17. Janji

1.2K 142 32
                                    

"Tae, can we talk?"

Pertanyaan singkat dari Johnny itu yang membawa mereka berdua kembali menghabiskan waktu dengan duduk berhadap-hadapan saat anak-anak tertidur. Taeyong tidak yakin apa yang akan dikatakan oleh Johnny, meski begitu jantungnya berdegub sangat kencang. Sementara Johnny masih menyesap kopinya tanpa suara.

"Kenapa kamu enggak jawab pertanyaan Jungwoo?"

Johnny menaruh gelas kopinya dan menatap Taeyong tepat di matanya. Kebiasaan yang selalu dilakukan Johnny ketika bicara dengan seseorang. Termasuk kepada Taeyong. "I can't," jawabnya. "Enggak peduli aku jawab jujur atau bohong, I'll end up hurt him." Johnny menambahkan.

Taeyong tidak tahu harus dari mana dia memulai dari mana. "Jawab pertanyaannya." Tapi dia menegaskan untuk mendengarkan jawaban itu. "Kamu kayak gitu karena kamu enggak tahu cara ngomong ke anak-anak yang baik kayak apa kan? Kamu takut kata yang kamu pilih salah? Kalo gitu, kasih tahu aku. Biar aku yang ngomong ke anak-anak."

"Tae...."

"Kasih tahu aku, John."

Tidak ada pilihan lain bagi Johnny. Dia tidak menang berargumen dengan Taeyong yang memasang ekspresi seperti itu. Johnny menerka-terka dalam hatinya, mungkin jika dia anak-anak, Taeyong akan menyayanginya sama besar. Namun kenyataan bahwa Taeyong mungkin tidak memiliki apa pun terhadapnya, itu ada. Sekali pun mereka pernah berciuman, itu tidak berarti apa pun.

"My jobs," katanya, "kerjaan aku yang bikin aku enggak bisa lama-lama di sini. Bahaya kalo aku terus di sini. Aku enggak mau kalian semua terancam bahaya. Kamu tahu Tae, kenapa Papa meninggal?"

Taeyong menggelengkan kepalanya. Dia tidak tahu. Dia hanya mendapat kabar kalau orang yang selama ini menjadi sosok ayah baginya meninggal. Itu pun tidak menyisakan perasaan apa pun untuk Taeyong. Orang itu sama dengan Johnny, datang dan pergi tidak menentu. Tidak pernah dalam waktu lama. Tiba-tiba dia mendapat kabar orang itu meninggal, bahkan dia tidak datang ke pengkremasiannya—atau memang acara itu ditiadakan.

"Someone killed him." Johnny kembali menyesap kopinya. "Aku juga bisa tiba-tiba meninggal. Karena dibunuh, diracun, atau tidak tahu. Dunia ini kejam. Dunia di tempat aku kerja, kejam, Taeyong. Kalo musuh aku tahu kalian ada di sini dan mereka mengincar kalian karena aku, aku enggak bakal bisa hidup tenang."

"Kalo bahaya, kenapa kamu mau bawa Mark sama Haechan? Kalo gitu bukannya mereka lebih aman di sini?"

"I need a successor, and they need to learn how to be a proper successor just like me."

Fakta itu tidak bisa dibantah. Taeyong sudah mendengar semuanya dari Johnny dan dia tidak menyalahkan Johnny tentang itu. Itu benar, dia butuh pewaris. Taeyong tidak tahu harus bagaimana lagi, dia kehabisan kata-kata. Namun memikirkan bahwa dia akan berpisah dengan anak-anaknya, itu membuat hatinya sakit. Terutama Haechan yang dirawatnya dari bayi.

"Taeyong, kenapa muka kamu begitu?" Johnny bangun dari kursinya dan pergi menuju kursi Taeyong. Dia memutar kursi Taeyong supaya mereka bisa berhadap-hadapan dan berlutut sehingga wajah Taeyong sedikit lebih tinggi darinya.

Tidak ada jawaban keluar dari bibirnya. Taeyong tidak tahu bagaimana caranya menjawab. Habis semua kata-katanya, melebur bersama air mata yang keluar perlahan yang juga perlahan mengiris hati Johnny. "Aku.... Aku...." Kata-kata yang dikeluarkan Taeyong tidak tersusun dengan jelas. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangannya. "Haechan...."

Johnny mendengarkan tangisan lirih Taeyong, masih berlutut. Tapi lama-lama dia tidak tahan. Jadi Johnny berdiri, menarik Taeyong ke dalam pelukannya, dan memberikan Taeyong usakan-usakan lembut di kepala. "I'm sorry, I don't have any other choice." Johnny masih memberikan Taeyong usakan-usakan lembut itu. "Aku selalu punya Doyoung. Aku pikir, Mark juga butuh temen dan dia sendiri yang milih Haechan...."

"Kamu sampe kapan di sini?"

"I don't know."

"Kamu kapan ke sini lagi?"

"Maybe, it'll take a long time."

"Aku bisa ketemu anak-anak lagi?"

"I can't promise."

"John...."

"Taeyong, I'm sorry, Baby." Johnny menangkup kedua pipi Taeyong, membuat kepala Taeyong mendongak, dan dia dapat melihat mata Taeyong yang memerah. "Nanti kalo waktunya tepat, aku dateng lagi ya? Satu yang bisa aku janjiin, aku enggak bakal bawa kalian ke bahaya."

Tidak ada yang pernah jelas. Hubungan keluarga seperti apa yang mereka jalani, mereka tidak tahu pasti. Sosok ayah yang ideal? Kemungkinan anak-anak tidak akan mengenalnya. Bahkan tentang hubungan yang ada di antara mereka berdua, di antara Johnny dan Taeyong, mereka tidak tahu bagaimana harus menyebutnya. Mereka bukan orang tua yang sempurna, bukan sepasang kekasih, bahkan mereka tidak saling tahu apakah mereka saling memiliki perasaan yang sama atau tidak.

Mereka tidak bicara lagi setelahnya. Tapi Johnny masih di sana, masih bersimpuh di depan Taeyong yang duduk di kursi dan mengusap air matanya yang tadi jatuh. "Janjiin aku satu aja, bisa?" Taeyong bertanya dengan pelan dan menatap wajah Johnny lamat-lamat.

"Apa? Kamu mau apa?"

"Aku enggak tahu nanti aku bisa ketemu lagi sama Mark dan Haechan atau enggak. Tapi aku mau kamu janji, tolong jaga anak-anak, sayang sama anak-anak, jangan ditinggal terus. Kasih kabar aku juga.... Sekali-sekali doang, enggak apa-apa...."

Johnny tersenyum getir. Itu bukan satu. Tapi dia mengangguk mengiakan. "Maaf," kata Johnny pelan, "aku enggak pernah jadi papa yang baik. Tapi aku bakal jaga anak-anak. Pasti." Johnny menaruh kepalanya di atas paha Taeyong. Membiarkannya begitu saja. Dia tidak menunggu tangan Taeyong untuk menyahutinya. Johnny hanya membiarkan Taeyong untuk mencerna perasaannya.

Tangan Taeyong bergerak dengan sendirinya untuk mengusak kepala Johnny dengan pelan, tanpa suara. Mereka tidak bicara selama beberapa menit. Hanya mempertahankan posisi yang demikian sementara waktu terus mengalir meninggalkan mereka yang hanya berpikir tanpa bertindak.

Mereka tidak tahu apa lagi yang harus dibicarakan. Hatinya terlalu hancur bahkan untuk berpikir. Mungkin mereka akan melewati malam hanya dengan kesunyian saja dan berpura-pura bahwa mereka baik-baik saja esok pagi di depan anak-anak.

"Satu lagi," kata Taeyong pelan.

Johnny mengangkat kepalanya, menatap wajah Taeyong yang tidak melihat ke arahnya. "Apa?" tanyanya pelan.

"Kamu bilang papa dibunuh.... Kalo gitu, tolong, aku enggak mau denger berita kamu ... mati...." Taeyong menghela napasnya panjang. "Aku enggak mau kamu ninggalin aku kayak gitu."

Tangan Johnny enarik tangan Taeyong dalam genggamannya, mengelusnya dengan pelan. Johnny tahu dia akan merindukan Taeyong. Bahkan mungkin lebih dari yang bisa dia bayangkan sekarang. Johnny mengecup punggung tangan Taeyong dengan lembut dan kemudian dia berkata, "I can't. Aku enggak bisa janjiin kamu soal itu. Apa yang terjadi nanti, kalo soal diriku sendiri, aku enggak tahu."

"Johnny—"

"Doyoung nanti bakal kasih kamu kabar."

"Aku enggak mau—"

"I know. Aku juga enggak mau ninggalin kamu kayak gitu. Tapi kalo seandainya begitu, Taeyong, Baby, itu bukan di bawah kontrol aku." Johnny berdiri, mengusak kepala Taeyong dengan pelan. "I love you," bisiknya pelan.

WOUND | JohnyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang