"Let me love you. I don't even care whether you love me or not."
Sudah beberapa hari sejak Johnny mengatakan hal itu, namun Taeyong masih belum bisa melupakannya. Termasuk di dalamnya suara Johnny yang sedikit serak, tatapan hangatnya, juga ketika tangan mereka bersentuhan. Taeyong tidak tahu bagaimana cara untuk melupakan hal-hal seperti itu. Terutama di saat seperti ini. Saat anak-anak sedang bersekolah dan hanya meninggalkan mereka berdua bersama Mark, Haechan, dan Jisung.
Tapi Taeyong juga bersyukur karena dia bisa sedikit bersantai dalam mengurus anak-anak karena dibantu oleh Johnny juga. "Emang ya, anak-anak itu perlu dua orang tua." Taeyong bergumam dengan pelan, namun gumamannya itu cukup jelas sampai ke telinga Johnny sehingga Johnny memalingkan wajahnya untuk menatap Taeyong. "Kamu denger?" tanyanya canggung.
Johnny menyunggingkan senyuman kecil. Dia kembali mengalihkan perhatiannya pada Haechan, Jisung, dan Mark yang bermain bersama. Johnny tidak menjawab pertanyaan sederhana Taeyong. Tapi dia membiarkan Jisung menginjak-injak pahanya yang emudian membuat Jisung dapat bermain dengan wajahnya, meskipun tangannya harus selalu memegangi tubuh Jisung supaya tidak jatuh. "Jisung, Papa sakit," ujar Johnny ketika Jisung menarik pipinya keras-keras.
Tapi Jisung tertawa mendengar suara Johnny yang aneh, tidak peduli sampai Johnny mendudukkannya dengan paksa di atas pahanya. Jisung menatap wajah Johnny dengan matanya yang melebar, kaget. Tidak tahu apa yang membuat papanya itu mendudukkannya dengan paksa seperti itu.
"Jisung, Papa bilang, Papa sakit." Johnny mengulangi perkatannya. "Kalo Papa bilang Papa sakit, Jisung harus berhenti. Paham?"
Jisung cemberut. Tidak, bukan karena dia tidak mengerti apa yang dikatakan Johnny. Justru karena dia mengerti. Dia sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Johnny. Tapi Jisung belum bisa merangkai kata-katanya, jadi dia hanya cemberut dan tak berani menatap mana Johnny.
Sementara Taeyong hanya menonton cara Johnny mendidik anak bungsunya itu, sampai Haechan menghampirinya dan berbisik kecil. "Papa marah?" tanya Haechan dengan mata penasarannya. "Marah ya?" Haechan masih memastikan hal itu.
"Enggak, Papa enggak marah kok," jawab Taeyong. Itu benar. Mungkin Johnny memang tinggi, besar, dan terlihat menyeramkan dari luar. Tapi tidak mungkin bagi Johnny untuk marah kepada anaknya sendiri. "Papa lagi bilangin Jisung. Haechan juga ya, jangan bikin orang lain sakit. Enggak boleh."
Haechan mengangguk-angguk. "Hyung," panggilnya pelan. "Main ya," katanya, "sama Mark." Kalimat Haechan belum lancar. Masih terjeda-jeda dengan jumlah kosa kata yang terbatas. Meski begitu, Haechan banyak bicara. Sangat banyak bicara. Bahkan pada Mark meskipun bahasa mereka tidak nyambung satu dengan lainnya.
"Maaf ya...." Johnny melembutkan suaranya. "Papa enggak maksud marahin Jisung kok." Lalu tangannya yang besar itu mengusap kepala Jisung dengan pelan dan lembut. "Papa enggak marah, tapi jangan diulang lagi ya."
Alarm dari ponsel Taeyong berdering nyaring. Johnny mengalihkan pandangannya lagi. Sementara Haechan sudah melompat-lompat dengan girang sambil berkata, "Jemput! Jemput! Jemput!"
"Sudah waktunya jemput Jeno dan Jaemin ya? Kalau aku yang jemput gimana?" tanya Johnny. Pertanyaan itu tidak langsung dijawab oleh Taeyong. Johnny tahu kalau Taeyong akan berkeras kalau dia saja yang menjemput Jeno dan Jaemin. Tapi dia sendiri belum melakukan apa-apa untuk anaknya. "Aku bisa liat maps kok. Aku ya? Tae?"
-o-
Perdebatan yang terjadi antara Johnny dan Taeyong sesungguhnya sama sekali tidak penting. Pada akhirnya, Taeyong membiarkan Johnny untuk menjemput anak-anak ke sekolah mereka. Johnny mengenakan jaket dan kacamatanya. Tidak terlihat seperti pria yang sudah memiliki anak, dan sangat aneh begitu dia memasuki area sekolah yang berwarna-warni. Tepatnya, dia menjadi bahan tontonan ibu-ibu yang juga menjemput anak mereka.
"Ada perlu apa ya Pak?" tanya seorang guru tepat ketika Johnny sudah berada di depan kelas anak-anak sesuai arahan Taeyong.
Johnny melepas kacamatanya lalu berkata, "Saya mau jemput Jeno dan Jaemin, Bu."
"Biasanya yang jemput Pak Taeyong ya? Kok sekarang beda, Anda siapanya anak-anak?"
Tentu, hal seperti ini bisa terjadi. Johnny sama sekali belum pernah menjemput atau mengantar anak-anaknya. Selalu Taeyong yang melakukan hal itu, jadi jelas kalau guru-guru tidak mengenali wajahnya. "Saya rasa anak-anak didaftarkan dengan nama Suh kan? Suh Jeno dan Suh Jaemin. Saya John Suh, papa mereka."
Wajah guru itu berubah terkejut. "Maaf ya Pak. Saya panggilkan Jeno dan Jaemin dulu." Guru itu melesat ke dalam dengan wajah yang memerah karena malu. Kemudian Jeno dan Jaemin keluar dengan wajah yang berseri-seri karena tahu papa mereka yang menjemput.
"PAPA!!"
"PAPA BEAR!!!"
Johnny berjongkok hanya untuk menerima pelukan dari keduanya sekaligus. "Okay, done." Johnny melepas pelukannya, lalu menatap kedua jagoannya itu dengan senyuman lebar. "Sekarang, waktunya pulang. Ditunggu Hyung di rumah." Dia berdiri, menggandeng tangan anak-anaknya di kiri dan kanan bersamaan, dan masih menjadi tontonan (berikut bahan bisik-bisik) oleh ibu-ibu di sana.
"Pak, biasanya yang ke sini Pak Taeyong. Kalian itu, pasangan—"
"Saya tidak pernah menikah. Kami bukan pasangan. Saya hanya mengadopsi anak-anak yang terlantar dan merawat mereka, dan sementara saya bekerja sambil berpindah-pindah negara, Lee Taeyong membantu saya merawat anak-anak. Anda sangat tidak sopan menanyakan urusan keluarga orang lain." Setelah berkata demikian, Johnny kembali berlalu dengan Jeno dan Jaemin yang bingung kenapa nada bicara papa mereka bisa berubah sedemikian rupa.
"Papa tadi marah?" tanya Jeno.
Jaemin menautkan alisnya, ingin bertanya, tapi pertanyaannya sama persis dengan yang Jeno tanyakan. "Papa Bear tadi serem," kata Jaemin, setidaknya tidak sama dengan yang dikatakan Jeno.
Lagi, Johnny berjongkok, dia melepaskan genggaman tangannya. Johnny tersenyum kecil sambil melihat wajah Jeno dan Jaemin bergantian. "Papa enggak marah, maaf ya kalo Papa serem. Tapi kalian harus ingat sesuatu. Jangan urusin hal yang bukan urusan kalian. Mungkin, sekarang kalian enggak ngerti, tapi nanti kalian bakal ngerti yang Papa maksud. Sekarang, pulang yuk. Nanti di mobil, ceritain ke Papa di sekolah ngapain aja. Okay?"
Tidak ada jawaban lain dari Jeno dan Jaemin selain anggukan kecil, dan mereka kembali berjalan sambil bergandengan tangan. Menuju tempat Johnny memarkir mobilnya (yang sebenarnya adalah mobil Taeyong karena mobilnya sendiri dibawa oleh Taeil). Dalam perjalanan yang lumayan panjang untuk Johnny karena harus menyesuaikan langkah kakinya dengan langkah-langkah kecil Jeno dan Jaemin, kedua anak itu bersenandung lagu yang sama. Menghibur hati Johnny yang tiba-tiba gamang semenjak mendengar pertanyaan tidak sopan ibu-ibu tadi.
"Pasangan ya.... Taeyong mungkin enggak mau. Tapi aku terlanjur jatuh cinta."
KAMU SEDANG MEMBACA
WOUND | Johnyong
FanfictionIf NCT Were A Family Series [1] WARNING BL Mereka tidak akan memiliki tempat bernama rumah untuk mereka pulang, kalau bukan karena Papa Bear. Mereka juga tidak akan mendapatkan makanan hangat dan kasih sayang, kalau bukan karena Hyung. Children need...