12. HASRAT

2.5K 99 21
                                    

"....Ka...Kak..." Wajah laki-laki berambut cepak itu memerah, nafasnya sudah satu-satu. Berkali-kali ia menepuk-nepuk matras agar Johan menyudahi cekikan pada lehernya.

Sedetik kemudian mata Johan membulat dan melepaskan Juniornya itu yang langsung berguling dan terbatuk-batuk.

"Maaf, tadi aku melamun." Johan bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Juniornya tersebut bangkit.

"Nggak apa-apa Kak..." Lelaki berambut cepak itu berkata. Walaupun jelas sekali jika tadi ia sangat kesakitan dan hampir kehabisan nafas.

Kedua orang itu mundur dengan jarak cukup, dan membungkuk secara bersamaan sebagai tanda berakhirnya pertandingan mereka, yang kemudian di gantikan oleh pasangan tanding lain.

"Mana Rendy...?" tanya Johan sambil meminum air mineral dan menyeka keringat di pelipisnya, setelah ia sudah ada di pinggir bersama anggota Klub Judo lainnya

"Kak Rendy ijin nggak hadir, dia masih harus mengurus OSPEK MaBa." jawab salah satu anggota Klub.

"Aah..." Johan seperti baru mengingat sesuatu.

"Hari ini kan OSPEK terakhir Kak, paling Minggu depan Kak Rendy sudah aktif lagi di Klub." lanjutnya.

"Kau benar." Johan tersenyum. "Kalian lanjutkan saja latihannya, aku ada kelas sebentar lagi." Johan berkata sambil berpamitan pada yang lain dan berjalan menuju Ruang Ganti.

"Benar-benar keren Kak Johan." ucap salah satu Anggota saat Johan sudah berbelok dan tak lagi tampak.

"Banget!" ucap yang lain. "Aku masuk Klub Judo karena lihat Kak Johan bertanding Judo tahun lalu dan dapat mendali emas."

"Selain Judo, Kak Johan juga Master Tae Kwon Do dan aku dengar dia juga punya Sertifikasi MMA Tatsujin." Lelaki itu bercerita dengan sangat antusias. "Keren banget nggak sih..??" lanjutnya.

"Nggak bisa bayangin kalau Kak Johan tanding MMA, beneran bisa mati tuh lawan." ucap rekannya sambil tertawa.

"Tapi...tadi aku beneran mau mati rasanya..." Anggota Klub Judo berambut cepak yang tadi latih tanding dengan Johan berkata, membuat rekan-rekan lainnya yang saat itu duduk di dekatnya sambil menunggu giliran latihan tanding melihat ke arah nya.

"Maksudnya..?" tanya salah satu dari mereka.

"Aku benar-benar hampir kehabisan nafas saat kak Johan mencekik ku." jawab Lelaki itu sambil mengelus-elus lehernya yang masih memerah bekas cekikan lengan Seniornya tadi. "Aku sudah menepuk matras berkali-kali dan Kak Johan tetap tak melonggarkan cekikannya sedikitpun."

Semua diam mendengar, dan hanya terdengar suara bantingan dari 2 Anggota lain yang sedang bertanding, disertai suara Anggota lain yang bertindak sebagai wasit yang memberi nilai.

"Tapi...Kak Johan tadi sudah minta maaf sih dan menjelaskan kalau tadi dia melamun." ucap nya yang membuat anggota lain tertawa.

"Kalau itu sih hal biasa dalam pertandingan bela diri mana pun." ucap salah satu rekannya.

"Aku juga pernah hampir mati gara-gara di piting Senior ku, tapi dia nggak minta maaf." sambung yang lain.

Obrolan Para Anggota Junior dari Klub Judo itu masih berlangsung di iringi tawa ringan sembunyi-sembunyi agar tidak di marahi Seniornya yang lain yang berada di situ.

Johan baru saja sampai di Ruang Ganti yang sepi karena Anggota lainnya yang masih Latihan Tanding, ketika ia membuka pintu loker nya dan seseorang langsung memeluk nya dari belakang.

"Kemana kau kemarin...? Kenapa telpon ku nggak di angkat...?" ucap Sonia saat Johan sudah memutar badannya untuk melihat siapa yang memeluknya.

"Aku sibuk." jawab nya singkat, yang membuat kening Sonia berkerut dengan kedua lengannya yang masih melingkar di pinggang Johan.

"Sibuk apa...?" Di lepas lengannya pada pinggang Johan sambil memandang Lelaki dengan alis tebal dan wajah tampannya itu tak percaya.

"Kau tahu kan nilai ku harus sempurna." Johan menjawab sambil membuka baju Judogi nya dengan membelakangi Sonia.

"Memang keterlaluan Papa mu itu." Wajah Sonia berubah sengit.

Johan yang sudah bertelanjang dada terkekeh sambil mengambil handuk dari loker nya yang masih terbuka.

"Hei..." Kembali Sonia memeluk nya dari belakang. Di tempelkan pipi nya pada punggung Johan yang terbuka. "Bagaimana kalau kita racun saja Papa Brengsekmu itu...?" ucapnya yang membuat Johan langsung berbalik sambil memegangi tangannya kasar, membuat gadis itu kaget dan memandang Johan dengan mata membelalak.

Sesaat mereka saling tatap dengan Johan yang memegangi tangan kanan Sonia dengan posisi Gadis itu yang terpojok ke Loker di Ruang ganti yang hanya ada mereka berdua.

"....Ma, maaf..." Wajah Sonia menyiratkan ketakutan karena Johan hanya diam menatapnya dingin.

"....Kau benar." Suara Johan berdesir. "Aku beri saja obat yang membuat ginjal nya lemah..." Ia tersenyum amat lebar. "Kenapa aku nggak kepikiran hal itu...?" Ia tertawa geli, dan meskipun wajahnya teramat sangat tampan, namun tawa geli nya itu membuat ekspresi wajahnya terlihat mengerikan.

Sonia yang awalnya takut salah bicara, ikut tersenyum. "Aku nggak mau kau kesusahan terus karena orang tua itu." Ia menjulurkan lengannya pada bahu Johan. "Jadi ayo singkirkan dia." ucap nya ringan tanpa perasaan.

"Wanitaku..." Johan membungkukkan badannya. Memeluk, kemudian mencium bibir Sonia dan mendorong Gadis itu ke Ruang bilas yang banyak berjajar di Ruang Ganti tersebut.

Tak berapa lama sudah terdengar suara erangan dan desah mengairahkan dari ruang sempit yang hanya terdapat shower di atas nya.

Sonia dengan posisi agak membungkuk, dengan kedua tangan yang berpegangan pada tembok, sementara Johan menyingkap rok mini nya dan berkali-kali memasukinya dari belakang.

Gerakanya sangat kasar, air mata Sonia sampai meleleh di ujung-ujung matanya tiap kali Johan menghentak miliknya dengan begitu kuat dan tanpa henti.

Tapi wanita berambut panjang tersebut tidak mencoba protes atau menghentikan aksi gila Johan padanya.

Ia hanya mendesah-desah, dengan sesekali ia mengigit bibir bawahnya saat suaranya makin mengeras.

Wajahnya semakin memerah dengan kening yang berkeringat. "....Joo..." ia memanggil Johan di antara nafasnya yang hampir putus dan kedua kakinya yang gemetar.

"Sebentar lagi...tahan sebentar lagi..." Bisik Johan di belakang telingannya. "Aku akan melakukannya dengan cepat, sebelum yang lain datang..." Suara nya terdengar begitu berat dengan nafas yang terengah.

Di peganginya kedua lengan Sonia dari belakang dan di tegakkan tubuh wanita itu, seketika Sonia menjerit dengan suara desahnya yang makin kencang tiap kali Johan menghujam milik nya dari belakang.

Sementara itu di pinggir Lapangan sepak bola yang menjadi tempat berkumpulnya kegiatan OSPEK.

"Kak Rendy." panggil Lira saat ia sudah berada di dekat laki-laki berkaos putih yang di rangkap seragam Almamater warna biru.

"Hai Lira, ada apa..?" tanya nya ramah.

" Eemm...anu Kak.." Lira terlihat ragu, ia menunduk dengan wajah memerah.

"Ada apa..? tanya saja." Ia tersenyum. Siang yang terik membuat mata lelaki itu menyipit.

"...Kak Andreas...kenapa nggak masuk..??" akhirnya ia bertanya. Sebenarnya Lira malu untuk menanyakan hal ini, tapi karena ia tidak tahu lagi harus bertanya pada siapa. Akhirnya ia membuang jauh-jauh rasa malu nya tersebut.

"Ah, iya..." Wajah Rendy terlihat menyesal. " Tuan Muda...ah tidak maksudku... Andre...sedang tidak enak badan." ucapnya.

"Oh...begitu yaa...??" Meskipun tak percaya, namun Lira tak berusaha untuk bertanya lagi. Ia segera berlalu setelah mengucap kan terima kasih pada Seniornya tersebut.

"Untuk apa Adik Kak Johan menanyakan Tuan Muda..??" gumam Rendy sambil melihat punggung Lira yang berjalan menjauh. "Tidak mungkin kan aku bilang kalau Tuan muda tidan masuk Kuliah karena semalam habis mabuk-mabukan...??" ia menghela nafas panjang, kemudian ikut bergabung bersama Panitia OSPEK yang lain.








PSYCHOPATH LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang