

PSYCHOPATH LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang