11. Terima Kasih

927 149 22
                                    

Johnny masuk lebih dulu ke dalam rumah kemudian di susul oleh Jaehyun dan Jungwoo yang bergandengan tangan. Wajahnya tampak tidak menyenangkan. Dia melewati anak-anaknya begitu saja, meninggalkan Taeyong yang menatapnya dengan bingung. Anak-anak merapat ke tubuh Taeyong melihat Johnny yang seperti itu. Hanya Jaehyun, satu-satunya anak yang bersamaan dengan Taeyong melihat punggung Johnny yang cepat menghilang.

"Papa Bear marah, Hyung." Jaehyun sudah berkata sebelum Taeyong sempat bertanya apa yang terjadi. "Tapi Papa keren, Hyung. Di depan orang, Papa enggak keliatan marah. Jaehyun sama adik-adik beruntung, punya papa yang keren." Jaehyun tersenyum kecil. Namun sejurus kemudian dia berkata, "Woo, ganti baju sama taro tas dulu yuk."

Entah Taeyong berhalusinasi atau tidak, tapi memang pada kenyataannya Jaehyun terlihat jauh lebih tenang dari apa yang dia perkirakan. "Gimana?" tanya Taeyong pada Johnny yang hanya berdiri mengamati anak-anaknya. "Masalahnya selesai?" tanyanya sekali lagi.

Johnny tidak menjawab, entah dia mendengar pertanyaan Taeyong atau tidak. Johnny kemudian duduk di hadapan Taeyong, masih melihati anak-anaknya tanpa mengeluarkan kata-kata. "Jaehyun," katanya, "he did great to protect his brother." Johnny tidak mengatakan hal lain lagi. Hanya itu saja.

Suara helaan napas panjang terdengar dari Taeyong. Matanya menatap Johnny yang masih setia dengan wajahnya yang tidak menyenangkan. "Kalo kamu pasang muka kayak gitu—"

"Papa mukanya serem," celetuk Jeno pelan.

Jaemin mengambil langkah maju, mendekati wajah Johnny dan menangkup kedua pipi Johnny dengan telapak tangannya yang mungil. Jaemin tersenyum lebar sambil berkata, "Papa, Jaemin suka deh kalo Papa senyum. Jangan cemberut ya."

Ah, hangat. Tangan Jaemin yang mungil itu terasa hangat di wajahnya. Johnny menutup matanya dan menggenggam tangan Jaemin yang berada di pipinya. Dia tidak pernah tahu bahwa tangan yang mungil itu dapat terasa bergitu hangat. Hangat sekali. Johnny perlahan mengukirkan sebuah senyuman di wajahnya. "Thank you," bisiknya pelan.

Suara derap langkah kaki yang sibuk terdengar, Jungwoo berlari dengan sebuah lembar kertas di tangannya. Dengan wajah sumringah dia memberikan kertas itu pada Taeyong. "Hyung, liat." Jungwoo melepas genggamannya pada kertas begitu Taeyong menerimanya. "Nanti Jungwoo mau nyanyi, kalo Jae Hyung nanti ada...." Jungwoo berhenti bicara, wajahnya tampak sedang berpikir dengan keras. "Enggak tahu," katanya kemudian, "nanti tanya Jae Hyung aja."

Jaehyun muncul kemudian tanpa suara apa pun, kepalanya menunduk dalam-dalam. Padahal sebelumnya dia terlihat baik-baik saja. "Maaf," ujarnya pelan. Alih-alih melanjutkan topik Jungwoo yang tadi, Jaehyun justru mengganti topik dan Johnny serta Taeyong tahu kea rah mana pembicaraan itu akan berlanjut.

"No need to be sorry," kata Johnny. "Jae, you did something great. Ya, mukul orang itu salah kalo kamu mukul tanpa sebab. Tapi, setelah Papa pikir-pikir lagi, that's not a big deal." Johnny tersenyum. Tangannya meraih kepala Jaehyun dan mengusaknya dengan pelan. "Cheer up," tambahnya lagi.

Taeyong belum memahami apa yang sudah mereka lalui, namun dia berusaha untuk mengerti dengan diam. Membiarkan Johnny untuk sekali-sekali terlibat dengan anak-anaknya. Melihat itu saja, hatinya tenang seolah tak punya beban. Mungkin, yang diperlukan Taeyong adalah Johnny dan anak-anak.

"Papa," panggil Jaehyun pelan. Jaehyun kemudian mengulas sebuah senyum simpul dan berkata, "Makasih udah nyelamatin Jaehyun, makasih udah kasih Jaehyun adek yang banyak, makasih juga karena udah ngasih Jaehyun sama adek-adek rumah. Hyung juga, makasih. Kalo enggak ada Papa sama Hyung, Jaehyun sama yang lain enggak bakalan punya rumah...."

Jungwoo melihat wajah Jaehyun yang menampilkan senyuman simpul. Dia mengerti. Mengerti sepenuhnya apa yang dibicarakan Jaehyun. Senyum lebar di wajahnya sirna, tapi Jungwoo meraih tubuh Jaehyun dan memeluknya erat-erat seraya berkata, "Jae Hyung, Jungwoo sayang sama Hyung. Jangan ke mana-mana, di sini aja sama Jungwoo."

Rumah, ya....


-o-


Johnny kembali bersama dengan laptop-nya. Dia tidak sendiri, melainkan ditemani oleh secangkir kopi panas dan Taeyong yang duduk di atas ranjang, memeluk boneka hiu miliknya sambil menatap punggung telanjang Johnny. "Kamu enggak mau tidur?" tanya Taeyong pelan sambil menaruk dagunya di atas kepala boneka hiu.

Taeyong tidak mendengar jawaban, namun dia melihat Johnny menggelengkan kepalanya. Semantara matanya masih fokus di layar laptop, menelusuri e-mail yang masuk, kebanyakan dari Doyoung. "It's morning in New York, and Doyoung sent me e-mails that I have to read them all one by one." Johnny berhenti bicara, dia menyesap kopinya perlahan, lalu menghembuskan napas yang panjang. "Kamu tidur duluan aja. Nanti aku nyusul. Apa mau dikelonin dulu?" Johnny tertawa setelah melontarkan candaan itu. Tawa yang Taeyong hampir tidak pernah dengar....

Jadi seperti itu suara tawanya. Taeyong tersenyum kecil. Johnny sejak tadi tidak melihat ke arahnya, jadi Taeyong sedang mereka-reka seperti apa wajah Johnny saat sedang tertawa. Dia tidak pernah tahu, atau mungkin dia tidak ingat saja. Meskipun mengenal Johnny (dan Doyoung) untuk waktu yang lama, Taeyong masih saja tidak mengenal mereka sepenuhnya. Tidak Johnny, tidak juga dengan Doyoung. Rasanya, seperti dia yang ditinggal sendirian.

Sebuah selimut kemudian menyelimuti bahu Johnny, Taeyong yang melakukannya. "Pake selimut, atau pake sweater kamu. Nanti masuk angin," ujar Taeyong pelan.

Johnny baru menoleh ke arah Taeyong. Padahal daritadi matanya tak bergeser dari layar laptop-nya. Wajah mereka berhadapan dan mata mereka tertaut pada satu sama lain untuk beberapa saat. "Tae," panggil Johnny pelan. Napasnya tertahan, suara seperti berhenti di kerongkongannya dan enggan keluar. "Can I kiss you?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Johnny setelah sebelumnya tertahan.

Mata Taeyong melebar dan dia menarik wajahnya untuk mundur. Itu terlalu tiba-tiba baginya.

"It's ok if you don't want to," kata Johnny kemudian. Dia tahu ekspresi wajah itu. Terkejut dan takut. Johnny mungkin terlalu sering melihat ekspresi wajah seperti itu. Lagipula dia tidak bisa memaksakan kehendaknya. Meskipun dia sangat ingin melakukannya.

"T—ta—tadi Jaehyun bilang sama aku kalo sekolahnya ada pensi. Jungwoo tampil di paduan suara kelasnya. Kalo Jaehyun, dia ngewakilin kelasnya, duet gitu."

"AH!" Johnny berhenti. Dia memutar kursinya. Taeyong sudah duduk lagi di atas kasur, dan mereka berhadapan sekarang. "Sekarang lagi ada event begitu ya? Kayaknya aku harus nunda buat balik ke New York. Aku mau lihat anak-anakku dulu."

"John...."

"Hmm?"

"Kamu mau balik ke Amerika?"

"Iya, banyak yang enggak bisa aku kerjain kalo aku kelamaan di sini. Doyoung enggak bakal bisa kerja sendirian selamanya juga." Johnny menahan kalimatnya. Dia mengamati ekspresi Taeyong lagi. Awalnya, dia tidak tahu atau mungkin dia tidak sadar. Tapi Taeyong punya banyak ekspresi di wajahnya dan dia menyukai itu.

Taeyong menghela napasnya dengan berat lalu berkata, "Iya ya, nanti kamu pasti balik ke Amerika."

"Tae...." Johnny masih tidak tahu apa yang akan dikatakannya pada Taeyong. Dia tidak mengerti harus memulai dari mana. Namun ketika mulutnya terbuka untuk bicara, Taeyong mendahuluinya dan Johnny lupa apa yang harusnya dia katakan pada Taeyong.

"John, you can kiss me if you wanted to."

Johnny lupa apa yang harusnya dia katakan pada Taeyong. Dia tidak ingat apa-apa, termasuk pekerjaannya yang menanti. Dia tidak mendengar apa-apa, bahkan ketika ponselnya berbunyi (dan itu dari Doyoung). Johnny hanya ingat ketika dia mendorong tubuh Taeyong jatuh dan menguncinya. Manisnya ceri imitasi melintasi tenggorokannya bersamaan dengan pahitnya kopi yang tadi dia sesap. Entahlah, mereka tidak mengerti, tapi mereka menikmatinya. Bahkan ketika Taeyong mendorong dada Johnny untuk mengambil napasnya kembali, mereka menikmatinya.

"Thank you, they taste like cherry."

Johnny tersenyum dan Taeyong menyembunyikan wajahnya di balik bantal.

WOUND | JohnyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang