CHAPTER 6

129 25 2
                                    

Abrisam tersenyum sambil berbincang dengan para bapak-bapak komplek selepas sholat maghrib di musholla. Ia terkekeh-kekeh menikmati jokes ala bapak-bapak.

"Pak, burung apa yang selalu menolak?" tanya tetangga depannya.

"Burung apa, Pak?" tanya tetangga sebelah lagi.

"Burung gak gak," jawab Bapak tersebut sambil tertawa.

Saat sampai di depan rumah masing-masing, mereka pun berpamitan, hingga tersisa Abrisam. Ia tersenyum, setidaknya hari ini terhibur dengan candaan bapak-bapak yang kadang tak masuk akal. Dengan senang hati, ia menuju rumah membayangkan makan malam yang disiapkan istrinya.

Keningnya berkerut dan alisnya tiba-tiba menyatu karena heran. Dari kejauhan, seorang laki-laki menjijitkan kakinya mengintip rumahnya. Abrisam bergegas menghampiri karena merasa takut kalau-kalau laki-laki itu membahayakan keluarga kecilnya.

Laki-laki itu perlahan membuka pagar rumah Abrisam. Dengan sigap, tangan Abrisam menahan pagarnya.

"Saha anjeun?"  tanya Abrisam dengan bahasa Sundanya.

"Ngapain disini? Ada keperluan apa?" tanya Abrisam lagi.

"Saya mau ketemu Tafasya," jawabnya.

"Kamu siapanya?" tanya Abrisam lagi.

"Mantan."

Deg.

Ternyata laki-laki itu adalah Adnan. Mantan pacar Tafasya yang dulu pernah diagung-agungkan oleh sang puan namun ternyata berselingkuh dengan si penggoda, Jihan. Pernah diberi kesempatan kedua namun menyia-nyiakan dan berujung pada penyesalan.

Ia berniat menemui Tafasya sekedar ingin melihat wajah sang gadis yang dapat menenangkan gejolak batinnya. Dari mata turun ke hati, mata sang gadis selalu dapat menenangkan hatinya yang sedang dilanda badai kehidupan. Dahulu, yang patah tumbuh kembali. Sekarang, yang patah tak akan kembali karena sudah terlanjur pergi.

Abrisam mempersilakan Adnan duduk di teras sederhana. Rumah yang tidak terlalu besar namun cukup untuk keluarga kecil yang hangat. Dari dalam, terdengar gelak tawa anak kecil yang sangat bahagia. Cukup, ini semakin membuat Adnan menyesal membiarkan sebongkah berlian pergi begitu saja tanpa memperjuangkannya.

"Sya," panggil Abrisam.

"Iyaa Mas," jawab Tafasya sedikit keras dari dalam.

Di sisi lain, Abrisam menahan gejolak api cemburu yang kian membara. Ia berusaha menahan rasa kesal di hatinya dan tetap tenang seolah rela istrinya bertemu kembali dengan masa lalunya.

"Ada Adnan di luar, mau ketemu kamu," ucapnya singkat.

"A-adnan?" tanya Tafasya tergagap.

"Mas izinin dia masuk buat ketemu aku?"

"Iya, kasian."

Suasana rumah tiba-tiba menjadi hening dan sunyi. Ada yang tertahan tapi bukan rindu, ada yang ingin meledak namun bukan api. Aura bersitegang benar-benar terasa dan lampu rumah seolah meredup. Tafasya menetralkan jantungnya yang ingin meloncat keluar dan berusaha tenang untuk menemui Adnan.

Baru saja Tafasya melangkahkan kakinya melewati batas pintu, Adnan langsung berdiri dan menatap gadis yang kini sudah milik orang lain. Dadanya semakin sesak, bernafas pun sulit. Rasanya ingin sekali memeluk gadis yang ada di hadapannya ini. Apalah daya, ia hanya bisa menahan segala kerinduan yang ada.

Adnan merindu dan Tafasya membisu. Sebuah ingatan buruk mulai berjalan lagi di memorinya. Sebuah peristiwa yang tidak pernah ia bayangkan, tiba-tiba terjadi begitu saja. Kala itu, Adnan tiba-tiba berencana keluar kota dan menetap. Aneh, ia sudah merantau dan memilih merantau lagi. Tapi, siapa yang mengira dia berani jujur atas penghianatannya.

"Kamu ingat kan? Cinta itu bisa berpindah namun, rasa sayang itu tetap pada tempatnya."

Tafasya, seorang gadis yang dikaruniai Tuhan dengan pemahaman yang luar biasa. Mendengar kalimat itu saja, ia mampu memahami apa makna tersembunyi di baliknya.

"Iya? Terus cinta Mas berpindah kemana?"

"Aku boleh liat orangnya?"

"Cinta Mas berpindah ke Jihan."

"Kamu sehat?"

Suara Adnan membuyarkan lamunan Tafasya. Matanya menatap laki-laki itu dengan datar dan mengangguk. Adnan menghela nafasnya dan menunduk. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana dan tidak berani menatap Tafasya. Di sisi lain, Abrisam duduk di sofa yang berada di dekat jendela teras. Memejamkan mata sembari menguping percakapan dua insan yang pernah membiru dan kini membisu.

"Saya lagi menikmati penyesalan," ucap Adnan.

"Dulu, saya cuma merasa bosan dan memilih melepas kamu. Lama kelamaan, saya sadar. Ternyata yang saya lepaskan adalah perempuan yang mencintai saya dengan cara yang terbaik."

"Kamu, orang yang melengkapi saya dan tidak pernah protes tentang kekurangan saya. Saat bersama kamu, saya merasa sempurna. Sekarang, saya bukan apa-apa."

Curahan hati seorang Adnan yang telah lama terkubur, kini bisa bangkit. Ia menatap gadis yang hanya diam tanpa reaksi apapun. Bagi siapapun yang melihat mata Adnan sekarang bisa merasakan betapa menyesalnya ia melepaskan Tafasya. Tangannya dengan lancang hendak merapikan rambut gadis itu, tetapi batal karena Tafasya memalingkan wajahnya.

"Jangan sentuh saya," ucap Tafasya dengan suara yang sedikit bergetar.

"Kenapa? Saya butuh pelukan kamu untuk semangat hidup saya," jawab Adnan dengan suara yang nyaris menghilang.

"Apa kamu pernah memeluk saya saat saya butuh kamu waktu itu?"

Suara Tafasya sedikit bergetar. Nafasnya tiba-tiba tak beraturan dan sedikit memburu. Tidak ada yang bisa menyembuhkan rasa sesak akibat penghianatan. Seribu kebahagiaan tidak mampu menutupi pedihnya penghianatan di atas kesetiaan.

Antologi rasa kupersembahkan.
Pada siapapun yang tak sanggup menahan perasaan.
Lelahnya menanggung kerinduan
Pedihnya setia berujung penghianatan

Suara Tafasya yang bergetar merasuki telinga Abrisam yang tengah khidmat mendengar perdebatan yang tak berujung hanya karena rindu semata. Matanya tiba-tiba menyala, memastikan istrinya untuk tetap baik-baik saja. Ia sedikit menilik di balik tirai yang tertutup. Istrinya tidak baik-baik saja.

"Kamu marah sama saya?"

"Saya gak marah, tapi memilih untuk menyerah dan ikhlas," jawab Tafasya dengan senyumannya.

"Kamu gak menyesal?"

"Saya gak pernah menyesal, karena saya sudah pernah berjuang sehabis-habisnya."

Benar. Tafasya sudah berjuang sehabis-habisnya. Memaafkan dan memberi kesempatan kedua bukanlah hal yang mudah. Dan bodohnya, Adnan menyia-nyiakan hati emas Tafasya. Adnan, lihatlah. Ini cara waktu membalas semua penghianatanmu. Lihatlah bagaimana semesta membalas semua perbuatanmu. Apa sudah cukup menyesalmu?

Aku percaya dengan sang waktu.

Naik Tahta [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang