Anak-anak masih tertidur dengan lelap. Taeyong menyelinap untuk keluar dari kamar, takut membangunkan anak-anaknya. Kakinya mengambil langkah kecil yang ringan, berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Melirik jam pada ponselnya, pukul setengah enam pagi, dia pikir Johnny sudah bangun atau mungkin masih duduk di depan laptop mengurusi pekerjaannya atau justru sedang menelepon Doyoung.
Tangannya membuka pintu dengan pelan, takut menganggu jika Johnny masih di dalam kamar. Tapi Taeyong tidak menemukan Johnny di dalam kamar. Jadi Taeyong menuju dapur, barangkali dia dapat menemukan Johnny sedang membuat kopi paginya. Tapi Johnny juga tidak ada di sana. Taeyong pergi menyusuri seluruh sudut rumah, tapi dia tidak menemukan Johnny di mana pun. Bahkan jika Johnny pergi diam-diam untuk kembali ke Amerika, bukankah harusnya dia membawa Mark?
Taeyong memutuskan untuk menghubungi Johnny, tapi tidak ada balasan sama sekali. Sementara dia tidak tahu ke mana Johnny pergi, berapa lama, dan apa yang akan dikatakannya kepada anak-anak kalau papa mereka tiba-tiba menghilang seperti hantu. Taeyong tidak ingin menanamkan pikiran negative di kepalanya, jadi dia memilih berpikir kalau Johnny memiliki urusan di luar rumah. Entah itu sebentar atau lama.
Pada dasarnya, Taeyong tidak bisa mengharapkan kehadiran Johnny. Sudah bertahun-tahun Johnny seperti itu, Taeyong juga tidak tahu bagaimana harus menanganinya. Mungkin karena jumlah anak yang bertambah dan ekspansi bisnisnya yang semakin besar itu membuat Johnny lebih sibuk dari tahun-tahun awal dia merintis sendiri, dan jelas tanggungannya berbeda dengan saat mereka hanya memiliki satu anak.
"Nanti kalo anak-anak tanya bisa bilang papanya lagi kerja di luar," ujarnya pada diri sendiri. Taeyong tersenyum kecil, terlepas dari amarahnya kemarin malam, dia senang karena mengetahui bahwa Johnny akan pulang lagi. Soal Haechan, Taeyong merasa mereka harus membicarakan itu dengan kepala dingin berdua.
Taeyong pikir harinya akan berjalan seperti biasa, dan memang seperti itu yang terjadi. Meskipun anak-anak banyak yang bertanya dan tak cukup bagi anak-anak untuk bertanya hanya satu kali. Terlebih Jaehyun yang sepertinya sudah memiliki pemikirannya sendiri, Taeyong harus memikirkan cara baru untuk mendidik anak yang baru beranjak remaja itu, dan sepertinya itu akan sedikit merepotnya.
Dia berpikir seperti itu dan kemudian Mark justru bertanya padanya, "Hyung ... papa ... bilang...." Mark berhenti bicara; alisnya bertaut, bibirnya mengerucut, dan wajahnya mengkerut. Dia memikirkan kosa kata di luar bahasa Inggris yang sulit sekali diingat. "Aku ... mau ... Haechan." Mark menyelesaikan kalimatnya, tapi dia tidak terlihat puas dengan itu.
Sementara Taeyong tersenyum mendengarnya, dia menghadiahi Mark dengan usakan pelan di kepala Mark. Rasanya senang sekali mendengar Mark mencoba berbicara selain dengan bahasa Inggris. Johnny harusnya mendengar kemajuan Mark ini, tapi dia tidak ada di sini sekarang. "We have talk about it, but we are not decided it yet. Can you wait for a little more?" Taeyong bertanya dengan pelan dan Mark mengangguk kecil sebagai jawaban.
Mark tidak banyak bicara, tidak banyak meminta, dan yang dia tahu dari Johnny pun seperti itu. Bahkan di awal bertemu, anak itu cenderung canggung jika tidak ada Johnny. Tapi Mark banyak berubah sejak kedatangannya pertama kali. Menurut Taeyong, siklus yang seperti itu wajar dan itu mengingatkannya pada anak-anak yang lain ketika mereka pertama kali datang. Mark akan tumbuh menjadi anak yang pintar di kemudian hari, Taeyong yakin akan hal itu.
-o-
Johnny berjalan-jalan di sepanjang trotoar di Gangnam, dan Taeil berjalan tak jauh di belakangnya. Kepala Johnny menengok ke kanan dan kiri, mencari toko yang sekiranya ingin dikunjunginya. Jika tidak ada, mungkin dia akan kembali ke dalam mobil dan kembali ke kediamannya sendiri.
Semalam dia memanggil Taeil untuk pergi dari rumah Taeyong—begitu dia menyebutnya. Mereka belum pernah bertengkar sebelumnya. Lebih tepatnya, Taeyong tidak pernah menggunakan nada seperti itu padanya secara langsung. Rasanya jauh berbeda saat dia hanya memandang itu sebagai teks dan mendengarnya langsung dari mulut Taeyong. Jadi Johnny memutuskan untuk keluar dari rumah dan mengelilingi Seoul sampai bosan.
Johnny menarik Taeil untuk memasuki sebuah bar. Duduk dalam diam dan menyesap minuman dengan pelan. Tapi Taeil tidak mengambil minuman karena dia akan menyetir. "Pak Moon," panggil Johnny pelan. "Kalau lagi berantem sama istri biasanya gimana?" tanya Johnny tiba-tiba.
Tubuh Taeil terkesiap. Dia tidak tahu dari mana asalnya sehingga tuannya itu menanyakan pertanyaan seperti itu. "Maaf Tuan, tapi saya sampai sekarang belum menikah." Taeil menjawab dengan senyuman yang canggung. Kenyataannya, memang seperti itu. Seandainya saja dia memiliki istri, tapi dia menghabiskan masa mudanya untuk bekerja di kediaman Suh. "Maafkan kalau saya lancang, tapi kenapa Tuan bertanya seperti itu?" Taeil bertanya dengan hati-hati. Dia tidak ingin kehilangan pekerjaan karena pertanyaan konyol. Terlebih, mencari pekerjaan akhir-akhir ini sulit sekali. Masih ditambah gaji yang diberikan Johnny bukan nominal yang kecil yang kalau dia bekerja di tempat lain, dia tidak yakin akan mendapat jumlah gaji yang sama.
"Aku berantem sama Taeyong," jawab Johnny pelan. Taeil hanya lebih tua lima tahun darinya. Tapi dia dan Doyoung terbiasa memanggil Taeil dengan sebutan Pak Moon dan Taeil tidak merasa keberatan dengan panggilan yang demikian. Terkadang, Johnny ingin menjadi adik kecil dan terkadang, Taeil ada di sana seperti seorang kakak. "Aku sama Taeyong enggak pernah berantem, jadi aku enggak tahu harus apa. Aku enggak pernah lihat Taeyong marah."
"Tuan, saya rasa kita harus kembali."
Mereka tak banyak bicara. Johnny tidak mabuk dan Taeil tidak mengajukan banyak pertanyaan. Mereka hanya tidak tahu harus melakukan pembicaraan seperti apa. Johnny sedang berpikir keras sementara Taeil sedang menahan tawa karena tidak pernah melihat majikannya galau seperti ini.
"Aku pikir kamu mau bawa aku ke rumah."
"Ini juga rumah, Tuan." Taeil tersenyum terhadap fakta bahwa sebetulnya inilah rumah untuk Johnny. Tidak peduli Johnny memiliki kediaman yang mewah, tapi rumah sederhana yang di dalamnya ada anak-anaknya adalah rumahnya. Karena setiap kali Johnny pulang, Johnny akan meminta Taeil untuk membawanya ke sini. "Saya rasa," katanya, "cara yang tepat untuk mengakhiri pertengkaran Tuan hanya minta maaf. Tidak peduli siapa yang memulai, harus ada salah seorang yang meminta maaf terlebih dahulu. Kalau Tuan melarikan diri, Tuan tidak akan menghasilkan apa-apa."
Johnny menghela napasnya panjang. Tapi pada akhirnya dia mendengarkan perkataan Taeil. Johnny memilih untuk mengetuk pintu dengan pelan dan menemukan Taeyong berdiri di depan pintu dengan tatapan penuh arti dan senyuman kecil di wajahnya.
"Kamu pulang," ujar Taeyong pelan. Dia tidak terlihat marah seperti yang terakhir kali Johnny ingat.
Johnny menunduk dan berkata dengan pelan, "Aku pulang." Dalam sepersekian detik berikutnya Johnny meraih tubuh Taeyong untuk mendekapnya dalam pelukannya. Johnny memeluk tubuh Taeyong erat dan dia membungkukkan tubuhnya hanya untuk menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Taeyong. "Maaf," bisiknya. "Maaf." Johnny mengulanginya lagi. "Maaf, maaf, maaf." Johnny terus mengulang-ulangi kata maaf itu.
Taeyong tidak mengerti mengapa Johnny harus mengulangi kata maaf itu berkali-kali. Tapi dia memberi tepukan pelan di punggung Johnny. "Enggak apa-apa," ujarnya, "masalah kemarin masih bisa kita omongin baik-baik."
"Aku enggak bohong waktu aku bilang aku sayang kamu. Aku beneran sayang kamu."
"Iya, aku tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
WOUND | Johnyong
FanfictionIf NCT Were A Family Series [1] WARNING BL Mereka tidak akan memiliki tempat bernama rumah untuk mereka pulang, kalau bukan karena Papa Bear. Mereka juga tidak akan mendapatkan makanan hangat dan kasih sayang, kalau bukan karena Hyung. Children need...