09. Kecanggungan....

965 160 18
                                    

"Aku suka sama Johnny?"

Pertanyaan itu membayangi Taeyong dan dengan segenap tenaga dia berusaha menepisnya. Mengembalikan diri pada kenyataan, melihat anak-anaknya akur bermain. Tidak, anak-anak itu tidak selamanya akur. Kadangkala, ada saja yang mereka ributkan. Tapi lebih dari itu, mereka tetap anak-anak. Bersamaan dengan kembalinya Taeyong, Johnny juga datang bersamaan dengan Jeno dan Jaemin yang berjalan bergandengan tangan.

Selama beberapa detik, mata mereka bertemu, lalu berpisah dengan cepat. Taeyong enggan kepikiran dan Johnny tidak ingin jatuh untuk kesekian kalinya. "Tae," panggilnya pelan. "Yong," panggilnya lagi. "Aku mau telepon Doyoung dulu ya." Johnny berusaha untuk pamitan, kemudian meninggalkan Taeyong sendiri. Johnny pergi menuju kamarnya, entahlah, mungkin pembicaraan yang berat.

Taeyong menatap punggung Johnny yang perlahan menjauh. Bergumam kecil, "Andai kamu kalo mau ngilang selalu pamit kayak gini, aku enggak perlu khawatir mikirin kamu." Taeyong tahu kalau Johnny masih mengurusi pekerjaannya di sela-sela waktu luang, entah itu dengan menelepon Doyoung langsung atau duduk di depan laptop-nya dalam jangka waktu cukup lama. Terkadang juga, Taeyong melihat Johnny dapat duduk di depan laptop-nya sambil menggendong Jisung yang setengah mengantuk atau meladeni Haechan yang tidak bisa diam.

Johnny dengan cepat mengeluarkan ponselnya dan menekan dial number yang langsung tersambung dengan Doyoung di seberang sana. "It's me," katanya segera setelah telepon tersambung. "Gimana keadaan di sana? Laporan dengan cepat dan tepat seperti biasa."

Tidak ada waktu tidur untuk Kim Doyoung, sepertinya. Tidak. Sejak awal, pekerjaan mereka tidak menyediakan waktu tidur yang layak. Baik Doyoung dan Johnny, sudah terbiasa dengan jam tidur yang luar biasa. Hanya saja, selama di tinggal bersama anak-anaknya, itu memaksa Johnny untuk tidur seperti manusia normal lainnya. Itu pun, Johnny masih belum bisa mendapatkan tidur yang nyeyak. Mimpi-mimpi buruknya masih menyertai.

Selagi Johnny menempelkan ponselnya di telinga dengan bahunya, dia membuka laptop-nya dan mengecek seluruh email yang masuk. Memeriksanya satu per satu seperti yang dikatakan Doyoung.

"Tuan—"

"Call me John. It's okay, we're friends after all."

"Oh? Haha." Doyoung tertawa di ujung telepon. Canggung. Tidak ingat kapan terakhir kali dia memanggil Johnny dengan namanya. "Ekspansi bisnis kita ke Jepang bagus. Nakamoto-san benar-benar mengelolanya dengan baik. Tapi, selain itu, aku mau tanya soal anak-anak. Gimana? Kamu nyaman tinggal sama anak-anak?"

Johnny menyenderkan punggungnya pada kursi, menjauh dari layar. Dia tersenyum kecil dan berkata dengan pelan, "Ya." Johnny masih belum melanjutkan katanya, pun Doyoung masih menunggu. "Selama ini aku pikir, aku belom pernah sekali pun jadi papa yang baik. Sekarang, aku baru tahu rasanya jadi papa. Tapi, di samping itu, Taeyong...." Johnny menggantung kalimatnya, dia hanya tidak tahu apa yang harus dikatakan terkait itu.

"Eum, aku paham. Pelan-pelan aja. Ah, iya, aku kangen anak-anak. Sekali-sekali video call sama anak-anak dong," pinda Doyoung. "Tapi nanti. Sekarang kerjaan dulu. Kemaren ada yang nanyain, bukan orang penting sih. Anak-anak biasa minta senjata, itu juga berkali-kali. Entahlah mereka berantem kayak apa. Enggak ngurusin juga sih."

Johnny kembali ke layar laptop-nya sambil mendengarkan laporan Doyoung. "Pastikan kita tidak memihak pada kelompok mana pun selama mereka membayar, itu cukup. Beberapa e-mail kukirimkan lagi padamu. Selanjutnya kuserahkan padamu." Setelah mengatakan itu Johnny menutup teleponnya, pun menutup laptop-nya. Dia masih bersandar pada kursinya (sebenarnya itu kursi Taeyong), masih memikirkan beberapa hal. Tentang pekerjaannya, perasaannya, dan anak-anaknya.

"Anak-anak kita," ulangnya. Kemudian Johnny justru menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Hah, aku beneran ngomong gitu ke Taeyong. Malu banget. Itu juga kalo dia punya perasaan yang sama, kalo enggak? Malu banget!" Johnny mengulang-ulang kata malu. Dia tidak habis pikir dengan dirinya.

Suara ketukan pelan terdengar dari luar. "John, mau makan siang?" tanya Taeyong di luar sana dengan suara yang lembut. "Anak-anak semuanya baru aja makan siang terus tidur. Sekarang gantian kamu."

Suara itu terdengar nyaman di telinga Johnny. Entahlah, Johnny hanya merasa seperti itu. Johnny akhirnya membuka pintu, membuat mata mereka saling tatap untuk beberapa saat. "Kamu udah makan?" tanyanya.

Taeyong tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. "Tadi dipaksa sama Jaemin, jadi aku makan duluan. Sekarang gantian kamu yang makan, aku temenin." Taeyong memutar badannya, berjalan di depan Johnny, membuat Johnny mau tidak mau melihat caranya berjalan dan rambutnya yang bergerak lucu. "Aku enggak tahu kamu bakal suka atau enggak, tapi kamu harus makan. Aku juga enggak tahu kamu selama di luar makannya teratur atau enggak. Kamu enggak pernah ngasih aku kabar. Tapi, selama kamu di sini, kamu harus makan teratur."

Johnny tersenyum di belakang punggung Taeyong. Dia melihat Taeyong menyiapkan makanannya dan yang lainnya. Dalam tahap seperti ini, Johnny tidak berpikir untuk memiliki istri—seperti yang sering disarankan oleh Yuuta.

"Kamu mau kopi enggak?"

Lagi, mata mereka bertemu. Johnny menyunggingkan sebuah senyuman sirat makna, sementara Taeyong membuang wajahnya karena malu, lalu dia menarik dirinya untuk menyibukkan dirinya dengan mesin pembuat kopi. Menunggu di depan mesinnya, tidak berani bahkan untuk sekedar melirik ke belakang karena ada Johnny di sana yang sedang tersenyum dengan anehnya.

Johnny tidak duduk di kursi, dia mendekati Taeyong, melingkarkan tangannya di pinggang Taeyong, dan menaruh dagunya di bahu Taeyong meskipun itu harus membuat dia sedikit membungkuk.

"Kamu ngapain?" tanya Taeyong. Tangannya menggenggam telapak tangan Johnny yang tepat berada di perutnya.

Johnny berbisik dengan suara yang rendah, "Thank you."

Taeyong tidak dapat menolak itu. Baik pelukan yang Johnny berikan dari belakang, atau terima kasih yang diucapkannya dengan suara yang rendah, bahkan kecupan kecil yang diberi Johnny di lehernya. Dia tidak dapat menolaknya sama sekali dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Menurutnya, seharusnya jantungnya bersikap lebih sopan dengan berdetak secara normal ketika dia hanya bersama Johnny dan itu adalah sebuah kejahatan.

"Kalo enggak dimakan sekarang, nanti nasinya dingin...." Alih-alih melarang Johnny, Taeyong justru mengalihkan pembicaraan. "Aku enggak bisa bikin kopi kalo kamu kayak gini terus," sambungnya.

Benar. Jadi Johnny melepaskan pelukannya dan memberi Taeyong usakan kecil di kepalanya. Dia kembali pada kursinya, makan tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Sesekali matanya melirik punggung Taeyong yang masih tidak berkutik dan juga diam. Sangat diam.

Taeyong menaruh cangkir berisi kopi di depan Johnny yang masih menyantap makanannya. Tidak ada yang aneh. Mereka hanya diam. Johnny masih mengunyah makanannya, dan Taeyong untuk sementara sibuk dengan ponselnya dimana hal itu tidak dapat selalu dilakukannya mengingat anak-anak yang harus terus diawasi. Kemudian tiba-tiba Taeyong mengangkat kepalanya dan memanggil Johnny dengan suaranya yang pelan, "John...."

Johnny tidak menjawab dengan suara, dia hanya menatap Taeyong dengan alis yang dinaikkan. Mulutnya masih sibuk mengunyah makanan.

"Itu...." Taeyong menggantung kalimatnya dan menggigit bibir bawahnya. "Jangan kayak tadi," katanya, "aku kaget. Jangan suka ngagetin aku. Kalo aku suka sama kamu gimana?"

Sumpit yang dipegang Johnny jatuh dan dia menelan paksa makanannya. Hampir saja tersedak. Kali ini, bukan hanya wajah Taeyong yang memerah, Johnny juga. Johnny menunduk, dadanya sakit. Bukan karena pernyataan dadakan itu, tapi karena dia menelan paksa makanan yang masih kasar dan rasanya menyakitkan sekali. Air mata berkumpul di pelupuk matanya, dia ingin menangis saat itu juga.

Taeyong tidak tahu kalau yang dikatakannya akan berdampak seperti itu. Wajahnya juga memerah. Tapi melihat Johnny yang menciut membuatnya lebih malu lagi. Otaknya sepertinya mendidih atau apa. Tapi, alih-alih menguburkan dirinya, Taeyong justru bertanya, "Perlu sumpit baru?"

Johnny mengangguk kecil, masih menyembunyikan air matanya. Bohong kalau dia tidak suka Taeyong.

WOUND | JohnyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang