Bab 14

35.4K 8.2K 1.1K
                                    

Merangkap menjadi koki untuk Deva, tentu saja tawaran yang menggiurkan. Seza bisa mendapat tambahan gaji, juga bisa mengobati kerinduannya pada dunia memasak. Namun kenapa harus jadi partner makan sih? Artinya dia akan pulang lebih lama nanti. Belum lagi apa Seza sanggup makan di depan Deva? Kalau duduk berhadapan seperti ini saja jantungnya dag-dig-dug tak keruan.

Deva tampan seperti yang diceritakan Indri, bukan tampan khas orang bule atau orang Korea. Namun tampan khas Indonesia, kulitnya kecokelatan, hidungnya mancung, alisnya tebal, dan senyumannya itu benar-benar memikat, tubuhnya memang bukan seperti atlet, tetapi cukup bugar. Heran ya, padahal laki-laki ini suka makan-makanan yang tidak sehat. Apa Deva sempat melakukan olahraga rutin? Mengingat ada ruangan di lantai atas yang berisi treadmill, sepeda statis dan juga barbel. Seza pernah membersihkannya beberapa kali.

"Jadi gimana, Za?" tanya Deva yang sejak tadi memerhatikan Seza yang masih memikirkan tawarannya.

"Harus banget ya nemenin makan?"

"Nggak suka ya nemenin saya makan?"

Seza mengerucutkan bibirnya karena pertanyaannya malah mendapat pertanyaan balik.

"Ini nemenin makan lho, bukan saya suruh benerin genteng," candanya.

Seza mengembuskan napas. "Oke deh, toh dokter nggak tiap hari kan makan di rumah?"

"Bisa jadi setiap hari."

"Kan dokter sibuk?"

"Saya biasa makan di luar, tapi kalau ada temen makan saya bisa pulang ke rumah lebih awal."

"Saya tahu sebenarnya apa yang dokter butuhkan," ucapnya tiba-tiba.

"Apa?" tanya Deva, kemudian menyerumput teh miliknya.

"Istri."

Ucapan Seza membuat Deva tersendak. Seza langsung bangkit dan mengambilkan air putih untuk Deva. "Minum Dok," katanya sambil menepuk-nepuk punggung Deva.

Seza jadi merasa bersalah karena sudah asal bicara dan membuat Deva terbatuk-batuk seperti ini. Saat Deva sudah jauh lebih baik, Seza kembali ke kursinya. "Maaf, Dok."

Deva menaikkan kedua alisnya sambil memandang Seza.

"Tapi kan saya bener, Dok?"

"Nanti saya keselek lagi, lho."

"Iya, Maaf. Ya udah deh, saya mau. Tapi kayaknya saya mau ngecek sesuatu dulu deh."

Deva memandang Seza dengan tatapan bingung. "Ngecek apa?"

"Peralatan masak dokter dong. Waktu itu saya lihat cuma ada panci buat masak mie. Kalau gak ada alat masak, gimana saya bisa masak." Seza berdiri lalu memeriksa kabinet dapur milik Deva. Hanya ada beberapa piring dan mangkok, lalu untuk alat masaknya hanya ada panci kecil dan juga teflon ukuran kecil.

"Wah, mana bisa masak cuma pake ini. Lagian kenapa beli teflon sih, Dok?" tanya Seza.

"Kenapa memangnya?"

"Ada zat kimianya yang gak baik untuk tubuh. Kan bisa memicu kanker kalau penggunaannya gak bener, dokter nggak tahu?"

"Oh, saya kan jarang masak. Itu juga dibeliin Monika, dia yang ngisi peralatan di dapur ini."

"Oh si lampir," gumam Seza.

"Apa?"

"Eh, nggak pa-pa, Dok." Seza harus mengendalikan mulutnya yang suka asal bicara ini kalau masih ingin digaji oleh Deva. "Saran saya, mending beli wajan dari bahan keramik atau cast iron. Cast iron emang mahal sih, tapi awet banget, terus kemampuan retensi panas dan penyebaran panasnya juga bagus banget. Tapi bahan stainless juga bagus sih, walau ada triknya biar dia gak lengket. Nah, makanan yang sehat bukan hanya dari bahan dan pengolahan, tapi juga dari alat yang digunakan, Dok," jelasnya panjang lebar.

Gara-gara Corona (TERBIT DI GOOGLE PLAYBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang