Bab 28

35.8K 7.9K 477
                                    

Seza terpaku di tempatnya berdiri, tubuhnya serasa membeku karena pelukan hangat yang diberikan oleh Deva. Pelukan itu tidak lama seperti harapannya, karena Deva langsung melepaskan Seza lalu tersenyum pada perempuan itu. "Sukses ya. Kapan-kapan saya main ke Bandung."

Seza hanya bisa mengangguk. Entah kenapa dia merasakan air mata yang ingin mengucur deras, tetapi sekuat tenaga ditahannya. Berat rasanya meninggalkan Deva, laki-laki baik yang sudah mencuri hatinya. "Saya pamit, Dok."

Deva mengiyakan. "Take care."

"Dokter juga. Tolong usahain makan-makanan sehat, ya."

"Hmm... agak susah, koki pribadi saya udah nggak ada," candanya.

Seza hanya bisa tersenyum tipis. Lalu benar-benar meninggalkan Deva. Laki-laki itu bahkan mengantarnya hingga masuk ke mobil, melambaikan tangannya pada Seza untuk terakhir kali. Seza yang menjalankan mobilnya menjauh dari rumah Deva akhirnya tidak bisa menahan air matanya lagi. Tangisnya pecah. Hari ini, ia menjauh dari cinta pertamanya.

*****

"Yakin cukup bawa baju segini aja?" tanya Ibu Seza yang sedang membantunya mengepak pakaian.

"Cukup kok, Bu. Nanti kan balik ke sini juga."

Ibunya mengangguk. Hubungan Seza dan ibunya sudah membaik, Seza sangat mensyukurinya karena tidak enak rasanya harus saling mendiamkan dengan ibu sendiri.

"Kamu jaga diri di sana. Apalagi lagi covid begini, harus ekstra jaga diri."

"Iya, Bu. Tenang. Lambda tuh salah satu restoran yang ketat banget protokol kesehatannya."

"Jujur Ibu tuh ngeri ngelepas kamu, Za. Apalagi ini pertama kali kamu jauh dari Ibu."

Seza menggeser tubuhnya untuk memeluk sang ibu. "Ibu tenang aja, Seza akan jaga diri. Ibu sama Salma sehat-sehat juga ya di sini." Sebenarnya berat juga bagi Seza untuk meninggalkan rumah, tetapi demi pekerjaan dia harus melakukannya, apalagi ia diterima di salah satu restoran yang bagus. Tentu Seza tidak akan menyiakan kesempatan ini.

Rasanya Seza malu kalau masih harus mengeluh kepada Tuhan, harus diakuinya selama empat bulan menjadi pengangguran adalah saat-saat yang tidak mudah untuk dilewati, tetapi buktinya dia mampu lepas dari itu semua. Tuhan memberikannya pintu rezeki lain, ia bisa bertemu dengan Deva dan bekerja dengan laki-laki itu, walaupun dengan risiko jatuh cinta.

*****

Seminggu sudah Seza bekerja di Lambda, dan menurut Seza tempat ini sungguh luar biasa, tidak kalah dengan restoran di hotel bintang lima tempat ia bekerja dulu. Apalagi Seza juga bisa belajar dari chef lain di sini. Seza memang masih menjadi asisten Chef, tetapi untuk saat ini itu sudah cukup.

Seminggu ini yang diperhatikan Seza adalah beberapa kali Gamma turun langsung ke dapur untuk membuatkan menu makanan. Atau atasannya itu akan pergi ke dapur pribadinya yang ada di belakang Lambda, biasanya dia akan membuat makanan khusus untuk istri dan anaknya di sana.

Family man! Hampir semua pekerja di sini selalu membicarakan betapa Gamma menyayangi keluarganya itu. "Chef Gamma tuh bucin banget sama istrinya," ucap Ayu, salah satu pelayan di sini pada Seza.

"Ya bagus dong. Kata orang nggak papa bucin sama orang yang bucinin kita balik," jawab Seza.

Ayu berpikir sejenak lalu mengangguk. "Iya sih, bener juga."

Seza juga pernah bertemu dengan istri Gamma beberapa kali, perempuan itu mengenakan masker, tapi dari tatapan matanya yang ramah, Seza tahu sekali kalau perempuan itu cantik. Oh ya, Seza juga sempat bertemu dengan seorang remaja yang kata orang-orang di sini adalah putri Gamma, awalnya Seza tidak percaya, apa mungkin Chef itu memilik putri yang sudah remaja. Namun, dia yang orang baru ini tidak mau banyak bertanya tentang kehidupan pribadi atasannya, terlalu riskan.

****

Seza membaringkan tubuhnya di kasur kosan. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Seza memeriksa ponselnya sebelum memutuskan untuk tidur. Sudah berjalan lebih dari seminggu tetapi Seza masih sering membuka ruang obrolannya dengan Deva, kemudian membaca ulang pesan-pesan lama mereka.

Anggap ia masokis karena menyiksa diri sendiri seperti ini. Tetapi entah kenapa setelah melihat pesan-pesan itu Seza baru bisa tertidur. Kadang ia berpikir bagaimana caranya bisa melupakan sang dokter kalau sikapnya masih seperti ini.

"Tumben Pak dokter bikin status," gumamnya. Seza membuka status WhatsApp Deva. Di sana ada foto Deva yang sedang mengenakan APD lengkap, kemudian tertulis kata.

Kangen juga kerja nggak pake baju begini.

Seza tahu betapa tidak nyamannya pakaian itu. Namun harus bagaimana lagi? Covid-19 ini tidak serta merta bisa hilang dalam sehari dari bumi. Malah menurut berita yang ia baca, virus ini terus bermutasi. Entah berapa tahun lagi manusia bisa hidup normal seperti dulu.

Deva : Apa kabar, Za?

Pesan itu masuk begitu saja ke ponselnya. Saking kagetnya hampir saja Seza menjatuhkan ponsel itu tepat di wajahnya, untuk tangannya lebih sigap, kalau tidak hidungnya sudah jadi korban.

Seza memilih mengabaikan pesan itu. Ia menaruh ponselnya di atas nakas, lalu ia sendiri memilih tidur. Beberapa menit kemudian ternyata ponselnya bergetar. Ada nama Deva yang menari-nari di layarnya. Jantung Seza berdetak tak keruan. Niat hati ingin mengabaikan panggilan itu, tetapi iblis dalam hatinya mengatakan kalau ia rindu suara Deva.

Karena Seza terlalu lemah, ia mengangkat panggilan itu. "Ha-halo," sapanya.

"Udah tidur ya?"

Lagi-lagi iblis dalam diri Seza berteriak girang, alangkah ia merindukan suara serak laki-laki itu! "Baru mau tidur sih," jawabnya.

"Oh. Gimana kerja di sana? Aman? Lancar?"

"Aman dan lancar."

"Seneng dong?"

"Hm."

"Bagus deh."

Seza berdehem lalu bertanya. "Kalau dokter? Apa kabar?"

"Buruk."

"Hah? Kenapa?" tanyanya khawatir.

"Nggak ada temen ngobrol lagi, saya juga kehilangan koki. Seminggu ini temen saya cuma Indomie, kadang goreng, kadang kuah."

"Dokteeeerrr!!! Saya kan udah bilang makannya yang sehat dong."

"Ya gimana kamunya berhenti kerja."

"Ya beli kek, apa kek. Ikut katering aja sih, Dok," saran Seza. Membayangkan laki-laki itu harus makan mie instan setiap hari, sedangkan di saat-saat sekarang harusnya menjaga diri dengan makanan yang bergizi, membuat Seza jadi sedih.

"Males ah, katering biasanya nggak ada rasa."

"Dokter tuh gimana sih!" Seza kemudian melanjutkan ocehannya mengenai pentingnya mengkonsumi makanan yang sehat, apalagi dia seorang dokter. Dan sepertinya Deva senang-senang saja mendengar omelan Seza itu.

"Kangen juga sama ocehan kamu."

"Eh?"

"Kamu udah berhenti ngomel semenjak kejadian Monika waktu itu. Saya kangen kamu yang berisik dan perhatian kayak gini, Za."

Seza menggigit bibir bawahnya. "Dokter tahu nggak alasan saya bukan karena Mbak Monika," ucapnya tiba-tiba.

"Terus?"

Seza memejamkan matanya. Ngomong aja, Za. Toh lo nggak akan ketemu dia lagi.

"Saya..."

Belum sempat Seza melanjutkan ucapannya, perempuan itu mendengar ada yang menjatuhkan sesuatu di depan pintu kontrakannya. Seketika itu juga Seza langsung berjalan ke jendela dan melihat keluar. Walaupun hanya siluet Seza bisa melihat seorang laki-laki mengenakan hoodie yang berlari menjauh dari kontrakannya. Entah kenapa Seza familier dengan potongan rambut dan tubuh laki-laki itu.

"Za? Kamu nggak papa?" tanya Deva yang khawatir di seberang sana.

*****

Sorry ya lama. Banyak yang harus dikerjain. Hehe. Btw, jangan lupa nabung sebentar lagi kita akan PO novelnya Gamma, Di Penghujung 31. Info selengkapnya silakan ke Instagram Alnira_03

Happy reading...

Gara-gara Corona (TERBIT DI GOOGLE PLAYBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang