Seza mengenal siapa pemilik punggung itu, dan ia juga memiliki dugaan yang kuat kalau orang yang mengirimkan pesan padanya adalah orang yang sama. Yang tidak pernah Seza duga adalah kenapa laki-laki itu nekat menyusulnya hingga ke Bandung seperti ini.
"Za? Kamu dengar saya?"
Saking sibuk dengan pikirannya sendiri Seza sampai melupakan telepon Deva yang masih terhubung. "Dok, kayaknya ada orang yang nguntit saya," ucapnya jujur. Entah kenapa Seza merasa Deva bisa membantunya seperti kejadian dulu.
"Hah? Kamu sendirian? Tetangga kamu gak ada?"
"Ada sih, cuma kata tetangga orang ini memang sering datang ke sini, Dok. Ngakunya temen saya."
"Astaga. Kontrakan kamu nggak aman, Za. Kamu harus pindah. Tapi malam ini kamu coba hubungi pemilik kontrakan, pintu sama jendela semua terkunci, kan?"
"Udah, Dok," ucap Seza sambil kembali mengecek pintu dan jendela kontrakannya. Seza juga yakin laki-laki itu sudah pergi, tapi bisa saja kan dia kembali lagi. Membayangkan hal itu membuat Seza bergidik ngeri.
"Kalau nggak salah teman saya ada yang mau menyewakan unit apartemennya, nanti saya hubungi dia. Semoga lokasinya nggak jauh dari tempat kamu kerja," lanjut Deva.
"Hah? Apartemen? Nggak lah, Dok. Duit darimana saya buat bayarnya. Lagian kontrakan ini udah saya bayar untuk tiga bulan ke depan. Nggak papa, Dok. Saya di sini aja." Gaya sekali pikirnya kalau harus tinggal di apartemen mungkin gaji perbulannya habis untuk membayar sewa saja.
"Kamu tuh lagi dalam bahaya ya, Za! Sempet-sempetnya mikirin uang."
"Ya jelas lah, Dok. Saya aja sampe jadi pembantu di rumah dokter demi dapet uang. Pikiran saya emang tiap hari mikirin uang."
"Astaga. Udahlah pokoknya nanti saya tanya dulu sama temen saya. Sekarang kamu istirahat, tapi handphone kamu jangan dimatikan ya. Kalau ada apa-apa hubungi saya," ucap Deva sebelum mengakhiri panggilan itu.
*****
Deva : Seza semalem nggak ada masalah kan?
Pagi-pagi sekali laki-laki itu sudah mengirimkan pesan pada Seza. Dirinya saja baru terbangun. Semalam dia tidak bisa tertidur nyenyak, beberapa kali Seza terbangun karena mimpi buruk. Dia mimpi diculik lalu dibuang ke sumur tua. Sungguh mimpi yang membuatnya ketakutan dan sulit untuk memejamkan mata kembali. Menjelang pukul tiga barulah dirinya bisa tertidur.
Seza : Aman, Dok.
Setelah membalas pesan itu Seza langsung turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, dia harus segera ke Lambda. Begitu selesai mandi dan berpakaian, Seza menyandang handbag-nya dan bersiap untuk pergi. Ketika ia ingin membuka pintu, matanya menangkap sesuatu yang diselipkan di bawah pintu. Sebuah amplop putih.
Seza mengambil amplop itu dengan perasaan takut, dengan tangan gemetar dia membuka isinya. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati amplop itu berisi foto-foto dirinya di Lambda. Artinya laki-laki itu tahu tempatnya bekerja. Seza langsung memasukkan foto-foto itu ke tasnya. Dia harus segera pergi bekerja, saat istirahat nanti Seza akan memberitahu Deva tentang hal ini. Sepertinya dirinya benar-benar dalam bahaya.
*****
"Kamu lagi ada masalah?" tanya Chef Egi yang beberapa kali menegur Seza pagi ini karena ia sering tidak fokus.
"Ehm, iya, Dok, eh Chef." Kenapa Seza jadi teringat Dokter Deva.
Chef Egi menghela napas. "Ya sudah kamu istirahat dulu, kalau kamu terus begini makanan yang kita buat bisa kacau."
Seza menunduk malu, juga merasa bersalah. Chef Egi memang terkenal tegas dan sedikit menyeramkan, beruntung sekali ia masih disuruh beristirahat bukannya langsung dilaporkan ke Chef Gamma kemudian dipecat. "Maafin saya, Chef."
"Saya mau begitu kamu kembali ke dapur, pikiran kamu sudah jernih."
"Siap Chef."
Seza berpamitan dan segera keluar dari dapur. Dia berjalan ke taman yang ada di belakang Lambda, lalu mendudukan dirinya di kursi. Seza menghela napas berulang kali, dia mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Indri, tetapi sahabatnya itu tidak menjawab panggilannya. Seza mencoba mengirimkan pesan pada Deva, beberapa menit kemudian laki-laki itu langsung meneleponnya.
"Bikin ulah apalagi orang itu?" sambar Deva begitu panggilannya diangkat Seza.
Seza menceritakan apa yang ditemukannya pagi tadi.
"Kamu simpan foto itu sebagai bukti, kita harus menangkap dia dan memenjarakannya. Orang kayak gitu harus dikasih pelajaran. Apa yang dia lakukan sama kamu ini udah termasuk tindak kriminal," jelas Deva.
"Kayaknya dia ngikutin saya ke mana-mana, Dok," ucap Seza sambil memandang ke sekelilingnya.
"Kebetulan saya nggak ada jadwal praktik besok, sore ini saya berencana ke Bandung. Saya juga sudah menghubungi teman saya, katanya besok bisa ketemu untuk melihat apartemennya."
"Dokter! Saya nggak punya uang untuk bayar sewanya. Kalaupun ada saya nggak mau."
"Saya yang sewa, kamu nggak usah pusing."
"Heh?"
"Udahlah nanti saya telepon lagi kalau saya udah sampai di Bandung," ucap Deva lalu mengakhiri panggilan itu.
*****
Malam harinya Seza langsung menghubungi Indri, sahabatnya itu mendengarkan cerita Seza dengan saksama, beberapa kali Indri ingin memotong ucapannya tapi Seza menahannya hingga dia benar-benar selesai menjelaskan semuanya.
"Gila sih itu cowok. Psiko! Tapi bener kata Mas Deva kita harus kumpulin bukti-bukti, Za. Dan kamu bener-bener harus hati-hati. Cowok kayak gitu pasti menghalalkan segala cara."
"Terus Ndri, gimana ini? Deva mau nyewa apartemen buat gue."
"Ya udah terima aja. Dia single ini, bukan laki orang. Nggak nyakitin siapa-siapa kalau lo nerima perhatian dan kebaikan dia."
"Indri! Gue serius!" ucapnya kesal.
"Gue juga serius. Udahlah kayaknya Mas Deva emang naksir sama lo, jadi ya udah nggak usah dipusingin."
Seza menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. "Gue ini apa sih, Ndri. Dilihat dari sisi manapun gue nggak cocok sama Deva."
"Lo terlalu merendah. Lo manis gitu, imut-imut, pinter masak. Mungkin beberapa tahun lagi lo beneran bisa jadi Chef, bukan asisten lagi. Pernah nggak sih lo menghargai diri lo sendiri dengan melihat apa yang ada dan apa yang udah lo capai?" kata Indri berusaha untuk menyadarkan Seza.
"Tapi tetep aja, Deva itu dokter. Dokter spesialis mata di RS terkemuka, masa mau sama gue."
"Capek ah gue ngomong sama lo. Merendah mulu, udahlah gue mau teleponan sama cowok gue dulu." Kemudian telepon itu langsung dimatikan oleh Indri.
*****
"Saya udah sampai di Bandung, ini saya nginep di hotel. Besok saya jemput kamu di kontrakan ya, kamu share loc aja lokasinya," kata Deva lewat telepon.
"Oh... iya Dok."
"Kamu kenapa? Kok kayaknya lemes gitu? Dia masih gangguin kamu?"
"Hari ini aman sih. Tapi..."
"Tapi apa?"
Seza menarik napas pelan. "Saya nggak ngerti kenapa dokter sebegitu pedulinya dengan saya."
Tidak ada jawaban apapun dari Deva, Seza sampai memeriksa ponselnya apakah masih tersambung dengan Deva.
"Dok?"
"Kalau saya suka sama kamu, boleh?"
Ucapan Deva itu membuat tubuh Seza membeku dan mulutnya terasa kelu.
******
Holaaa sorry lama, banyak kerjaan jadi nggak sempet nulis. Makasih udah setia nungguin. Gak perlu di spam ya kalau aku ada waktu nulis pasti aku lanjutin.
Happy reading...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gara-gara Corona (TERBIT DI GOOGLE PLAYBOOK)
RomanceSiapa yang menyangka virus yang muncul akhir 2019 lalu bisa sampai ke Indonesia? Dan mengubah hidup semua orang di muka bumi ini. Termasuk hidup Seza, perempuan pertengahan dua puluh yang sehari-harinya bekerja sebagai assisten koki, harus merasakan...