CHAPTER 4

127 21 2
                                    

Ibu kos yang sedang menyapu teras terheran-heran. Melihat anak gadis yang datang dengan lunglai bersama sebungkus sate di tangannya. Rambutnya terlihat lepek karena air hujan. Sepatu putih kesayangannya yang biasa bersih, kini kotor karena tanah becek yang ia injak. Dulu, ia rela jalan kaki, nyeker agar sepatunya tidak kotor.

"Pasya, tumben sepatunya gak dimasukin tas?" tanya Ibu Kos dengan nada judesnya.

"Males, Bu. Di tas saya udah banyak bebannya," jawab Tafasya.

Banyak bebannya? Dipenglihatan Ibu Kos, totebag itu hanya berisi selembar buku, dompet, ponsel, dan kabel charger. Tafasya kemudian duduk di teras, merenung dan melipat lututnya. Matanya memandangi rumput gajah yang basah karena air hujan.

"Hedeh, hujan turun, kenangan masa lalu jadi turun juga. Nostagila dah, tuh," ucap Ibu Kos dengan nada julidnya.

"Nos-tal-gi-a, Bu," jawab Tafasya dengan penekanan.

"Kamu tuh, ya. Dikit-dikit galau, dikit-dikit galau, galau kok dikit-dikit," julid Ibu Kos lagi yang hendak melawak mencoba menghibur Tafasya.

"Lah ngatur," jawah Tafasya tak kalah julid.

"Sana masuk, ntar masuk angin. Mandi, keramas, gosok gigi, makan tuh sate. Jangan makan cinta mulu, mati karena cinta baru tau rasa."

"Bacot banget ya Allah," jawab Tafasya dalam hati.

Bosan mendengar omelan Ibu Kos, Tafasya memilih masuk dan mengurungkan niatnya merenung sambil meratapi nasibnya. Ia memasuki kamar berwarna hijau. Ruangan ini terlihat sempit dan menyesakkan. Tiba-tiba saja, otaknya memutar kembali rekaman yang terjadi saat siang tadi.

flashback

Adnan memilih menghampiri Jihan. Ia tiba-tiba lupa dengan kekasihnya. Mereka terlihat sangat dekat dan akrab. Heran, sejak kapan Adnan bisa sedekat ini dengan perempuan lain.

"Kamu gak ajak pacar kamu kesini?" tanya Jihan.

Baru saja Adnan membalikkan badannya, gadis itu tiba-tiba menghilang.

"Dia.. sakit perut katanya. Gak jadi makan disini," jawab Adnan.

"Oo gitu, cepet sembuh ya pacar kamu," jawab Jihan.

Mereka berdua memesan nasi pecel. Adnan dan Tafasya sangat menyukai nasi pecel. Jihan sedikit menunduk dan menyendok makanan. Matanya sekilas melihat tulisan tangan di atas meja, yang menandakan ini adalah tempat duduk favorit Adnan dan Tafasya.

"Bucin," cibirnya dalam hati.

"Dia itu bucin banget ya sama kamu?" tanya Jihan kepo.

Adnan tersenyum dan mengangguk. Ia sangat senang jika ada pertanyaan menyangkut gadis kecilnya. Tafasya adalah kesayangannya. Seorang gadis sekuat baja dan selangka berlian. Anak perantauan, anak perempuan pertama yang bahunya sangat kuat melebihi kayu jati. Ia mampu menjadi tempat bersandar siapa saja. Sifatnya yang ramah dan ceria, mampu membuat siapa saja tersenyum.

"Dia itu support sistem saya, satu-satunya yang saya cintai," jawab Adnan.

"Dia bucin, tapi saya gaakan pernah nyia-nyain dia lagi. Dulu, saya sempat ninggalin dia, tapi saya kembali lagi dan dia menerima."

"Bucin sama bodoh beda tipis, ya," cibir Jihan di dalam hatinya lagi.

"Kamu ninggalin dia karena apa?" tanya Jihan.

"Waktu itu, saya sibuk kuliah-kerja. Saya pikir, saya gapunya waktu lagi buat dia," jawab Adnan.

Adnan dan Jihan bertukar banyak cerita pada hari itu. Entah apa yang mengikat keduanya hingga rela berbagi rahasia, apa saja.

flashback off

Sore menjelang malam yang panjang bagi Tafasya.
Ia terlelap dalam lelahnya. Menyelami segala bentuk overthinkingnya, tanpa memakan sesuap nasi, ia hanya memakan hati. Pikirannya kacau, terbakar api cemburu, terurai oleh rasa penasaran yang tidak bisa diungkapkan oleh lisan. Ia berharap, Adnan memahami tatapan matanya. Tatapan memelas, penuh dengan pertanyaan dan harap.

"Pria itu diciptakan Tuhan, dengan pikiran yang hanya bisa fokus pada satu objek. Kalau dia mengerjakan A, dia gak  akan mikirin B. Berbeda dengan perempuan. Sambil masak aja masih bisa mikirin cucian udah diangkat atau belum."

***

"Ayah, baju princess  Ara kemarin kemana ya?" tanya Ara yang masih berbalut handuk.

"Baju Captain America  Aby kemana juga ya, Yah?" tanya Aby sambil melempar-lemparkan bajunya.

Kelakuan kedua anaknya membuat ia menghela nafas berat. Memaksakan bibir tipisnya tersenyum di depan mereka. Abrisam bergerak sedikit lunglai, mengambil baju princess dan captain America milik mereka.

"Ayah, Ara mau makan telur dadar," pinta Ara.

"Ara, kamu minta ayah satu-satu dong, kasian ayah tau," sela sang kakak, Aby.

Ia terlalu lelah. Mengurus kuliahnya, mengurus rumah dan kedua buah hatinya. Terkadang, ia ingin segera menikah. Namun, bayangan masa perihal ditinggalkan lalu terus menghantuinya. Torehan luka yang cukup dalam dan perih, membuatnya enggan membuka hati. Ia calon dokter, tapi bukan dokter cinta. Siapa sangka, dokter cintanya nanti hanyalah wanita biasa dan sederhana.

Hai, akhirnya updaten lagi nih! Maaf ya baru update lagi karena kebanjiran.

Dukung terus cerita ini dengan cara klik follow, vote and comment ya💕 i love you <3

Naik Tahta [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang