Bagian 1

144 10 0
                                    

Meninggalkan masalah adalah tindakan pengecut

Menghadapi masalah setidaknya dunia tahu bahwa kau adalah petarung

-Putri Reykhani


***

Satu dari setiap jengkal kesalahan dalam hidupku yang tidak dapat kulupakan adalah kegagalanku dalam waktu tiga tahun terakhir. Kesalahanku saat itu benar-benar sangat fatal. Aku bahkan tidak bisa meninggalkan bayangan kenangan itu dengan baik. Alih-alih meninggalkannya, itu terus menembus melewati lembaran memori dalam benakku. Aku tersiksa oleh tindakanku sendiri. Namun, kali ini aku memaksa diriku untuk tidak lari dan menyerah. Aku akan mengerahkan segala upaya agar semua itu bisa kuatasi. Termasuk mencarinya ke ujung dunia, aku rela.

Malam semakin larut. Jubah angkasa semakin kelam. Tidak ada basuhan cahaya bulan malam ini. Aku berjalan menyusuri trotoar dengan kaki yang pegal. Sesekali menggaruk lengan dan leher karena gatal oleh gigitan nyamuk. Aku sudah menggunakan pakaian tertutup, bahkan sangat tertutup. Hanya tidak memakai jaket, sweater, atau sejenisnya saja. Apa daya aku masih harus mengalami digigit oleh pasukan nyamuk.

Aku menepi sebentar di sebuah miniswalayan untuk membeli air mineral dan beberapa kudapan. Petugas kasir yang tengah berjaga malam menyambutku dengan senyuman manis dan sapaan hangat (seperti biasanya). Aku tersenyum. Lantas membawa kakiku menuju rak minuman. Kuambil satu botol air mineral ukuran paling besar. Kupeluk air mineral itu sambil menyusuri rak lainnya. Aku mencari mi instan.

Ketika tanganku hampir saja menyentuh mi instan, aku teringat padanya lagi. Dia selalu melarangku memakan mi instan. Sial. Seharusnya jika dia peduli padaku, dia tidak merepotkanku dengan sikapnya selama dua bulan ini. Aku urung, meninggalkan rak penuh mi instan itu lantas mengambil beberapa bungkus roti. Membawa belanjaanku ke kasir. Membayarnya. Lantas menikmatinya di kursi yang tersedia di depan miniswalayan.

Aku seperti manusia kelaparan sejak lahir. Mencari seseorang yang bahkan aku tidak tahu di mana keberadaannya, memang membuatku kelelahan. Menyusuri tempat-tempat yang berpotensi disinggahinya malam hari. Sambil terus mengunyah roti ketiga, otakku berpikir keras. Saking kerasnya, hingga aku teringat ucapannya beberapa waktu yang lalu. Katanya, "Jika aku tiba-tiba menghilang, jangan cemas. Aku hanya ada di tiga tempat. Kalau bukan kelab, arena, maka puncak."

Oh, sial. Aku melemparkan bungkus roti ketigaku dengan sembarang ke atas meja. Sambil terus mengunyah sisa roti di dalam mulutku, aku memaki ingatan itu. Tempat terakhir itu tentu mustahil. Mana mungkin aku harus mencarinya ke puncak gunung malam hari begini? Ini sudah hampir tengah malam. Tepatnya, ini jam 23.25.

Aku meneguk air mineral berukuran paling besar itu hingga habis separuhnya. Lantas bertekad mencarinya ke dua tempat yang berpotensi dia singgahi. Pertama, aku akan mencarinya ke tempat yang penuh kebisingan itu. Ya, kelab. Namun, ketika aku telah sampai di tepi jalan, aku kembali ke dalam miniswalayan untuk ikut ke toilet. Ternyata minum banyak membuatku harus mengeluarkannya lagi.

***

Aku tiba di sebuah tempat yang bahkan seumur hidupku baru kali ini aku mendatanginya. Setelah mencarinya di internet, bertanya-tanya kepada petugas kasir di miniswalayan, akhirnya aku tiba di tempat mengerikan ini. Ya, kelab (malam).

"Aku bersumpah, jika kutemukan dia di sini, aku tak segan untuk menariknya keluar dengan paksa." Aku bergumam di depan pintu masuk kelab. Menarik napas panjang. Meyakinkan diri. Lantas melangkah mantap memasuki tempat aneh ini.

Oh, sial. Benar-benar bising di dalam. Kulihat beberapa lelaki tengah duduk dikelilingi wanita-wanita malam. Beberapa di antara wanita-wanita itu ada yang sengaja membuka kancing pakaiannya bagian atas, memperlihatkan isi dadanya. Kulayangkan pandangan ke setiap sudut tempat. Menyapukan pandangan ke meja bar. Dia tidak sedang memesan atau menikmati minuman. Bagus, setidaknya dia tidak mabuk.

Renjana dan Langit MaretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang