UCAPAN TERIMAKASIH

40 6 12
                                    

❝ Bagaimana bisa wajahku dihiasi semburat rona berwarna merah hanya karena kau yang pada saat itu menyebutkan sebuah nama? Sudah kubilang, kau teramat berarti. Maka dari itu, jangan pergi. ❞

-SAUJANA-

KINI kakiku tengah beradu di atas tangga, masing-masing terus mencoba untuk menjadi yang pertama. Tali sepatu yang memang pada saat itu tidak kuikat dengan benar itu membuatnya mudah terlepas. Aku hampir saja terjatuh apabila mas Zidan tidak menarik kerah seragamku dari belakang.

Aku menoleh ke arahnya, lalu menaikkan satu alis sebagai pengganti kalimat tanya.

Dia menghela napas, "Jangan buru-buru. Masih pagi, belum telat,"

Ucapannya membuatku mengantarkan mataku pada jam dinding tua yang hingga detik ini masih dapat memberikan informasi tentang waktu.

Oh, masih pukul enam tepat ternyata.

Setelahnya aku dan mas Zidanpun berjalan beriringan, lalu bergegas menduduki kursi yang masih kosong di sekeliling meja makan.

"Kamu ada lomba nggak nanti?" tanya Ayahku yang kujawab dengan gelengan.

"Dimakan dulu, Ghin," titah Bundaku, hendak mengambil nasi goreng untukku, namun sesegera mungkin kucegah.

"Nggak dulu deh, Bun, perut Ghina sakit."

Bunda hanya menghela napas pendek, "Yaudah, bawa bekel aja, ya." katanya sembari menyerahkan kotak bekel berwarna biru muda. Akupun mengambilnya, walau dengan bibir yang mengerucut.

"Senyum dulu dong, cantik." goda mas Zidan. Jahilnya memang tak pernah hilang!

Aku mendengus sebal mendengar perkataannya, "Buruan, Mas, kalau lama mending aku naik ojek." sinisku.

"Eits, galak banget. Kenapa, hm?" tanyanya lalu memasukkan roti ke dalam mulut.

Aku menghentakkan kaki seraya berkata, "Oke, gua naik ojek." finalku.

Tak lama setelah aku keluar rumah, mas Zidan menyusulku. "Emosian banget sih," komentarnya. Aku tak menggubris ucapannya. Dan kamipun bergegas menuju ke sekolah.

Sesampainya di sekolah,

"Belajar yang bener, Ghin, jangan bercanda terus." pesan mas Zidan sembari memberikan kotak bekelku.

"Harusnya aku yang bilang gitu ke mas Zidan. Belajar yang bener, jangan pacaran terus." dumelku yang ditertawakan olehnya.

"Yaudah, aku sekolah dulu, Mas. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

-SAUJANA-

"Loh, Ghina, nggak ada lomba emangnya?" tanya salah satu warga sekolah yang kebetulan berjalan di sampingku.

"Bulan ini lagi free, Pak."

"Alhamdulillah ya, neng, bisa istirahat kamu."

"Iya Pak, alhamdulillah banget. Yaudah, Ghina ke kelas dulu ya, Pak." pamitku yang diberi anggukan dan senyuman tipis oleh lawan bicara.

"Assalamualaikum, guys!" sapaku, terdengar sedikit lebay dan sok asik karena biasanya aku tak pernah begini.

"Waalaikumsalam— EH GHINA?" pekik Luna, gadis itu sempat membelalakan matanya beberapa detik karena melihatku. Dia pikir aku ini apa? Dilihat seperti itu, kayak penampakan setan aja!

"Apa sih teriak-teriak!" sinis salah satu temanku yang menjabat sebagai bendahara kelas, Intan— Rintian Rinjani lengkapnya.

"Mampus," lirihku sembari mendudukkan diri di bangku samping Luna.

[1] SAUJANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang