Bab 4

34.8K 8.4K 885
                                    




Deva menghela napas berat kemudian membantingkan tubuh di atas sofa rumahnya, dia baru saja membukakan pintu untuk Haikal. Wajahnya terlihat begitu lelah. Bukan hanya Deva, Haikal dan juga semua tenaga medis sepertinya juga merasakan hal yang sama. Semenjak pandemi ini masuk ke Indonesia, mereka semua harus bekerja lebih keras dengan menggunakan alat pelindung diri yang tidak nyaman. Dia sangat merindukan kehidupan sebelum pandemi ini hadir.

Hari ini jadwal libur Deva, kebetulan juga hari ibur Haikal. Keduanya memang sudah punya janji untuk bertemu, atas kesepakatan bersama mereka bertemu di rumah Deva. Salah satu hal yang tidak lagi bisa mereka lakukan adalah bertemu di luar rumah, tidak ada lagi nongkrong-nongkrong seperti dulu. "Mau minum apa? Biar gue ambilin," tawar Deva.

"Si Mbok mana?" tanya Haikal, saat dia melihat asisten rumah tangga Deva yang biasanya selalu menyapanya dan membawakan makanan atau minuman.

"Mbok berhenti kerja, anaknya bilang bahaya kerja sama gue. Ya, gue maklum sih ketakutan mereka, dikondisi saat ini, risiko kita terpapar virus lebih besar," jelas Deva.

"Jadi lo nggak ada yang bantuin di rumah?" tanya Haikal. Deva menggeleng. "Gue bingung siapa yang mau bantuin beresin rumah. Cucian kotor gue udah numpuk banget. Mau gue laundry, tapi laundry deket rumah tutup karena ada yang positif."

"Cuci sendiri nggak bisa?"

Deva memandang Haikal. "Gue udah capek banget di rumah sakit, kalau libur gini penginnya istirahat total bukan ngurusin cucian. Lo kenal orang yang bisa bantu gue nggak?" Sejak dulu Deva sudah mempercayakan semuanya pada Mbok Sumi, asisten rumah tangga yang dulu dicarikan oleh ibunya. Mbok Sumi sudah ikut dengan Deva selama lima tahun. Pekerjaannya rapi dan terpercaya. Ada rasa sedih saat Mbok Sumi mengikuti keinginan anaknya untuk berhenti kerja dari rumah Deva, tetapi Deva juga tidak bisa melarang.

"Yahhh, nanya sama gue, coba tanya Monika," jawab Haikal.

"Udah, dia juga nggak punya kenalan, yang bantuin di rumahnya juga cuma satu, nggak mungkin bantuin rumah gue juga. Lagian lo tahu sendiri suaminya nggak suka sama gue."

Haikal mencibir. "Lagian si Monika genit-genit sama lo. Dulu bilangnya nggak suka sama lo, tapi udah nikah eh malah kayak ngedeketin lo mulu."

Deva meminta Haikal untuk tidak membahas masalah itu. Dia sudah cukup pusing dengan situasinya sekarang. "Coba lo tanyain Intan, siapa tahu dia ada kenalan yang bisa bantu gue. Yang kerjanya rapi, orangnya sehat, bisa dipercaya juga. Kalau bisa yang udah berumur."

"Kenapa kalau yang muda?"

"Biasanya sibuk main hape mulu, kerjanya juga asal."

"Banyak banget kriteria lo. Udah kayak nyari istri aja," komentar Haikal.

*****

Deva mematut dirinya di cermin, hari ini dia mengenakan kemeja biru muda dipadukan dengan celana khaki. Setelah merasa penampilannya rapi, Deva mengambil tas kerjanya yang ada di atas meja. Deva memandang kamarnya yang luar biasa berantakan. Pakaiannya berserakan di mana-mana, kotak sampah yang penuh karena belum sempat dibuang. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. Untungnya dia sudah menemukan asisten rumah tangga yang baru, yang akan mulai bekerja hari ini. Meskipun ternyata Haikal tidak berhasil menemukan ART yang sudah berumur, tetapi sahabatnya itu meyakinkan kalau kenalan istrinya itu akan serius bekerja.

Deva juga sudah menerima surat kontrak yang ditandatangani oleh ART barunya. Siapa namanya? Deva mengingat-ingat. "Se... Sena atau Seza ya? Ah pokoknya itu lah," gumannya. Monika sudah menuliskan perjanjian di dalam kontrak kalau ART barunya itu tidak akan membeberkan apapun yang dilihat dan juga didengarnya selama bekerja di rumah ini. Siapa yang menyangka kalau dokter Deva yang terkenal di rumah sakit sebagai sosok yang tampan dan pembersih, ternyata punya kamar seperti kapal pecah begini. Monika saja mungkin tidak tahu kebiasannya, hanya keluarga intinya dan Mbok Sumi yang tahu dan tentu asisten barunya nanti.

Deva keluar kamar sambil membawa tas kerjanya, sebelum pergi Deva menuliskan pesan untuk ART barunya itu. Semoga pekerjaan kenalan Intan itu sesuai dengan kemauannya.

*****

Seza terpaku di tempatnya berdiri, mulutnya ternganga saking kagetnya. "Gue nggak salah denger kan kemarin? Katanya ini orang pembersih, Kenapa kamarnya jorok begini!" keluh Seza. Baju ada di mana-mana, di kasur, di sofa, di lantai. Ada boxer dan celana dalam juga. Seumur hidup Seza tidak pernah menyentuh celana dalam laki-laki, lah ini dia harus memunguti dan mencucinya. Seketika ada perasaan menyesal karena telah setuju bekerja pada Deva.

Seza turun lagi untuk mengambil sarung tangan yang ada di dapur, naik kembali membawa senjata perang yang akan digunakannya untuk memunguti pakaian dokter yang katanya ganteng itu. Seza menaruh keranjang besar, lalu memulai pekerjaannya, tidak lupa dengan masker yang setia menutupi wajahnya. "Ini sih namanya dokter jorok, bukan dokter ganteng!"

Sepanjang memunguti pakaian Deva mulu Seza tidak berhenti mengoceh. Setelah selesai dengan urusan pakaian, Seza mengumpulkan sampah-sampah yang kebanyakan isinya bekas bungkus makanan dan minuman. "Ya ampun makanannya nggak sehat banget," kata Seza saat melihat bungkus-bungkus makanan itu. Kebanyakan bungkus dari makanan siap saji, dan kaleng minuman bersoda.

Hari pertamanya bekerja benar-benar berat, dia harus turun naik tangga untuk membawa keranjang baju kotor dan menucucinya. Namun, Seza tidak mencuci pakaian itu menggunakan tangan, melainkan memasukkan semuanya ke mesin cuci, melihat dari bentuk kamar Deva, Seza yakin laki-laki itu tidak akan tahu kalau pakaiannya tidak dicuci dengan tangan. Pasti semua cuma akal-akalan Monika saja, pikirnya.

Sembari menunggu pakaian selesai dicuci, Seza kembali ke kamar Deva untuk menyapu, ngepel dan membereskan sampah-sampah yang ada di sana. Setelah semuanya rapi, Seza tiba-tiba mendapatkan ide. Dia mengambil pulpen dan juga sticky note yang ada di meja kerja Deva. Seza menuliskan sesuatu di sana, masing-masing kertas ia tempelkan di dekat keranjang baju kotor dan kotak sampah.

Tulisan 'Taruh aku di sini, ya.' Untuk memberitahu Deva agar menaruh baju kotornya di dalam keranjang. Kemudian, 'Buang aku di sini, ya.' Agar Deva tidak lupa untuk membuang sampahnya ke sana, bukan di lantai dan di sofa.

"Semoga dia nggak tersinggung," gumam Seza. Setelah itu Seza mendekati kasur Deva, ternyata spreinya juga tidak kalah kotornya. Seza menghela napas, lalu melepaskan penutup kasur itu. Dia membuka laci di bawah kasur dan menemukan sprei baru di sana, Seza segera memasangkan sprei bersih itu pada kasur Deva. Setelah merasa puas dengan hasil kerjanya, Seza membawa semua peralatannya keluar dari kamar laki-laki itu. Sepertinya dia harus membeli koyo pulang nanti, karena pinggangnya terasa seperti dilolosi.

*****

Deva pulang cukup larut malam ini, karena ada beberapa operasi katarak yang harus dijalaninya. Pertama kali membuka pintu kamar, Deva melihat hal yang sudah tidak lama ia rasakan. Kamarnya sudah rapi, spreinya pun sudah diganti. Deva langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur. Harum, membuatnya segera ingin memejamkan mata. Deva membolak-balikkan tubuh di atas kasur besarnya, namun saat dia ingin memeluk bantal guling, Deva menemukan kertas kecil dengan tulisan tangan yang cukup rapi.

'Tolong mandi dulu sebelum memelukku.'

Seketika Deva langsung tertawa membaca pesan itu. Dia mengubah posisinya menjadi duduk, dan ternyata ada kertas serupa yang ditempelkan di atas kasurnya, kertas itu sudah lecek karena tertimpa tubuhnya tadi.

'Tolong ganti baju dulu sebelum meniduriku.'

Kemudian tawa Deva kembali pecah, lebih keras dari sebelumnya.

*****


Nggak ada manusia yang sempurna, good looking bukan segalanya.

hahaha.

Happy reading.

Gara-gara Corona (TERBIT DI GOOGLE PLAYBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang