Bab 2

40.3K 7.5K 250
                                    


Ramadan dan lebaran tahun tahun 2020 mungkin salah satu lebaran terberat yang harus dilewati oleh banyak orang. Seza sih tidak terlalu sedih, karena tidak merasakan buka puasa bersama teman-temannya, karena sebagian besar biasanya hanya wacana di grup WA. Namun, yang membuatnya sedih adalah tidak bisa pulang ke kampung halaman. Jarak antara Bekasi dan Bandung memang tidak terlalu jauh, tetapi bukan berarti dia bisa pulang kampung begitu saja, lagi-lagi karena virus Covid-19 ini menyebabkan semua yang mudah menjadi rumit puluhan kali lipat. Dia juga tidak mau menjadi orang yang egois dengan pulang ke kampung halaman, di saat dirinya sendiri tidak tahu apakah dalam tubuhnya terdapat virus atau tidak

Banyak pasien yang positif tanpa gejala, dan bisa berakibat fatal kalau menularkannya kepada nenek dan kakeknya di kampung halaman sana. Namun, lagi-lagi Seza melarang dirinya untuk mengeluh karena walaupun lebaran kali ini dia tidak bisa berkumpul dengan keluarga besar, masih ada ibunya dan Salma. Bayangkan teman-temannya yang lain, yang merantau seorang diri ke sini, harus merayakan lebaran hanya dengan teman-teman seperantauan. Ada yang berusaha memasak atau pun beli menu makanan khas lebaran, agar bisa merasakan suasana rumah, ada juga yang hanya bisa melihat makanan itu dari status atau story teman-teman di sosial media. Sungguh Covid-19 telah merenggut banyak kebahagiaan.

Itu cerita lebaran Seza, sudah terjadi dua bulan yang lalu, kesedihannya juga tidak berlangsung lama, lagi pula ada hikmahnya tidak pulang ke kampung halaman, dia tidak perlu repot menanggapi orang yang bertanya tentang kapan dirinya melepas masa lajang dan juga tidak perlu mengeluarkan uang untuk bagi-bagi THR, apalagi dengan kondisinya yang jobless seperti sekarang. Namun status jobless itu sebentar lagi akan ia tanggalkan. Seza akan kembali bekerja, walaupun kali ini menjadi seorang asisten rumah tangga, percayalah dia lebih memilih bersih-bersih dari pada rebahan lagi.

Hari ini rencananya Seza akan bertemu dengan sang majikan yang kata Indri seorang dokter mata, tampan, dan single itu. Too much information sebenarnya, tetapi Seza jadi penasaran dengan tampang dokter ini, sepertinya dulu dia pernah menonton FTV yang menceritakan tentang pacarku majikanku.

Duh, jadi ngebayangin kan.

Seza menggelengkan kepalanya, mengusir bayangan konyol dalam pikirannya itu. Dia berkonsentarasi menyetir mobil tuanya. Satu-satunya warisan sang ayah yang ajaibnya masih bisa digunakan walaupun usianya sudah hampir dua puluh tahun lebih. Ya, memang adakalanya mobil ini ngadat, tetapi tidak sering. Mobil ini membantu Seza berpergian di kondisi saat ini, katanya memang lebih aman menggunakan kendaraan pribadi. Untunglah bahan bakarnya solar, jadi bisa menghemat pengeluaran.

Ngomong-ngomong soal pekerjaan, Seza hanya memberi tahu ibunya kalau dia mendapat pekerjaan baru. Tidak menjelaskan secara spesifik tentang profesi yang akan dijalaninya, beruntungnya ibu Seza kelewat bahagia jadi beliau mengasumsikan kalau Seza diterima di salah satu restoran sebagai asisten koki. Seza takut berbohong jadi dia hanya menanggapi reaksi ibunya dengan senyuman. Kalau ibunya tahu yang sesungguhnya, sudah dipastikan Seza tidak akan diizinkan untuk bekerja. Di rumahnya saja urusan mencuci dan bersih-bersih lebih banyak dilakukan ibu, lah, ini mau membersihkan rumah orang lain.

Beberapa saat kemudian Seza tiba di rumah dokter Deva. Rumahnya berada di kompleks perumahan yang jarak tempuhnya hanya tiga puluh menit dari rumah Seza. Setelah memarkirkan mobilnya dengan rapi, ia keluar dan memasuki pekarangan rumah dokter Deva di dekat mobilnya ada mobil lain yang terparkir, Seza mengenali mobil itu sebagai mobil Mas Haikal. Rumahnya tipe minimalis dua lantai dengan cat putih untuk setiap dindingnya dan hitam untuk pagar rumah. Dalam hati, Seza berharap dalam rumahnya tidak terlalu besar, supaya dia tidak terlalu lelah membersihkannya nanti.

Di ruang tamu, sudah ada Mas Haikal dan Mbak Intan yang sedang berbincang dengan seorang perempuan yang usianya sepertinya lebih tua dari Seza, mungkin seumuran Mbak Intan. "Eh Seza, sini masuk," ajak Mbak Intan layaknya rumah sendiri.

Seza tersenyum ramah. Intan memperkenalkan dirinya pada pada perempuan itu, namanya Monika. "Dia ini sahabatnya Deva, karena Deva ada operasi jadi dia minta Monika yang menjelaskan sama kamu tentang pekerjaan kamu nanti," jelas Intan.

Monika menatap Seza dari atas ke bawah, tatapan yang agak kurang sopan sebenarnya, tetapi sudahlah Seza tidak mau memusingkan hal itu. "Kamu yakin kan, Kal, Tan, dia bisa dipercaya?" tanya Monika, seolah-olah Seza tidak ada di sana.

Asem! Emang dia pikir gue patung apa!

"Gue udah bilang ke Deva, dan dia percaya sama gue. Seza ini temen deket Indri, adiknya Intan." jawab Haikal.

"Ya kan gue cuma memastikan," jawab Monika yang terdengar songong di telinga Seza. Perempuan itu bersedekap lalu menatap Seza. "Deva jarang ada di rumah, tapi bukan berarti kamu bisa kerja asal-asalan nantinya," ucapnya tajam, kemudian perempuan itu tiba-tiba berdiri. "Ikut saya, saya akan jelaskan apa saja pekerjaan kamu."

Seza menoleh ke arah Intan dan Haikal, Intan mengangguk memberikan semangat pada Seza, akhirnya Seza ikut berdiri dan mengikuti langkah Monika, mereka berdua menuju ruang tengah yang hanya berisi sebuah telvisi ukuran besar dan sofa panjang untuk ukuran tiga orang, ada karpet bulu yang lembut sekali. Sementara Monika terus mengoceh, mengatakan kalau Seza harus membersihkan setiap sudut rumah, jangan sampai ada debu yang tertinggal. Kemudian mereka menuju ke ruang makan dan dapur, perabotan di rumah ini tidak terlalu banyak, mungkin yang tinggal juga seorang bujangan. Namun saat memasuki dapur, mata Seza langsung berbinar, dapurnya bersih dengan kitchen set yang di dominasi warna hitam, ada juga mini bar berwarna senada, dan itu membuat Seza ingin mencoba memasak sesuatu di sana.

Duh, kenapa gue nggak jadi tukang masak aja, sih di sini!

"Kamu dengar saya nggak?" tanya Monika.

"Eh, apa Mbak?"

Monika berdecak kesal.

"Sampah harus kamu buang setiap hari, lalu untuk pakaian kamu harus mencucinya pakai tangan, Deva nggak mau bajunya rusak, jadi kamu harus benar-benar hati-hati waktu mencucinya."

Astaga nyuci pake tangan! Di rumah aja gue tinggal masukin ke mesin. Terus gunanya mesin cuci canggih ini buat apaan!

"Sanggup nggak kamu?"

"Sanggup, Mbak," jawab Seza, walau sebenarnya jawaban itu tidak benar.

"Oke kita ke lantai dua." Monika berjalan keluar dari dapur dan menuju ke lantai dua. Dia menjelaskan kaau di atas sana adalah kamar Deva, namun Seza tidak boleh memasukinya. "Forbidden, okay?"

"Oke."

"Kamu cukup membersihkan bagian luar kamar saja. Untuk kamar-kamar lain, juga kamu bersihkan. Asal bukan kamar Deva, yang ini kamarnya," Monika menunjuk kamar yang paling depan dari semua kamar yang ada di lantai dua.

"Di kunci kan, Mbak?" tanya Seza.

Monika berdecak. "Ya iyalah."

Kalau udah tahu dikunci, ngapain gue maksa masuk. Gimana sih, ini nenek lampir.

"Yang harus kamu perhatikan dan tanamkan adalah, jangan sesekali berniat jahat."

"Jahat gimana?" tanya Seza bingung.

"Ya ngutil atau apa gitu."

"Astaghfirullah." Seza ingin sekali mengeluarkan sumpah serapahnya pada perempuan di depannya ini, tetapi dia menahan diri. Dia butuh pekerjaan ini. "Kalau saya nyolong, Mbak bisa cari saya, Mbak Intan sama Mas Haikal tahu rumah saya."

Monika mengibaskan tangannya. "Dan yang kedua, Deva itu pembersih banget, jadi pastikan kamu bekerja dengan benar. Jangan sampai ada debu sedikit pun."

Seza jadi berpikir apa keputusannya untuk bekerja di sini benar atau salah. Kalau sahabat pemilik rumah ini saja semenyebalkan ini, bagaimana dengan pemilik rumahnya? Pasti jauh lebih menyebalkan, kan?

*****

Selamat Hari Raya Idhul Adha.

Happy reading...

Gara-gara Corona (TERBIT DI GOOGLE PLAYBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang