Bab 21

32.7K 7.5K 273
                                    

Seza masih memacu motornya dengan jantung yang berdetak kencang karena ketakutan. Dia teringat beberapa hari lalu ada berita tentang pembegalan hingga tewas, bagaimana kalau itu terjadi padanya?

Seza yang masih ketakutan akhirnya memutuskan untuk berhenti di supermarket dan segera masuk ke sana. Dengan perasaan yang campur aduk, Seza mengintip dari kaca supermarket, rupanya orang yang membuntutinya itu ikut berhenti, tetapi tidak ikut masuk. Akhirnya Seza memutuskan untuk mengitari rak, mencari tempat persembunyian, dengan tangan gemetar Seza mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Deva.

"Ya Za? Udah sampe rumah?"

"Dokter..." ucapnya dengan suara bergetar menahan tangis.

"Za? Kamu kenapa?" tanya Deva khawatir.

"Ada yang buntutin saya."

"Kamu di mana? Share loc, saya ke sana sekarang."

Seza langsung melakukan apa yang diminta Deva, dia mengirimkan lokasinya saat ini via WA lalu menunggu laki-laki itu datang. Seza memberanikan diri untuk kembali melihat keluar, ternyata motor yang mengikutinya itu sudah tidak ada, tetapi itu semua belum membuat ketakutan dalam dirinya mereda, Seza takut orang itu bersembunyi dan menunggunya keluar lalu kembali membututinya, atau bahkan melukainya.

"Ada apa Mbak?" tanya salah satu pegawai supermarket yang menghampiri Seza.

"Ada yang ngikutin saya. Saya numpang di sini dulu ya, Mbak sampai teman saya datang."

"Astaga masih ada orangnya?"

Seza menggelang. "Tapi saya nggak tahu, takut dia sembunyi."

"Ya udah Mbak di sini aja dulu sampai temannya datang."

Beberapa menit kemudian Deva datang dengan tergesa, andai tidak ada masker yang menutupi wajah laki-laki itu akan terlihat wajah penuh kekhawatiran. "Seza," panggilnya saat melihat Seza yang berdiri sambil memegang ponselnya.

Begitu melihat kehadiran Deva, perasaannya jauh lebih lega, tetapi perasaan kalut dan membuatnya ingin menangis yang sejak tadi ditahannya perlahan mulai pecah, matanya mulai berkaca-kaca. Apalagi saat Deva menghampiri dan langsung menarik tubuh Seza dalam pelukannya. "Udah nggak pa-pa, ada saya," bisik Deva sambil menepuk-nepuk punggung Seza yang bergetar.

Keadaan supermarket tidak terlalu ramai, hanya ada satu orang yang sedang berbelanja dan beberapa pegawai yang menatap adegan itu dengan pandangan ingin tahu. Menyadari hal itu, Deva langsung membawa Seza keluar menuju mobilnya terparkir.

Di dalam mobil Seza tidak bisa lagi menahan tangisnya. Deva menarik tangan Seza dan menggenggamnya erat. Melihat Seza yang kesulitan bernafas karena menangis dan masih menggunakan masker membuat Deva membantu perempuan itu membuka maskernya dan lagi-lagi menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. "I'm here," bisik Deva. Kalimat singkat yang entah kenapa terasa bisa menghipnotis Seza dan membuatnya jauh lebih tenang.

Setelah perempuan itu jauh lebih tenang, Deva melepaskan pelukannya. "Saya antar kamu pulang."

"Tapi motor saya?" tanya Seza yang teringat motornya masih terparkir di tempat ini.

Deva memandang wajah Seza, tadinya dia ingin menyarankan mereka bertukar posisi Seza membawa mobilnya sedangkan dia mengendarai motor Seza, namun melihat keadaan Seza yang masih shock seperti ini, Deva tidak tega. "Motor kamu biar temen saya yang bawa, saya telepon dia dulu," jawabnya, sembari teringat salah satu office boy yang sering membantunya di rumah sakit. Awal pasti cepat kalau Deva meminta tolong sesuatu, apalagi rumahnya tidak jauh dari sini.

"Tapi..."

"Mau pulang nggak?" potong Deva.

Seza mengangguk, dan entah kenapa dalam pendangan Deva perempuan itu terlihat menggemaskan, pipi gembil dan hidung mungilnya yang memerah bisa dilihatnya dari pantulan cahaya lampu supermarket. Merasa diperhatikan seperti itu Seza langsung mengalihkan wajahnya. Deva yang sadar juga ikut salah tingkah, untuk menutupi hal itu, ia langsung mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Awal.

Seperti dugaannya, Awal langsung mengiyakan dan segera meluncur ke tempat mereka berada. Setelah panggilan diakhiri, suasana dalam mobil masih terasa canggung, tidak ada yang membuka suara di antara mereka. Deva memilih memandang keluar, sembari melihat apakah ada sosok mencurigakan yang tadi membuntuti Seza.

"Naik motor apa orangnya?" tanya Deva.

"Nggak terlalu jelas tapi motor matic gitu warna hitam."

"Kan saya tadi udah nawarin untuk nganter kamu pulang lho, Za," Deva mengingatkan.

Seza mengembungkan pipinya, hal yang seharusnya tidak ia lakukan karena hal itu malah membuatnya semakin lucu dan menggemaskan di mata Deva. "Saya nggak tahu kalau bakal kejadian begini."

Deva menghela napas. "Makanya nanti kalau pulang malem lebih baik kamu naik mobil, atau saya yang antar."

"Saya ART-nya dokter lho," ucap Seza.

"Terus?"

"Masa iya dokter repot-repot antar saya pulang."

"Ya nggak pa-pa lah, saya nggak keberatan," pungkasnya. "Saya laper, mau beli roti. Kamu mau titip sesuatu?"

"Kan dokter abis makan." Seza tentu masih ingat apa yang membuatnya pulang semalam ini, karena dia harus memasak dan menemani Deva menyantap makanannya.

"Mau nitip sesuatu gak?" ulang Deva.

"Es krim deh, rasa strawberry."

"Oke. Berani kan di mobil sendirian?"

"Iya berani kok."

Deva tersenyum lalu kembali memasang maskernya. Dia keluar dari mobil untuk masuk kembali ke supermarket. Semantara itu Seza memerhatikan Deva. Dengan segala perhatian yang diberikan oleh laki-laki itu, bagaimana bisa ia tidak jatuh cinta?

*****

Beberapa menit yang lalu teman Deva sudah tiba, Deva sudah memberikan kunci motor Seza pada Awal dan memintanya untuk mengikuti mobilnya.

Sepanjang perjalanan tidak banyak yang bersuara, Seza disibukkan dengan kegiatannya menghabiskan es krim yang dibelikan Deva. Untunglah dia ada kegiatan lain di mobil ini, kalau tidak yang bisa dilakukannya hanya memandang Deva yang entah kenapa terlihat lebih seksi saat memegang kemudi.

"Dok, nganternya jangan sampai rumah banget ya."

"Terus saya nurunin kamu di depan lorong gitu? Kayak anak Abg pacaran."

"Bukan gitu, saya nggak mau ibu khawatir."

"Aman, nanti saya yang bicara sama beliau."

Sepertinya susah untuk membujuk laki-laki ini agar menuruti keinginannya. Seza bisa apa selain pasrah! Dan bersiap untuk menerima banyak pertanyaan dari ibunya. Dia hanya bisa berharap agar ibunya sudah tertidur, walaupun itu tidak mungkin terjadi, karena ibunya tidak bisa tertidur sebelum ia pulang.

Mendekati rumah jantung Seza semakin berdetak cepat, apalagi melihat lampu depan rumahnya masih menyala, saat dia keluar dari mobil Deva, ibunya langsung membuka pintu. Perempuan paruh baya itu memandang Seza, Deva dan juga Awal yang membawa motornya masuk ke pekarangan rumah.

Deva langsung berjalan mendekati ibu Seza, menangkupkan kedua tangannya di dada. "Saya Deva, Bu," katanya memperkenalkan diri.

Seza ikut berdiri di samping Deva. "Ini bos Seza, Bu," tambahnya.

"Oalah, masuk dulu yuk."

"Lain kali aja, Bu. Udah malam. Ini saya nganterin Seza karena tadi dia harus lembur. Karena dia bawa motor, saya khawatir makanya lebih baik saya antar."

"Oh gitu. Terima kasih banyak ya Mas Deva."

Deva menganggukan kepalanya sopan. "Kalau begitu saya dan Awal permisi dulu ya, Bu. Selamat istirahat," ucapnya.

"Iya Mas, sekali lagi terima kasih."

"Sama-sama, Bu."

"Makasih ya Do... ehm... Pak Deva."

Seza tebak, pasti saat ini Deva sedang menahan senyum. "Anytime, Za. Saya pulang dulu ya."

Seza dan ibunya menunggu sampai mobil Deva menghilang lalu mereka berdua masuk ke rumah. "Baik banget bos kamu, Za."

"Eh iya, Bu."

"Itu kan Pak Dokter yang ngobatin aku, Kakak kerja sama dokternya?" ucap Salma yang ternyata ikut menunggunya dan duduk di kursi ruang tamu.

******

Happy reading...

Gara-gara Corona (TERBIT DI GOOGLE PLAYBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang