11.INSTING

1.4K 90 9
                                    

Seperti yang sudah Johan duga, pagi harinya Ayahnya telah heboh melihat sangkar burung Jalak Bali nya yang telah kosong.

"Kalau kau tidak lupa mengunci nya, kenapa pintu kandang bisa terbuka dan burug itu hilang ?!" Wajah Aji merah padam dengan mata melotot memarahi Pelayan Laki-laki yang bertugas mengurus burung-burung kesayangannya.

"Ta, tapi saya benar-benar sudah menutup nya Tuan..." Lelaki berperawakan kecil itu berkata takut-takut.

"Alasan !" bentak Aji makin emosi.

"Maaf kan saya Tuan..." Pelayan itu langsung menunduk memohon. Ia sangat takut jika seandainya Tuan nya itu meminta ganti rugi atas hilang nya Burung seharga jutaan rupiah itu.

Johan yang sedang duduk di meja makan bersama Lira dan Ibu tirinya itu makan dengan santai, seolah apa yang kini ia dengar tak ada hubungannya dengan tindaknya semalam.

"Kasihan Pak Tedjo, dia sudah ikut kita lama..." Lira berkata dengan raut wajah memelas ketika di dengarnya suara Ayahnya yang keras dan sarat akan emosi.

"Memang kasihan, tapi dia benar-benar ceroboh." Liana yang duduk di seberang meja berkata. "Dia di beri kepercayaan mengurus Burung-burung Kesayangan Papa mu, tapi malah bisa-bisa nya ada yang lepas." ucap nya sambil mengelap ujung bibir nya dengan tisu makan.

"Apa Mama nanti juga akan ikut Papa lagi dalam perjalan bisnis...?" tanya Johan mengalihkan pembahasan mengenai Burung yang hilang karena kecerobohan Pengawainya.

Fokus Liana segera teralihkan ke anak tiri nya yang sedang menyantap sarapannya dengan tenang di ujung meja makan.

"Kau tahu Jo, Mama tidak bisa membiarkan Papa mu sendirian di Negeri orang dalam waktu lama." Wanita berusia 47 tahun itu tersenyum penuh arti.

Johan terkekeh mendengarnya. "Perjalan bisnis jadi seperti bulan madu, iyakan Mah...?" Johan balas tersenyum lalu meminum air putih nya. "Yah...lebih baik kalian pergi dari dunia ku dan Lira..." diam-diam ia berucap dalam hati.

Liana tertawa mendengar gurauan anak tirinya tersebut. "Kau juga cari lah pacar Jo, " ia berkata. "Jangan terlalu pemilih, nanti tahu-tahu kau sudah tua dan tidak ada yang menyukai mu lagi." lanjutnya dengan nada bercanda.

Johan tertawa terbahak mendengarnya. "Aku nggak suka terikat pada seseorang Mah." Johan berkata setelah berhenti tertawa. "...Tapi aku suka mengikat seseorang." Kembali ia berkata, namun dengan suara yang dalam dan lebih seperti bisikan.

"Tapi aku yakin, kau akan seperti Papa mu." ucap nya. "Semakin tua, tapi semakin  tampan." Liana terkekeh sambil menutup mulutnya.

Wanita 47 tahun yang pagi ini terlihat cantik dengan rambut nya yang di sanggul sederhana itu, rupanya tidak menyadari perubahan raut wajah dan nada suara dari anak Tirinya tersebut.

Lira yang masih diam menikmati sarapannya mendadak jadi teringat pesan Anya saat mendengar percakapan Ibu dan Kakak Tiri nya tersebut.

"Hampir lupa kalau Anya meminta ku untuk mendekatkannya pada Kakak..." ia melirik ke arah Johan yang masih asik bercanda dengan Ibu nya.

"Sepertinya Papa akan lama meratapi hilangnya salah satu koleksi Burungnya sampai beliau lupa dengan sarapannya." Johan sudah mencangklongkan tas ransel nya. "Dan aku nggak bisa memunggu karena ada latihan pagi di Kampus." ia tersenyum kepada Ibu Tiri nya tersebut.

Lira terkejut mendengarnya. "Bareng Kak !" ucap nya sambil bangkit dari duduk nya. "Tunggu, aku ambil tas dulu !" Tanpa menunggu persetujuan Johan, gadis berambut panjang bergelombang itu sudah berlari menuju Kamarnya.

"Anak itu...kenapa tadi tas nya tidak di bawa sekalian...?" Liana berkata sambil mengeleng-ngelengkan kepalanya melihat tingkah Putrinya tersebut.

"Aku akan menunggunya sambil memanaskan mobil." Kata-kata Johan seperti di tunjukkan pada Ibu Tirinya yang masih duduk di meja makan, tapi pandangan Johan terarah pada punggung Adik tirinya sampai ia berbelok di ujung ruang.

PSYCHOPATH LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang